Sejarah
Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia
Pengertian Korupsi
adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara. Pengertian
Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat Anti korupsi secara mudahnya dapat
diartikan tindakan yang tidak menyetujui terhadap berbagai upaya yang dilakukan
oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Dengan kata lain,
anti korupsi merupakan sikap atau perilaku yang tidak mendukung atau menyetujui
terhadap berbagai upaya yang yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi untuk
merugikana keuangan negara atau perekonomian negara yang dapat menghambat
pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk mendukung upaya atau tindakan anti
korupsi melalui UU Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang
sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi, seperti Masyarakat Transparansi
Indonesia atau juga Lembaga Pemantau Kekayaan Negara.
Dalam penjelasan
umum UU Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi dinyatakan, bahwa Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam
masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang
memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi
yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya.
Dalam rangka
mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan
telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
Nepotisme; Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
·
Melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
·
Mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat.
·
Menyangkut
kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi:
·
Dapat
menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang
telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
·
Tidak
monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
·
Berfungsi
sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi.
·
Berfungsi
untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,
penuidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian
dan/atau kejaksaan.
Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan,
dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (pasal 1 ayat 3). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas dan wewenang KPK
menurut pasal 6 adalah.
·
Koordinasi
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
·
Supervisi
terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
·
Melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
·
Melakukan
tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
·
Melakukan
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara
Di Indonesia
langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi
telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa
masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis
baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang
berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor
PRT/PM/06/1957). Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana
korupsi di Indonesia sebagai berikut:
1.
Masa
Peraturan Penguasa Militer, yang terdiri dari:
a.
Pengaturan
yang berkuasa Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan oleh Penguasa Militer Angkatan
Darat dan berlaku untuk daerah kekuasaan Angkatan Darat. Rumusan korupsi menurut
perundang- undangan ini ada dua yaitu, tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapa
pun juga baik untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau
untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan
kerugian keuangan atau perekonomian.[1] Tiap
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari
suatu badan yang menerima. bantuan dari keuangan negara atau daerah yang dengan
mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan
kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan
material baginya.
b.
Peraturan
Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 berisi tentang pembentukan badan yang
berwenang mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang- orang yang
dituduh melakukan berbagai bentuk perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan
(perbuatan korupsi lainnya lewat Pengadilan Tinggi. Badan yang dimaksud adalah
Pemilik Harta Benda (PHB).
c.
Peraturan
Penguasaan Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan peraturan yang menjadi dasar
hukum dari kewenangan yang dimiliki oleh Pemilik Harta Benda (PHB) untuk
melakukan penyitaan harta benda yang dianggap hasil perbuatan korupsi lainnya,
sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
d.
Peraturan
Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958
serta peraturan pelaksananya.
e.
Peraturan
Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958
tanggal 17 April 1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58). Peraturan tersebut
diberlakukan untuk wilayah hukum Angkatan Laut.[2]
2.
Masa
Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.[3]
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan
peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat
sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20
UndangUndang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1961.
3.
Masa
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Masa
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor
20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002 (LNRI 2002-137.TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Dasar hukum dari
munculnya peraturan di luar Kitab Undang- Undang hukum Pidana (KUHP) di atas
adalah Pasal 103 KUHP. Di dalam pasal tersebut dinyatakan, “ Ketentuan-
ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi
perbuatan- perbuatan yang oleh ketentuan perundang- undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali oleh Undang- Undang ditentukan lain.
Jadi, dalam hal
ketentuan dalam peraturan perundang- undangan mengatur lain daripada yang telah
diatur dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah
mengesampingkan aturan umum (Lex Specialis Derogat Legi Generali). Dengan kata
lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu ketentuan perundang- undangan di luar
KUHP untuk mengesampingkan ketentuanketentuan yang telah diatur dalam KUHP.
Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sebenarnya terdapat ketentuan- ketentuan yang
mengancam dengan pidana orang yang melakukan delik jabatan, pada khususnya
delik- delik yang dilakukan oleh pejabat yang terkait dengan korupsi.
