Skip to main content

Mengkonstruksi Kepribadian Manusia

I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah
                 
                  Manusia merupakan suatu sistem yang dimana unsur-unsur yang menyusunnya terpasang secara harmonis, berkesinambungan, dan terintegrasi. Karena manusia merupakan suatu sistem yang sempurna, maka manusia memiliki potensi untuk mengembangkan, mengubah, mengstatiskan bahkan melenyapkan apa yang ada di dalam dirinnya, dan yang menjadi sorotan dalam manusia adalah kepribadian, karena kepribadian merupakan ujung magnet yang menentukan kearah mana potensi manusia terutama yang ada dalam diri manusia hendak dikembangkan, apa kearah positif maupunn kearah negatif, karena pada hakekatnya manusia diberi kebebasan dalam menentukan arah dan ini merupakan salah satu keunggulan manusia sebagai suatu sistem, yang membedakan dengan sistem lainnya (hewan).
                  Manusia dalam mengembangkan kepribadiannya dihadapi persimpangan yang terdapat dua koridor yang salah satunya harus dipilih, yang dimana koridor tersebut membawa manusia ke klimaks kehidupan yang berbeda. Disini sepantasnya manusia dengan sistem yang sempurna dibanding sistem lain tentu  menghendaki suatu klimaks kehidupan yang bermuara pada ujung yang positif. Tapi dalam perjalanannya manusia sering kali menyimpang dari koridor yang dikehendaki positif dan mengeadopsi nilai yang dapat menghambat pencapaian tujuan utama, bahkan ada manusia dimana dalam mengembangkan kepribadiannya mengadopsi nilai yang berorientasi pada klimaks yang negatif baik secara sadar maupun tidak sadar, dan itu merupakan suatu yang logis terutama dalam pengembangan kepribadian. Bahkan suatu kepribadian bisa direkonstruksi baik oleh sektor internal, eksternal, maupun gabungan kedua sektor tersebut.





I.2 Perumusan Masalah
      Apakah suatu kepribadian manusia bisa dirubah sesuai dengan yang dikehendaki oleh manusia tersebut, terlebih kearah yang positif.

I.3 Pembatasan Masalah
      Bagaimanakah sifat-sifat bawaan yang melekat pada kepribadian manusia?
      Kemanakah arah kepribadian manusia dan bagaimana proses pengarahan kepribadian itu sesuai dengan kehendak manusia?

I.4 Tujuan dan Kegunaan Makalah
      Makalah ini dibuat untuk melengkapi tugas mata kuliah Jati Diri Unsoed, dan sebagai referensi bagi penyusun khususnya dan pembaca pada umumnya tentang apa dan bagaimana  kepribadian manusia itu diselaraskan dan dan diarahkan sesuai kehendak manusia. 

















II PEMBAHASAN

                  Manusia memiliki struktur kepribadian, dimana struktur kepribadian tersebut begitu besarnya peranannya bagi manusia, apakah dalam aspek individual ataupun kelompok. Disini jelas bahwa struktur kepribadian merupak kunci sifat alamiah manusia dan dinamika kejiawaan dari penyesuaian manusia dalam kehidupannya, seperti halnya  kaki dalam dinamika tubuh dari adaptasi manusia untuk berjalan[1]. Dimana arti dari kepribadian itu sendiri adalah organisasi dinamik sistem psikofisik pada seseorang yang memberikan corak yang pas dalam cara menyesuaikan diri dengan lingkungan.
                  Sifat-sifat kepribadian ini bukanlah bawaan, tapi diperoleh dari pengalaman hidup diajarka dan ditanamkan ahli pendidikan tidak seperti tingkah laku binatang, tingkah laku manusia tidak banyak dikendaliakn oleh instink, tapi banyak dikendalikan oleh sikap, pendapat dan nama yang hidup dalam masyarakat ditambah dengan pengalaman yang diperoleh bertahun-tahun. Semua ini membentuk sifat-sifat pribadi dan mempengaruhi pikiran dan tingkah laku seseorang. Keturunan memainkan peranan yang tidak begitu penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Walaupun tidak ada seorangpun juga yang bertanggung jawab penuh atas sifat pribadinya karena orang lain (orang tua, majikan, kawan) membantu membentk sifat-sifatnya, tapi setiap orang mempunya kesempatan untuk mengubah sifat-sifat ini untuk memperoleh suatu tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Bahkan ahli psikologi berpendapat bahwa tak seorangpun juga, yang perlu tetap ragu-ragu tentang kepribadiannya, pesimis, tak bertanggung jawab,tergantung pada orang lain, egois, tidak toleran atau malas[2]. Karena kepribadian setiap hari dapat berkembang atau hanya batas waktu umur saja.
                  Perkembangan atau dinamika kepribadian seseorang terjadi karena menghadapi berbagai hal yang dapat menjadi sumber tegangan, dapat berasal dari proses pertumbuahan sosiologis, konflik, frustasi, dan ancaman. Maka jika seseorang dihadapkan dengan sumber tegangan atau beberapa sumber tegangan maka manusia tersebut akan berusaha mengurangi tegangan tersebut dangan beberpa cara, diantaranya:
     
