I.
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Pengaturan
terhadap perlindungan korban dalam proses pemidanaan di Indonesia menunjukan
bahwa pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan belum menunjukan pola
yang jelas. Korban merupakan bagian dari suatu tindak kejahatan, selain itu
korban juga memiliki peran terhadap terjadinya suatu kejahatan. Tindak
kejahatan yang merupakan pelanggaran dari hukum positif yang diselesaikan
dengan sistem peradilan pidana. Dengan sistem peradilan pidana untuk
menyelesaikan atau menangani suatu tindak kejahatan yang merupakan pelanggaran
hukum positif diharapkan dapat menghukum atau membebaskan seseorang dari
ancaman tindak pidana. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana belum dapat
dinyatakan adil bagi korban dari suatu tindak kejahatan yang terjadi, kedudukan
korban dalam sistem peradilan pidana kurang diperhatikan karena di dalam sistem
peradilan pidana cenderung berorientasi pada pelaku dan tindak pidananya
sedangkan kedudukan korban kurang diperhatikan. Dapat dilihat dari peraturan
perundang-undangan mengenai tindak pidana yang mana bahwa dapat kita lihat
peraturan perundang-undangan tersebut tidak ada yang berorientasi kepada
korban. Dari situ dapat dilihat bahwa belum adanya keadilan bagi korban dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kemudian
muncul sistem hukum yang mengarah pada Keadilan
Restoratif, mengingat sudah semakin banyaknya perkara-perkara pidana yang
berkaitan dengan anak-anak/remaja yang bermasalah dengan hukum atau kalangan
masyarakat yang terbelakang dan tertinggal dari sisi pengetahuan dan kesadaran
(kepatuhan) dalam mentaati hukum di negara ini dan belum adanya keadilan bagi
korban tindak kejahatan dalam sistem peradilan di Indonesia.
B.
Landasan
Teori
Keadilan
restoratif adalah sebuah pendekatan untuk keadilan yang berfokus pada kebutuhan
korban, pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip
hukum abstrak atau menghukum pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses,
sementara pelaku didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka,
"untuk memperbaiki hal-hal yang membahayakan mereka, dilakukan-dengan cara
meminta maaf, mengembalikan uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat. konsep
pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan
menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa
tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada
saat ini.
Korban
merupakan akibat perbuatan disengaja atau kelalaian, kemauan suka rela atau
dipaksa atau ditipu, bencana alam, dan semuanya benar-benar berisi sifat
penderitaan jiwa, raga, harta dan morel serta sifat ketidakadilan.[1]
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari
tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Mereka
di sini dapat berarti korban individual (viktimisasi primair). Selain itu
mereka di sini dapat berarti korban yang bukan perorangan, misalnya, suatu
badan, organisasi, lembaga. Pihak korban adalah keterlibatan umum, keserasian
sosial dan pelaksanaan perintah, misalnya pada pelanggaran peraturan dan
ketentuan-ketentuan Negara (viktimisasi tersier).
Sistem peradilan pidana di
indonesia yang berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981, memiliki sepuluh
asas sebagai berikut:
·
Perlakuan
yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun;
·
Asas
praduga tak bersalah;
·
Hak
untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi
·
Hak
untuk memperoleh bantuan hukum;
·
Hak
kehadiran terdakwa di muka pengadilan;
·
Peradilan
yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sedehana;
·
Peradilan
yang terbuka untuk umum;
·
Pelanggaran
atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, pengeledahan dan penyitaan)
harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah
(tertulis);
·
Hak
seseorang tersangka untuk diberikan bantuan tentang prasangkaan dan pendakwaan
terhadapnya;
·
Kewajiban
pengadilan dan mengendalikan putusannya.
Asas
persamaan atau kesederajatan dimuka hukum, ini berarti tidak ada perbedaan
perlakuan terhadap siapapun juga Pasal 5 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
dengan tegas menyebutkan bahwa Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang. Penjelasan
umum angka 3 huruf a KUHAP mengatakan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap
orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan’. [2]
C.