Ketentuan-
ketentuan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam KUHP dirasa kurang efektif
dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, dibentuklah suatu peraturan perundang-undangan guna
memberantas masalah korupsi, dengan harapan dapat mengisis serta menyempurnakan
kekurangan yang terdapat pada KUHP. Dengan berlakunya Undang-Undang 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang
Pemberantasan tindak Pidana korupsi, maka ketentuan Pasal 209 KUHP, Pasal 210
KUHP, Pasal 387 KUHP, Pasal 388 KUHP, Pasal 415, Pasal 416 KUHP, Pasal 417
KUHP, Pasal 418 KUHP, Pasal 419 KUHP, Pasal 420 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425
KUHP, Pasal 434 KUHP dinyatakan tidak berlaku.
Perumusan tindak
pidana korupsi menutur pasal 2 ayat 1 Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 adalah
setiap orang (orang-perorangan atau korporasi) yang memenuhi unsur/elemen dari
pasal tersebut. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal ini
adalah “Setiap Orang”, tidak ada keharusan Pegawai Negeri. Jadi, juga dapat dilakukan
oleh orang yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau korporasi, yang
dapat berbentuk badan hukum atau perkumpulan. Adapun perbuatan yang dilakukan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah sebagai berikut:[4]
1.
Memperkaya
diri sendiri, artinya bahwa perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya
kekayaan atau harta benda miliknya sendiri.
2.
Memperkaya
orang lain, maksudnya akibat perbuatan melawan hukum dari pelaku, ada orang
lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya.
Jadi, di sini yang diuntungkan bukan pelaku langsung.
3.
Memperkaya
korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi, yaitu kumpulan orang
atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum (Pasal 1 angka 1 undang- undang Nomor 31 Tahun 1999).
Lembaga
pemberantasan korupsi dewasa ini telah mengalami perubahan bahkan menunjukan
perkembangan guna meningkatkan pemberantasan tidak pidana korupsi, dimulai
sejak masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi. Perubahan dan/atau
perkembangan tersebut yakni:[5]
A. Masa Orde Lama
Orde Lama,
Kabinet Djuanda, dimasa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan
pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang
keadaan bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur
Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H.Nasution dan dibantu oleh
dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Kepada PARAN inilah seluruh pejabat harus menyampaikan data mengenai
pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak,
model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah
bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban
secara langsung kepada presiden, formulir itu tidak diserahkan
kepada PARAN, tetapi langsung kepada presiden. Diimbuhi dengan
kekacauan politik, PARAN berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan
kembali pelaksaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
Operasi Budhi
didirikan pada Tahun 1963, melalui Keputusan Presiden Nomor 275
Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang pada saat itu menjabat
sebagai menteri koordinator pertahanan dan kemanan/ KASAB, dibantu oleh
Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan
Operasi Bhudi. kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret
pelaku korupsi kepengadilan dengan_ sasaran utama perusahaanperusahaan negara serta
Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek korupsi dan
Kolusi Lagi-lagi alasan politisi menyebabkan kemandekan, seperti
Direktur Utama Pertamina yang bertugas ke Luar Negeri dan direksi lainya
menolak karena belum adanya surat tugas dari atasan, menjadi penghalang
efektifitas lembaga ini. Operasi Budhi ini juga berakhir, meski berhasil
menyelamatkan keuangan ngara kurang lebih Rp.11M. Operasi Budhi ini dihentikan
dengan pengumuman pembubaranya oleh Soebandrio kemudian diganti
menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KONTRAF)
dengan presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatat bahwa seiring
dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi pada masa Orde Lama
kembali masuk kejalur lambat, bahkan macet.
B. Masa Orde Baru
Pada masa awal
Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 1967,
Soeharto terang-terangan mengkeritik Orde Lama, yang tidak
mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan Demokrasi yang terpusat
ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan
dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun
ternyata, ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada
kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite 4 (empat) beranggotakan
Tokoh-Tokoh Tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti
Prof.Johanes, I.J.Kasimo, Mr Wilopo, dan A.Tjokroaminoto, dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust,
Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh
bersih ini menjadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di
Pertamina misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya
posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana
Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib dengan
tugas antara lain juga memberatas korupsi. Perselisihan pendapat
mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down
dikalangan pemberatas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan
pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang seiring dengan
makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
C. Masa Reformasi
Di Era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai
oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau
badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU,
atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid,
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
melalui Peratuan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. namun, ditengah
semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim
ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan dengan logikan
membenturkanya ke Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Nasib Serupa tapi
tidak sama dialami oleh KPKPN dengan dibentuknya Komis Pemberantasan
Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk kedalam KPK, sehingga KPKPN
sendiri menguap. Artinya, KPK adalah Lembaga Pemberantasan
Korupsi Terbaru yang kian bertahan.