  1. Identifikasi.
            Individu akan bertingkah laku seperti orang lain. Seringkali seseorang
Yang menghadapi tegangan, dia berbuat seperti ayahnya atuu gurunya atau temannya untuk mengurangi rasa tidak enaknya.
  1. Penggantian obyek.
            Seringkali dorongan yang timbul tidak dapat dipuaskan dengan obyek yang tersedia, karena alsan obyektif (benda yang dimaksudkan tak ada) atau karena alasan moral (cara pemuasannya tidak sesuai dengan moral yang ada dalam masyarakat). Dalam hal begini individu berusaha mencari obyek pengganti.
  1. Proyeksi
      Secara tidak sadar menempatkan sifat-sifat batin sendiri pada obyek diluar dirinya, sehingga sifat-sifat batin sendiri itu dihayati atau diamati sebagai sifat orang lain. Sering terjadi seseorang yang membenci orang lain dihayati seolah-olah orang lain yang membencinya. Sebab membenci orang lain suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma masyarakat.
  1. Fiksasi
      Kondisi berhenti pada suatu fase perkembangan  tertentu yang seharusnya sudah ditinggalkannya, karena melangkah ke fase yang lebih lanjut akan menimbulkan kecemasan atau tidak enak. Misalnya pemuda yang takut berkencan dengan gadis pujaannya. Karena takut kehilangan kasih sayang ibunya.



  1. Regresi
      Kondisi kembali pada fase yang pernah ditinggalkan karena menghadapi situasi yang dihayati mengandung bahaya. Misalnya seseorang yang dibina dan diarahka menjadi disiplin tiba-tiba menjadi senaknya kembali kesikap semula gara-gara pindah kos yang kondisinya sangat berbeda dengan tempat semula.
  1. Rasionalisasi
      Adalah tanggapan sikap yang rasional kepada suatu kejadian. Misalnya seorang mahasiswa yang terlambat masuk ruang kuliah langsung memberikan alasan keterlambatannya, karena berhenti menambalkan ban sepeda motornya yang tertusuk paku dengan demikian dia merasa aman dari amarah dosen.
  1. Transkulpasi
      Adalah upaya mengkambing hitamkan orang lain, walaupun diri sendiri yang berbuat kesalahan (Sumadi,1981).

                  Dan apakah sifat-sifat diatas, dalam mengurangi ketegangan termasuk pengembangan  kepribadian/karakter yang kearah positif atau negatif maka disini kita akan bahas secara lebih dalam tentang merekonstruksi kepribadian atau karakter kearah positif dan akan membahas juga sifat-sifat yang akan membawa kita kepada kepribadian yang dapat membodohkan diri.