Rumusan
Masalah
Sistem
peradilan pidana dengan peraturan perundang-undangannya tidak ada yang
berorientasi kepada korban. Kemudian muncul sistem peradilan yang mengarah pada
keadilan restoratif yang lebih menjamin kedudukan korban. Maka perlu di kaji
lebih dalam mengenai:
1. Keadilan
restoratif bagi viktimologi !
2. Penyelesaian
perkara melalui keadilan restoratif !
II.
Pembahasan
1.
Keadilan
Restoratif Bagi Viktimologi
Keadilan
restoratif adalah bukan keadilan yang menekankan pada prosedur (keadilan prosedural),
melainkan keadilan substantif. Kita menginginkan keadilan substantif menjadi
dasar dari negara hukum kita, karena itu prospek yang sangat baik untuk
membahagiakan bangsa kita. Negara hukum Indonesia hendaknya menjadi negara yang
membahagiakan rakyatnya dan untuk itu di sini dipilih konsep keadilan yang
restoratif, yang tidak lain adalah keadilan substantif tersebut. Menurut
Agustinus Pohan, keadilan restoratif merupakan konsep keadilan yang sangat
berbeda dengan apa yang dikenal dalam sistem peradilan pidana di Indonesia saat
ini yang bersifat retributif. Keadilan restoratif merupakan sebuah pendekatan
untuk membuat pemindahan dan pelembagaan menjadi sesuai dengan keadilan.
Dalam
penegakan keadilan belum mencapai cita-cita keadilan bagi para pihak terutama
korban dari suatu tindak kejahatan. Kegagalan menegakkan keadilan disebabkan
oleh beberapa hal:
·
Perlakuan yang tidak adil. Beberapa
perlakuan tersebut diantaranya penahanan dan penangkapan tanpa alasan kuat,
pemaksaan pengakuan, pemalsuan bukti-bukti forensik, pembelaan hukum oleh para
penasehat hukum dibawah standar profesi, atau kesesatan hakim yang terlanjur
membebaskan terdakwa karena kesalahan teknis.
·
Peraturan hukum yang tidak adil,
semata-mata demi kepastian hukum
·
Tindakan adanya pembenaran faktual dalam
penerapan pidana dan tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan
terhadap orang yang tidak bersalah, akibat kesalahan dalam sistem pembuktian
·
Perlakuan yang merugikan dan tidak
proposional terhadap tersangka, terdakwa, dan terpidana, dibandingkan dengan
kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain
·
Hak-hak orang lain tidak dilindungi
secara efektif dan proposional oleh negara
·
Perlakuan tidak adil terhadap korban
akibat hukum yang tidak kondusif[3]
Tujuan
dari keadilan restoratif adalah mendorong terciptanya peradilan yang adil dan
mendorong para pihak untuk ikut serta didalamnya. Korban merasa bahwa
penderitaannya di perhatikan dan kompensasi yang disepakati seimbang dengan
penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Pelaku tidak mesti mengalami
penderitaan untuk dapat menyadari kesalahannya. Justru dengan kesepakatan untum
mengerti dan memperbaiki kerusakan yang timbul, kesadaran tersebut dapat
diperolehnya. Semenntara bagi masyarakat, adanya jaminan keseimbangan dalam
kehidupan dan aspirasi yang ada tersalurkan oleh pemerintah. Tujuan utama
restorative justice adalah memberdayakan korban, dimana pelaku didorong agar
memperhatiakan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya
kebutuhan material, emosional, dan sosial sang korban. Keberhasilan keadilan
restoratif, diukur oleh sebesar apa kerugian yang telah dipulihkan pelaku,
bukan diukur oleh seberat apa pidana yang dijatuhkan hakim. Intinya, sedapat
mungkin pelaku dikeluarkan dari proses pidana dan dari penjara. Tapi, seperti
yang dikatakan Kent Roach, keadilan restoratif bukan hanya memberikan
alternatif bagi penuntutan dan pemenjaraan, melainkan juga meminta
tanggungjawab pelaku. Tindakan kriminal dalam keadilan restoratif, ditafsirkan
sebagai pelanggaran terhadap hukum dan negara, lagi pula yang dihadapi pelaku
adalah korban dan komunitasnya, bukan pemerintah.