Perkembangan
Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia:[6]
A. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960
Undang-Undang No.24 Prp Tahun 1960 pada dasarnya dibentuk
untuk menjaring beberapa perbuatan korupsi yang dilakukan oleh suatu badan atau
badan hukum tertentu dengan menggunakan fasilitas, modal atau kelonggaran dari
Negara dan masyarakat.
B. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971[7]
Terdapat dua alasan mengapa Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 dibentuk yaitu:
1.
Perbuatan-perbuatan
korupsi sangat merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional
2.
Undang-Undang
No. 24 Prp. Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak
Pidana Korupsi berhubungan dengan perkembangan masyarakat kurang mencukupi
untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan, dan oleh karenanya undang-undang
tersebut perlu diganti.
C. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999[8]
Dalam perkembangannya, walaupun keberadaan undang-undang
sebelumnya yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi yang hakikatnya sudah
maju dan progresif, akan tetapi perkembangan masyarakat dan teknologi informasi
yang memicu munculnya kejahatan korupsi baru dengan modus operandi yang sama
sekali baru mau tidak mau haros tercover dalam perundang-undangan pidana
korupsi. Jika diuraikan secara rinci ada 9 (sembilan) hal pokok yang menunjukan
perkembangan hukum:
1.
Diakuinya
korporasi sebagai subjek hukum atau subjek delik dalam tindak pidana korupsi.
Pasal 1 ayat (3) UU No.31 Tahun 1999.
2.
Pengertian
pegawai negeri dalam undag-undang No.31 Tahun 1999 diperluas maknanya
dibandingkan dengan Undang-Undang No.3 Tahun 1971, Pasal 1 ayat (2) UU No. 31
Tahun 1999 menyatakan bahwa disebut pegawai negeri meliputi:
a.
Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;
b.
Pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
d.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah;
e.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari Negara atau masyarakat.
3.
Sifat
melawan hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 secara eksplisit diperluas
maknaya tidak hanya melawan hukum formil tetapi juga melawan hukum materiil.
4.
Terdapat
penambahan kata “dapat” sebelum
frase “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam ketentuan
pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3, yang menunjukan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbul
akibatnya.
5.
Diperluasnya
pengertian keuangan negara atau perekonomian negara.
6.
Diaturnya
mengenai ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
7.
Dicantumkannya
pidana seumur hidup atau pidana mati atas pelanggaran ketentuan Pasal 2
ayat(1), Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa, dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan.
8.
Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 juga mengatur perumusan ancaman pidana kumulatif yang
terdapat dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal
12B ayat (2) antara pidana penjara dan pidana denda.
9.
Undang-Undang
No.31 tahun 1999 juga mnegatur peradilan in absentia sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 38 ayat (1). Pembentukan Komisi Pembarantasn Korupsi (Pasal
43), partisipasi masyarakat dalam bentuk hak mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan tindak pidana korupsi (Pasal 41) dan memberikan
penghargaan kepada mereka yang telah berjasa membantu upaya pencegahan,
pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi.
D. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001[9]
Beberapa perubahan penting dan mendasar dalam
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 yang ditidak ditemukan dalam Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 yaitu:
1.
Perubahan
redaksi penjelasn Pasal 2 ayat (2) sehingga menjadi:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”dalam ketentuan
ini adalah keadaaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam
nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
2.
Rumusan
Pasal 5,6,7,8,9,10,11 dan Pasal 12 langsung disebutkan unsur-unsurnya dalam
ketentuan Pasal-pasal bersangkutan, tidak lagi mengacu pada pasal-pasal dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3.
Perluasan
alat bukti petunjuk sebagaimana dalam ketentuan Pasal 26A khusus untuk tindak
pidana korupsi yang diperoleh dari (a) alat ukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikrim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan optik
atau yang serupa dengan itu; dan (b) dokumen yakni, setiap rekaman datau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik
apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa
tulisan, suara, gambar, peta rancangan foto, huruf, tanda, angka atau perforasi
yang memiliki makna.
4.