II.1 Neurologis Kebodohan
           
            Yang dimaksud dengan Neurologis berhubunga dengan saraf otak. Dalam  ini bagaimana saraf otak bekerja dalam merespon stimulus dari luar, dimana kalau dirangsang (distimulus) otak akan bekerja sesuai kebiasaannya. Itulah Neurologis, saraf otak bekerja menurut program-program kebiasaannya secara otomatis. Akan tetapi masing-masing individu berbeda dalam merespon suatu hal yang sama diluar dirinya. Perlu kita ketahui, dalam alam pikir kita banyak sekali jalur neurologis yang serba otomatis, mulai dari jalur neurologis positif yang mencerdaskan seseorang, hingga jalur neurologis yang negatif yang membodohkan seseorang.
            Selanjutnya yang dimaksud dengan neurologis kebodohan berarti bagaimana saraf kita membentuk jalur-jalur otomatis kebodohan. Neurologis kebodohan bukan berarti saraf atau intelegensinya rendah, melakukan  karena jalur-jalur otomatisnya yang keliru, sehingga kita tetap bodoh bila kita menghindar dari masalah itu ibarat “ jalur otomatis” menuju kebodohan maka semakin banyak menghindar, maka kita semakin banyak membuat jalur itu, semakin bodoh intelegensinya kita. Karena kita tidak pernah memberi kesempatan pada intelegensi yang ada dalam diri kita untuk berkembang. Dan perlu diingat juga terjadinya Neurologis kebodohan bisa datang dari orang lain. Dalam kasus ini orang lain, orangtua, seperti guru, teman, kolega, dan lain-lain. Sangat berpotensi sebagai penyebab terbentuknya Neurologis kebodohan. Apabila Neurologis kebodohan atau kebiasaa negatif sudah terbentuk dalam manusia (diri kita), kita masih bisa menghilangkan kebiasaan negatif kita dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, putuskan bahwa anda benar-benar ingin membuang neurologis itu. Pastikan anda siap menanggung resiko/tantangan yang menghadangnya karena keputusan tersebut.
Kedua, gunakan prinsip beruah sekarang atau sengsara seumur hidup.
Ketiga, interupsi polanya.Anda tidak akan bisa berubah apabila masih mempertahankan pola lama. Disebut berubah apabila polanya diinterupsi, diubah atau minimal digeser meskipun serba sedikit.
Keempat, ciptakan alternatif  baru yang memberdayakan.Bila selama ini anda berada di jalan neurologis “nikmat membawa segsara” saatnya anda beralih ke jalan (alternatif) nuurologis “sengsara membawa nikmat selamanya”.
Kelima, kondisikan pola barunya hingga konsisten. Pola baru akan menjadi konsisten, membiasa apabila tidakannya dilakukan secara berulang-ulang dengan intensitas emosional yang luar biasa.



Keenam, ujilah. Apakah perubahan neurologis kebodohan (pola lama) ke neurologiskecerdasan (pola baru)benar-benar mendatangkan manfaat bagi hidup anda. Apabila manfaatnya jauh lebih besar daripda tetap pada pola lama, pertahankan pola baru itu. Termasuk apakah pola baru itu tidak bertentangan dengan nilai, gaya hidup, dan keyakinan anda.

