Skip to main content

Sejarah Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Sejarah Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Pengertian Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara. Pengertian Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat  Anti korupsi secara mudahnya dapat diartikan tindakan yang tidak menyetujui terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan kata lain, anti korupsi merupakan sikap atau perilaku yang tidak mendukung atau menyetujui terhadap berbagai upaya yang yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi untuk merugikana keuangan negara atau perekonomian negara yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk mendukung upaya atau tindakan anti korupsi melalui UU Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi, seperti Masyarakat Transparansi Indonesia atau juga Lembaga Pemantau Kekayaan Negara.
Dalam penjelasan umum UU Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan, bahwa Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme; Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
·         Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
·         Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat.
·         Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi:
·         Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
·         Tidak monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
·         Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi.
·         Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penuidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 3). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah.
·         Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
·         Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
·         Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
·         Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
·         Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara

Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:
1.    Masa Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a.    Pengaturan yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian.[1] Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari suatu badan yang menerima. bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan material baginya.
b.    Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan (perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah Pemilik Harta Benda (PHB).
c.    Peraturan Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
d.   Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksananya.
e.    Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.[2]
2.    Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[3] Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 UndangUndang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3.    Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.    Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137.TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dasar hukum dari munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan- ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.
Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan ketentuanketentuan yang telah diatur dalam KUHP.
Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan- ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210 KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417 KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.
Perumusan tindak pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 adalah setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:[4]
1.    Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2.    Memperkaya orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
3.    Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).

Lembaga pemberantasan korupsi dewasa ini telah mengalami perubahan bahkan menunjukan perkembangan guna meningkatkan pemberantasan tidak pidana korupsi, dimulai sejak masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. Perubahan dan/atau perkembangan tersebut yakni:[5]
A.  Masa Orde Lama
Orde Lama, Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada saat itu menjabat sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi kepengadilan dengan_ sasaran utama perusahaanperusahaan negara serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek korupsi dan Kolusi Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF) dengan presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.
B.  Masa Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan tugas antara lain juga memberatas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
C.  Masa Reformasi
Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi tidak sama dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan Korupsi Terbaru yang kian bertahan.

Perkembangan Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia:[6]
A.  Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960
Undang-Undang No.24 Prp Tahun 1960 pada dasarnya dibentuk untuk menjaring beberapa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh suatu badan atau badan hukum tertentu dengan menggunakan fasilitas, modal atau kelonggaran dari Negara dan masyarakat.
B.  Undang-Undang No. 3 Tahun 1971[7]
Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dibentuk yaitu:
1.    Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional
2.    Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.
C.  Undang-Undang No. 31 Tahun 1999[8]
Dalam perkembangannya, walaupun keberadaan undang-undang sebelumnya yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi yang hakikatnya sudah maju dan progresif, akan tetapi perkembangan masyarakat dan teknologi informasi yang memicu munculnya kejahatan korupsi baru dengan modus operandi yang sama sekali baru mau tidak mau haros tercover dalam perundang-undangan pidana korupsi. Jika diuraikan secara rinci ada 9 (sembilan) hal pokok yang menunjukan perkembangan hukum:
1.    Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum atau subjek delik dalam tindak pidana korupsi. Pasal 1 ayat (3) UU No.31 Tahun 1999.
2.    Pengertian pegawai negeri dalam undag-undang No.31 Tahun 1999 diperluas maknanya dibandingkan dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa disebut pegawai negeri meliputi:
a.    Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;
b.    Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c.    Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
d.   Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;
e.    Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat.
3.    Sifat melawan hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 secara eksplisit diperluas maknaya tidak hanya melawan hukum formil tetapi juga melawan hukum materiil.
4.    Terdapat penambahan kata “dapat” sebelum frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam ketentuan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbul akibatnya.
5.    Diperluasnya pengertian keuangan negara atau perekonomian negara.
6.    Diaturnya mengenai ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
7.    Dicantumkannya pidana seumur hidup atau pidana mati atas pelanggaran ketentuan Pasal 2 ayat(1), Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
8.    Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga mengatur perumusan ancaman pidana kumulatif yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 12B ayat (2) antara pidana penjara dan pidana denda.
9.    Undang-Undang No.31 tahun 1999 juga mnegatur peradilan in absentia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1). Pembentukan Komisi Pembarantasn Korupsi (Pasal 43), partisipasi masyarakat dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi (Pasal 41) dan memberikan penghargaan kepada mereka yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
D.  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001[9]
Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang ditidak ditemukan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yaitu:
1.    Perubahan redaksi penjelasn Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”dalam ketentuan ini adalah keadaaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
2.    Rumusan Pasal 5,6,7,8,9,10,11 dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam ketentuan Pasal-pasal bersangkutan, tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3.    Perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat ukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikrim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen yakni, setiap rekaman datau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
4.    Substansi Pasal 37 Undang-Undang No.31 Tahun1999 dirubah secara khusus pada frase “keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juga dibuang.
5.    Pasal 43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang No.31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan UU No,3 tahun 1971 dengan ketentuan maskimum pidana penjara yang menguntungkan terdakwa diberlakukan ketentuan Pasal 5,6,7,8,9,10 dan Pasal 13 Undang-Undang No.31 Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang No. 31 Tahun 1999.
6.    Ketentuan pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal 209,210,387,388,415,416,417,418,420,423,425 dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada saat mulai berlaku undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
E.   Undang-Undang No. 7 Tahun 2006[10]
Pada dasarnya Undang-Undang No.7 Tahun 2006 merupakan pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), terdapat dua alasan penting mengapa UNCAC perlu diratifikasi:
1.    Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga penting adanya kerja sama internasional guna pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil-hasil tindak pidana korupsi;
2.    Kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik.
F.   Undang-Undang No. 46 Tahun 2009[11]
Pada dasarnya undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kuekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan kusus hnaya dapat dibentuk dalam salah salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.

Jika ditinjau dari instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang- undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP, Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati, seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal. Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[12]

Daftar Pustaka

Ali Mahrus, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta.
Darwan Prinst, 2002, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah Andi Jur, 2005, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta..
Prodjohamidjojo Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Wijaya Firman, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta.


[1] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001, halaman 13.
[2] Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2005.
[3] Martiman Prodjohamidjojo, Op.cit, halaman 15.

[4] Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti ,Bandung, 2002, hlm 31.
[5] Ibid, hlm. 11.
[6] Mahrus Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, UII Press, Yogyakarta, hlm. 19.
[7] Ibid, hlm. 22.
[8] Ibid, hlm. 26
[9] Ibid, hlm. 30.
[10] Ibid, hlm. 32.
[11] Ibid, hlm. 41.
[12] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta 2008, halaman 49-50.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in