Proses
keadilan restoratif pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses
peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya
merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan
cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Keadilan restoratif merupakan langkah
pengembangan upaya non-penahanan dan langkah berbasis masyarakat bagi anak yang
berhadapan dengan hukum. Keadilan restoratif dapat menggali nilai-nilai dan
praktek-praktek positif yang ada di masyarakat yang sejalan dengan penegakan
hak asasi manusia.
Pendekatan
keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana juga bertujuan untuk
menghindarkan pelakunya dari proses pemidanaan yang terkadang dirasakan belum
dapat mencerminkan nilai-nilai keadilan. Dalam upaya penegakan hukum pidana,
semestinya bukan hanya akibat tindak pidana itu yang menjadi fokus perhatian,
tetapi satu hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah faktor yang
menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana.
Sasaran
dari proses peradilan pidana menurut perspektif keadilan restoratif adalah
menuntut pertanggungjawaban pelanggar terhadap perbuatan dan akibat-akibatnya,
yakni bagaimana merestorasi penderitaan orang yang terlanggar haknya (korban)
seperti pada posisi sebelum pelanggaran dilakukan atau kerugian terjadi, baik
aspek materiil maupun aspek immateriil.[4]
2.
Penyelesaian
Perkara Melalui Keadilan Restoratif
Proses
penyelesaian perkara, restorative justice tidak lagi menggunakan cara-cara
konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang
hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta
mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut.
Sementara dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice bukan lagi
kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh restorative justice adalah sebuah
pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan
turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan
antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali
seperti semula. Keadilan Restoratif, melibatkan kedua pihak yaitu korban dan
pelaku dan berfokus pada kebutuhan pribadi mereka. Selain itu, juga memberikan
suatu bentuk bantuan bagi pelaku untuk menghindari pelanggaran di masa depan.
Hal
ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan
pelanggaran menjadi pelanggaran terhadap individu atau masyarakat, bukan
negara. Keadilan Restoratif yang mendorong dialog antara korban dan pelaku
menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.
III.
Penutup
A.
Kesimpulan
Pengaturan
terhadap korban dalam proses pemidanaan di Indonesia menunjukan bahwa
pengaturan hukum pidana terhadap korban belum menunjukan pola yang jelas dapat
juga dikatakan bahwa masih belum adanya keadilan terutama bagi korban tindak
kejahatan.
Daripada
mengistimewakan hukum, profesional dan negara, resolusi restoratif lebih
mengarah kepada solusi keadilan yang melibatkan orang-orang yang dirugikan,
pelanggarnya dan masyarakat yang terkena dampak untuk mencari solusi yang
mempromosikan perbaikan, rekonsiliasi dan pembangunan kembali hubungan.
Keadilan
restoratif berusaha untuk membangun kemitraan untuk membangun kembali tanggung
jawab bersama guna respon konstruktif memperbaiki kesalahan dalam komunitas itu
sendiri. Pendekatan restoratif mencari pendekatan yang seimbang dengan
kebutuhan yang jahat, korban dan masyarakat melalui proses yang melestarikan
keamanan dan martabat semua pihak.
[1]
Dr. Angkasa, SH, Mhum.,2011, Viktimologi, Purwokerto. Hal 8.
[3]
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan
Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002, hlm.
274.
[4]
http://amelindanurrahmah.blogspot.com/2012/04/penegakan-keadilan-restoratif-di-dalam.html.
D iakses 13.12.2012 | 23.10 WIB.
Comments
Post a Comment