II. 2. Tujuh Perangkap Pembodohan Diri
     
      Dalam perjalanan pengembangan diri manusia cenderung terkena perangkap pembodohan diri yang berakibat tidak tercapainya klimaks kehidupan yang positif. Manusia sesungguhnya bisa keluar dari koridor yang berujung klimaks kehidupan negatif, karena manusia memiliki pikiran yang dinamis, tapi kadang “ego” pengaruhnya lebih besar dari “pikiran” dan “kata hati”. Semua orang genius, tidak ada manusia manusia yang bodoh. Manusia terlahir untuk menjadi genius hanya saja manusia tidak menyadari bahwa dirinya, seiring perjalan waktu dan pengalama hidup setelah masuk dalam perangkap kebodohan diri.
      Tidak terkecuali apapun latar belakannya, kaya atau miskin, seseorang berpeluang masuk perangkap kebodohan. Siapa saja yang masuk, cepat atau lambat, akan menjadi manusia bodoh. Perangkap kebodohan tidak sebatas faktor-faktor sosial ekonomi (kaya-miskin), namun lebih banyak masuk kewilayah pola pikir individual yang kaya dan miskin berpeluang masuk perangkap kebodohan yang diciptakannya sendiri. Berikut adalah perangkap kebodohan yang berakibat kepribadian kita tidak berkembang.
Pertama,kita cenderung mengejar kemudahan daripada kesulitan. Sesuatu yang mudah dan tidak banyak unsur kesulitannya membuat pikiran kita kurang mau bekerja secaara optimal. Padahal syarat untuk menjadi lebih pintar adalah menghadapi kesulitan (belajar).
Menurut para ahli neuroscience, sel-sel saraf otak akan berkembang baik bila sering berpikir alias sering menghadapi ujian (belajar). Setiap kali menyelesaikan persoalan (belajar), pikiran membuat sebuah sirkuit baru sebagai dasar (pengalaman) menyelesaikan persoalan yang sama atau pesoalan baru.
Kedua, kita cenderung menutup pikiran. Tidak mau belajar sesuatu yang baru. Terjadinya kekerdilan pikiran boleh jadi berawal dari pintu-pintu pikiran yang serin tertutup.
“Pikiran itu seperti parasut” begitu sering kita dengar dari pakar pengembangan diri. Parasut berfungsi apabila dibuka. Demikian halnya pikiran kita, akan berfungfi apabila sering membuka. Kita menjadi pintar pada dasarnya karena rajin menerima masukan dari orang lain.
Ketiga, kita cenderung memiliki “arogansi intelektual” pendapat kita jauh lebih benar daripada pendapat atau teori orang lain. Hal seperti itu, bila dibalut dengan sifat emosional yang tidak mau tahu, melengkapi “arogansi intelektual” kita sebagai pangkal kebodohan. Semakin kita arogan, semakin sulit kita meenerima ide orang lain.
Keempat, kita cenderung memiliki sifat takut salah. Budaya kita cenderung tidak menghargai kesalahan. Yang dihargai dalam budaya belajar kita hanyalah yang benar, padahal sebuah kebenaran selalu melewati proses salah terlebih dahulu. Takut salah berarti takut belajar.
Kelima, terperangkap dalam citra diri yang rendah. Berbagai kekurangan fasilitas dan sumber-sumber akses informasi lain bahwa diri seseorang pada pola pikir atau sikap rendah diri. Bahwa dirinya tidak mungkin berprestasi atau tidak mungkin bisa belajar pada level yang lebig tinggi karena miskin.
Keenam, Terperangkap waktu. Apakah manusia akan menjadi pintar atau bodoh sangat bergantung pada bagaimana cara mereka memanffaatkan waktu. Ketrampilan seseorang dalam memanfaatkan waktu dapat menentukan apakah dirinya akan menjadi manusia dewasa atau tua saja.
Pada saat sibuk kita cenderung mendambakan datangnya waktu luang untuk bisa belajar, namun ketika waktu luang tersediakita cenderung mengabaikannya. Dalilnya, maktu luang adalah untuk istirahat memanjaakan diri.
Ketujuh, kita cenderung menuruti “kata egois” daripada “kata hati”. Kata hati selalu menginginkan untu rajin belajar agar pintar, namun pada waktu yang sama ego selalu menggoda dengan sejumlah kenikmatan.