Substansi
Pasal 37 Undang-Undang No.31 Tahun1999 dirubah secara khusus pada frase
“keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan dirinya
menjadi “pembuktian tersebut digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti. Kata “dapat” dalam Pasal 37 ayat (4)
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 juga dibuang.
5.
Pasal
43A menentukan bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang
No.31 Tahun 1999 diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan UU No,3 tahun
1971 dengan ketentuan maskimum pidana penjara yang menguntungkan terdakwa
diberlakukan ketentuan Pasal 5,6,7,8,9,10 dan Pasal 13 Undang-Undang No.31
Tahun 1999. Ketentuan pidana penjara minimum tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang No. 31 Tahun 1999.
6.
Ketentuan
pasal 43B yang isinya menghapus dan menyatakan tidak berlaku Pasal
209,210,387,388,415,416,417,418,420,423,425 dan Pasal 435 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana pada saat mulai berlaku undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi.
E.
Undang-Undang
No. 7 Tahun 2006[10]
Pada dasarnya Undang-Undang No.7 Tahun 2006 merupakan
pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), terdapat dua alasan
penting mengapa UNCAC perlu diratifikasi:
1.
Tindak
pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal akan tetapi merupakan
fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian
sehingga penting adanya kerja sama internasional guna pencegahan dan
pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil-hasil
tindak pidana korupsi;
2.
Kerja
sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang
baik.
F.
Undang-Undang
No. 46 Tahun 2009[11]
Pada dasarnya undang-undang No. 46 Tahun 2009 tentang
pengadilan tindak pidana korupsi dibentuk berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 yang
menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya
sejalan dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kuekuasaan Kehakiman,
yang menentukan bahwa pengadilan kusus hnaya dapat dibentuk dalam salah salah
satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri.
Jika ditinjau dari
instrumen hukumnya, Indonesia telah memiliki banyak peraturan perundang-
undangan untuk mengatur pemberantasan tindak pidana korupsi. Diantaranya ada KUHP,
Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi beserta
revisinya melalui Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001, bahkan sudah ada Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 30
Tahun 2002. Secara substansi Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengatur berbagai
aspek yang kiranya dapat menjerat berbagai modus operandi tindak pidana korupsi
yang semakin rumit. Dalam Undang- Undang ini tindak pidana korupsi telah dirumuskan
sebagai tindak pidana formil, pengertian pegawai negeri telah diperluas, pelaku
korupsi tidak didefenisikan hanya kepada orang perorang tetapi juga pada
korporasi, sanksi yang dipergunakan adalah sanksi minimum sampai pidana mati,
seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3 undang-undang tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi dan telah pula dilengkapi dengan pengaturan
mengenai kewenangan penyidik, penuntut umumnya hingga hakim yang memeriksa di
sidang pengadilan. Bahkan, dalam segi pembuktian telah diterapkan pembuktian
tebalik secara berimbang dan sebagai kontrol, undang- undang ini dilengkapi
dengan Pasal 41 pengaturan mengenai peran serta masyarakat, kemudian dipertegas
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu pengaturan
tindak pidana korupsi dilakukan melalui kerja sama dengan dunia Internasioanal.
Hal ini dilakukan dengan cara menandatangani konvensi PBB tentang anti korupsi
yang memberikan peluang untuk mengembalikan aset- aset para koruptor yang di
bawa lari ke luar negeri. Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia akan
diuntungkan dengan penanda tangan jonvensi ini. Salah satu yang penting dalam
konvensi inia adalah adanya pengaturan tentang pembekuan, penyitaan dari harta
benda hasil korupsi yang ada di luar negeri.[12]
Daftar Pustaka
Ali
Mahrus, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi,
UII Press, Yogyakarta.
Darwan
Prinst, 2002, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hamzah
Andi Jur, 2005, Pemerantasan
Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta..
Prodjohamidjojo
Martiman, 2001, Penerapan
Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Wijaya
Firman, 2008, Peradilan
Korupsi Teori dan Praktik,
Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press, Jakarta.
[1]
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam
Delik Korupsi (UU No.31 Tahun 1999). Penerbit Mandar Maju, Bandung 2001,
halaman 13.
[2]
Jur. Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui Hukum
Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2005.
[12] Firman Wijaya, Peradilan Korupsi
Teori dan Praktik, Penerbit Penaku bekerjasama dengan Maharini Press,
Jakarta 2008, halaman 49-50.
Comments
Post a Comment