      Bila kita gabung menjadi satu, dari tujuh perangkap kebodohan  tersebut, sesungguhnya itu semua  hanyalah persoaalan cara pandang terhadap menghadap “pendewasaan pikiran “. Sebagai orang, karena belum tahu mungkin memandang bahwa “menghadapi kesulitan” adalah cara mudah untuk mendapatkan kenyamanan hidup. Sementara, sebagian lain memandang “menghindari kesulitan” sebagai pangkal kebodohan pembawa malapetaka hidup. Takut salah, sibuk (perangkap waktu), dan manja terhadap diri-sendiri merupakan perangkap namun sebagian orang memandangnya bukan perangkap, melainkan”sebuah kewaspadaan”  agar tidak terperangkap kedalamnya.
      Setiap peristiwa ada konten (content) dan konteks (context), hal yang sama dalam konteks yang berbeda lain pula maknanya. Semua peristiwa pembodohan diri bersifat subjektif. Perangkap-perangkap tersebut apakah akan menjadi perangkap nyata ataukah akan menjadi alat berprestasi, sangat bergantung pada individu masing-masing dalam memberikan “makna” pada perangkap itu dengan demikian apakah ada perangkap atau tidak dalam diri kita bergantung pada subjektivitas masing-masing.
      Yang sulit adalah bagaimana mengubah semua peristiwa negatif yang menjadi perangkap itu menjadi “seperti” peristiwa positif yang tidak lagi memerangkap diri untuk membentuk kepribadian yang terkonstruksi bersifat positif. Disinilah letak, dimana kesadaran yang bukan hanya sekedar tahu atau paham ala kesadaran kognitif, namun kesadaran total yang melibatkan emosional-spiritual yakni kesadaran yang melibatkan persetujuan lubuk hati yang paling dalam. Kalau sebenarnya semua perangkap bersifat subjektif (ada atau tidaknya tergantung pada cara pandang kita masing-masing), mestinya secara teoritis tidak sulit untuk dihapus. Kolaborasi antara kesadaran puncak dan kesanggupan memberi makna positif pada setiap bentuk perangkap akan memudahkan kita keluar dari perangkap-perangkap pembodohan diri itu yang dapat menghambat  dalam mengkonstruksi kepribadian.

II.3  Persepsi kegagalan dalam pembentukan kepribadian maupun di segi pembentukan lainnya.
                 
                  Adakah kegagalan dalam pembentukan kepribadian atau pembentukan di segi lainnya dalam kehidupan manusia ini? Nalar sehat akan menjawab serentak:”tentu ada”. Namun disitulah letaknya siapa saja yang mempercayai kegagalan, ia pasti gagal; sebaliknya bila ia tidak mempercayai kegagalan ia pasti akan berhasil dalam pembentukan kepribadian dalam dirinya (pribadi yang positif). Dalam pengalaman hidup kita kita sering bersekongkol “ego” yakni salah satu bagian dari jiwa kita yang selalu menghindar kesulitan dan memburu kemudahan, dan cendrung melepas tanggung jawab karena sulit dan merasa dirinya akan gagal, sehingga menjadi pelampiasan demi kesenangan sesaat. Bagaimana seseorang manusia dalam memehami arti sebuah kegagalan  dalam membentuk kepribadian atau membentuk segi kehidupan lainnya:
                  Pertama, gagal itu tidak ada, yang ada hanyalah hasil-hasil yang belum sesuai dengan harapan. Bila saat ini manusia sedang mengalami kegagalan, ia akan menganggap itu sebagai pijakan kuat dan pelajaran terbaik untuk langkah berikutnya sepanjang masih ada usaha, belum bisa dikatakan gagal.
                  Kedua, gagal itu manusiawi, artinya kita bukalah malaikat pencipta sukses. Hanya Tuhan yang Maha tidak pernah gagal. Kegagalan menjadikan kita mendekat pada zat yang Maha tidak pernah gagal: Tuhan.
                  Ketiga, gagal itu pelajaran yang sangat berharga, walapun mengalami kegagalan, kita tetap berusaha bangkit sehingga akan memperoleh banyak pelajaran dalam hidup. Manusia hebat adalah manusia mau belajar dari kegagalannya. Dibalik kegagalan, tersimpan sejuta pengalaman hidup yang tak ternilai harganya.
                 
                  Manusia disebut hidup bila melakukan sesuatu, dan disebut mati bila hanya berdiam diri dan meratapi nasib masa lalu. Karena tidak ada kegagalan dalam hidup ini bila masih ada spirit untuk terus bisa apapun  hasilnya, dan tetap melakukan tindakan-tindakan sebagai dasar syukur atas karunia  Tuhan hari ini.

II.4      Manusia mempunyai kuasa tak tebatas dalam membentuk kepribadian
                 
                  Dalam bukunya Anthony Robbins, unlimited powers. Bahwa kita memiliki potensi diri yang nyaris tak terbatas. Kita dapat memanfaatkan potensi diri secara optimal untuk meraih cita-cita dengan cara kita masing-masing, dan itu sangat memungkinkan kita berkuasa atas diri kita sehingga kita bebas melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Sebagai penguasa kita bebas memutuskan dengan menanggung segala konsekuensi yang menyertainya. Bahwa kita bisa menentukan nasib atau kepribadian kita. Karena sebagai individu kita bebas menentukan masa depan kita, nasib banyak ditentukan oleh tindakan kita. Collins mengajarkan,”masyarakat boleh saja meramalkan, tetapi masing-masing dari kitalah yang akan menentukan nasibnya sendiri”. Artinya, setiap diri manusia adalah bukanlah robot yang bertindak atas program diluar dirinya, melainkan subjek yang bisa menentukan masa depannya sendiri. Dari penjelasan yang telah terurai sebelumnya jelas bahwa kitalah yang menentukan nasib kepribadian kita dimasa yang akan datang, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan sedikit banyaknnya menyumbang pembentukan kepribadian dimasa yang akan datang. Terdapat beberapa contoh betapa manusia memiliki kekuasaan nyaris tak tetbatas atas diri masing-masing. Setidaknya ada tujuh kebebasan yang kita miliki setiap hari yaitu:


Pertama, berkuasa atas kondisi pikiran. Artinya apapun masalah yang saya hadapi saat ini, saya bisa mengatur kondisi pikiran saya. Senang atau sedih saya mengambil keputusan dan memilihnya. Bisa saja ketika menghadapi masalah besar, saya menjadi stress dan tidak berdaya. Atau, bahkan mungkin murung sepanjang hari dan sangat sensitif serta mudah naik pitam. Saya berkuasa untuk itu. Namun saya juga berkuasa mengatur pikiran untuk tidak strees atas sebuah masalah. Saya bisa mengalihkannya degan fokus pada peristiwa yang menyenangkan, sehingga kondisi stres pun dapat diganti dengan kondisi yang lebih menyenangkan dan berdaya guna.
Kedua, kuasa atas kecerdasan tubuh. Setiap saat saya bersyukur karena tubuh saya sehat alias cerdas. Seluruh sel dalam tubuh saya  yang jumlah miliaran masih tetap menjalankan tugasnya, sehingga saya sehat. Jika satu sel mogok kerja, tubuh menuntut saya untuk istirahat (sakit). Saya berkuasa atas kesehatan tubuh saya, maka saya gunakan sebaik-baiknya sesuai dengan visi dan misi hidup saya, saya tidak ingin kesadaran saya telat, itu menyadari akan pentingnya sehat, setelah jatuh sakit.
Ketiga, kuasa kecerdasan emosional. Tingkat kebodohan emosional level paling rendah adalah putus asa, dan tingkat kecerdasan puncak emosional adalah tidak pernah putus asa atas segala tantangan hidup.  Putus asa berarti gagal, dan tidak putus asa berarti tidak gagal. Tindakan yang berkonsekuensi positif dapat mengantarkan kepintu keberhasilan.
Keempat, kuasa kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini adalah kekeusasaan sesoarang untuk menangkap sebuah makna atas setiap peristiwa. Tidak ada sebuah kalimat tanpa makna kemampuan menangkap makna untik perbaikan kualitas diri menjadi hal yang sangat mendasar dalam hidup ini. Dibalik keberhasilan atau kegagalan selalu ada makna. Keberhasilan tidak saja bermakna suskes tetapi juga amanah agar bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Kegagalan bermakna pembelajaran agar lebih dewasa menuju keberhasilan puncak. Selalu saja ada makna dibalik peristiwa.
Kelima, kuasa memilih. Pikiran sehat, tubuh sehat, emosi sehat, dan spiritual sehat. Kita harus memilih tindakan-tindakan tersebut. Dari pada diri ini terjebak berbagai tindakan yang kurang memberdayakan diri, seperti merasa lelah dan depresi kita harus memilih sejumlah tindakan yang menyenagkan dan bermanfaat kedepan,  dari pada meratapi nasib yang tak berujung lebih mengambil sebuah tindakan meskipun kecil, namun berpeluang memperbaiki nasib. Dari pada energi habis memikirkan karir yang kurang menguntungkan, lebih baik mengambil tindakan yang menyenangkan dan bermanfaat, seperti: bismis kecil-kecilan, menyalurkan hobi positif dan sebagainnya.
Keenam, kuasa atas kemampuan sendiri. Atas kuasa-kuasa yang kita memiliki seperti tersebut diatas dan masih banyak lagi kuasa lainnya, kita memiliki kuasa yang riil hari ini. Atas kuasa yang kita miliki dan melekat pada diri kita. Kita dapat minimal melakukan suatu tindakan yang memang mampu kita lakukan. Atas limpahan karunia Tuhan yang melekat pada diri kita, kuasa ini hendaknya kita  manfaatkan sebaik-baiknya semampu kita.
Ketujuh, kuasa dibawah Sang Maha Kuasa. Semua yang melekat dalam diri ini memeng diperuntukan bagi wewenang kita. Namun apapun yang kita kuasai sebatas pada kuasa Sang Penguasa Tunggal yaitu Tuhan. Hanya dengan seizin-Nya, kita bisa menggunakan sebagian kuasa Tuhan yang diamanahkan kepada kita.
           
            Sifat kepribadian tidak berdiri sendiri, mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Kepercayaan pada diri sendiri mempengaruhi sikap hati-hati, ketaktergantungan, ketidakserakahan, toleransi dan cita-cita. Demikianlah seseorang yang percaya pada diri sendiri tidaklah hati-hati secara berlebihan, dia yakin aka ketergantungan dirinya. Karena percaya pada diri sendiri tidak menjadi terlalu egois,dia lebih toleran, karena dia tidak langsung melihat dirinya sedang dipersoalkan, dan cita-citanya normal karena tidak ada perlunya bagi dia untuk menutup kekurang percayaan Pada diri sendiri dengan cita-cita yang berlebihan (exagerated ambition).
Kepercayaan pada diri sendiri dan optimisme adalah sifat kepribadian yang sangat menentukan dan itulah sebabnya dalam diagram dibawah, sifat itu ditempatkan di pusat. Disekeliling pusat ini terdapat ketidak tergantungan, ketidaktamakan, cita-cita dan toleransi terhadap tekanan. Seperti diperlihatkan dalam diagram tersebut, pengertian atas sifat manusia, toleransi dan kehatian-hatian adalah sifat-sifat yang terletak lebih diluar.
Keempat sifat dalam lingkaran luar adalah yang paling mudah diperbaiki, karena mereka terletak dalam daerah kepribadian yang lebih luar.
 






EMPATI


KEBEBASAN,KEPERCAYAAN PADA 
DIRI SENDIRI,OPTIMISME,TAK MEMENTINGKAN 
DIRI SENDIRI,AMBISI,TOLERANSI,MEMAHAMI WATAK MANUSIA,DAYA TAHAN 
MENGHADAPI COBAAN,KAHATI-HATIAN
 












                          Diagram Sifat Kepribadian

Sedang keprcayaan pada diri sendiri dan optimisme tidak terlalau mudah dirubah karena mereka sukar dicapai dengan pertimbangan yang rasional. Pengertian atas sifat manusia dapat dipelajari seperti ilmu alam dan biologi. Tetapi optimisme yang merupakan sikap jiwa yang pokok berurat, berakar pada pengalaman dan kejadian masa lalu. Untuk menembah optimisme, maka seluruh kepribadian harus dirubah. Kejadian masa lau hars dinilai kembali dan suatu kesadaran baru atas diri sendiri dan kehidupan harus dipilah.






III. PENUTUP

III.1 Kesimpulan
            Manusia bisa merubah kepribadiannya kearah positif, karena sesungguhnya manusia memegang kehendak akan dirinya.
III.2 Saran
                        Jika manusia mempunyai kehendak untuk merubah kepribadiannya kearah positif, maka manusia tersebut harus siap melepas kepribadian yang dapat menghambat menuju tujuan




[1] Parsudi, S. 1984.
[2] Peter Lauster. Personality Test, hal 2, bumi aksara, 1994.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in