CONTOH KASUS

Tersangka pemberi suap adalah seorang perempuan bernama Sri Dartuti. Diduga, Sri adalah kerabat dari terdakwa kasus korupsi yang sedang diadili Kartini di Pengadilan Tipikor Semarang.
Sumber Tempo di KPK menyebut Sri Dartuti
sebagai adik dari Ketua DPRD Grobogan, Jawa Tengah, Muhammad Yaeni. Dia sedang
diadili dalam kasus korupsi perawatan mobil dinas DPRD Grobogan, Jawa Tengah
senilai Rp 1,9 miliar.
Yaeni, politikus PDI Perjuangan di Grobogan, sebelumnya sudah mendapat banyak keistimewaan selama menjalani sidang. Hakim Kartini Marpaung sempat meloloskan permintaannya untuk tidak ditahan selama sidang. Walhasil, Yaeni pun hanya menjadi tahanan rumah. Jika kasus suap ini tak terungkap, Yaeni seharusnya divonis 27 Agustus 2012 depan. Dia dituntut hukuman penjara 2,5 tahun. Pelaku korupsi yang mengulangi perbuatannya terancam hukuman mati.
Yaeni, politikus PDI Perjuangan di Grobogan, sebelumnya sudah mendapat banyak keistimewaan selama menjalani sidang. Hakim Kartini Marpaung sempat meloloskan permintaannya untuk tidak ditahan selama sidang. Walhasil, Yaeni pun hanya menjadi tahanan rumah. Jika kasus suap ini tak terungkap, Yaeni seharusnya divonis 27 Agustus 2012 depan. Dia dituntut hukuman penjara 2,5 tahun. Pelaku korupsi yang mengulangi perbuatannya terancam hukuman mati.
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dunia
hukum di Indonesia telah mengalami pasang dan surut. Banyak pihak yang mencibir
sinis dan pesimis namun ada juga yang tetap menaruh harapan. Banyak masalah
yang memicu kekecewaan masyarakat, salah satunya adalah konkursus tentang etika
profesi hukum yang sering dikangkangi oleh mereka-mereka sendiri yang
berkecimpung di dalam dunia hukum itu sendiri. Hal ini pula berkaitan dengan
profesi hakim sebagai salah satu profesi terhormat di dunia hukum atau dapat
juga dikatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari profesi hukum
sekaligus sebagai motor penggerak mesin peradilan.
Sehubungan
dengan itu, telah dimaklumi bahwa sejak dulu keluhan-keluhan sering dialamatkan
pada dunia peradilan kita. Kalaulah dapat disebut suatu masa, keluhan-keluhan
itu terutama terjadi sejak masa orde lama, masa orde baru, dan tetap
berlangsung hingga saat ini.Ditinjau dari kemampuan masyarakat memberikan
reaksi, atau respons terhadap dunia peradilan, ada fluktuasi keluhan-keluhan
yang disampaikan. Pada suatu saat masalah indepedensi mengemuka, di saat lain
muncul ke permukaan masalah mutu hakim dan mutu putusan.
Semua
keluhan di atas bermuara pada pertanyaan tentang profesionalitas hakim yang
bersangkutan. Sehingga hampir dapat dikatakan bahwa hakim yang baik adalah
hakim yang profesional di bidangnya. Bagir Manan menguraikan sedikitnya ada 5
(lima) perspektif untuk menjadi hakim yang profesional, yaitu : dalam
perspektif intelektual sebagai perspektif pengetahuan dan konsep-konsep baik
ilmu hukum maupun ilmu-ilmu atau konsep-konsep ilmu lain terutama ilmu sosial;
dalam perspektif etik, berkaitan dengan moral; dalam perspektif hukum,
sehubungan dengan ketaatan hakim pada kaidah-kaidah hukum baik bersifat
administratif maupun pidana; dalam perspektif kesadaran beragama, berkenaan
dengan hubungan seorang hakim dengan Tuhannya; dan terakhir dalam perspektif
teknis peradilan dimana pengusaan terhadap hukum acara (hukum formil) mutlak
diperlukan.
Peradilan di Indonesia banyak
mengalami sorotan , berbagai permasalahan yang ada mulai dari mafia peradilan ,
penegakan hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan , hingga jual beli kasus yang
terjadi di pengadilan masih
saja
terjadi
hingga
saat
ini.
Disini peran profesi hukum, khususnya disini adalah hakim dalam menjalankan
fungsi concern with the truth atau
penjaga peradaban sangat diperlukan di dalamnya. Kepastian hukum dan keadilan
merupakan dua nilai yang selalu terformulasikan dalam putusan hakim. Dalam
menjatuhkan putusan, hakim tidak hanya merujuk pada hukum dan
undang-undang,tetapi juga mengunakan pendekatan keadilan bagi terdakwa, disini
terdapat aspek non hukum dibalik formulasi putusan yang tertulis. Putusan hakim yang baik akan lahir
ketika adanya usaha secara intensif untuk mendapatkan kebenaran secara
materiil.
Kemampuan
hakim diantarannya profesi knowledge ,
profesi disposition , dan profesi skill sangat diperlukan dalam memutuskan
suatu perkara agar menghasilkan keputusan yang berkualitas. Keputusan dikatakan
berkualitas apabila didalamnya memenuhi rasa keadilan di dalamnya. Dalam
menghadapi kasus seperti ini tidak hanya keadilan prosedural yang di utamakan
tetapi yang lebih penting hakim harus memperhatikan keadilan substansial di
dalamnya.Moralitas hakim
juga sangat diperlukan disini agar dapat
menciptakan hakim yang
bermoral dan sesuai dengan kode etik hakim.
B.
Perumusan
Masalah
1. Bagaimana seharusnya profesi hukum dalam
hal ini adalah hakim dalam menjalankan fungsi concern with the truth atau penjaga peradaban?
2. Bagaimana
langkah yang harus
dilakukan
untuk
memberantas mafia peradilan
, khususnya disini adalah terhadap perilaku hakim yang “nakal”
II.
PEMBAHASAN
A.
Hakim
dalam menjalankan fungsi concern with the
truth atau penjaga peradaban?
Istilah
Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir,
kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atauadat. Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang dapat dipakai untuk kata Etika,
antara lain Etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau
norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang ataukelompok untuk
bersikap dan bertindak. Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau
nilai yang berkenaan dengan akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga
diartikan sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk yang diterima dalam
suatu masyarakat, menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan
metodis
Hakim
sebagai sebuah profesi hukum menempati posisi sentral yang sangat strategis
dalam proses penegakan hukum guna menemukan keadilan dan kebenaran. Bahkan
putusan seorang hakim sebagai sebuah yurisprudensi menjadi salah satu sumber
hukum sebagai rujukan dimana hukum itu dapat ditemukan.
Dalam
UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 butir 8, menyebutkan
bahwa: “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
udang-undang untuk mengadili”. Fokus wewenang tersebut secara tersurat adalah
menjalankan tugas mengadili terhadap suatu perkara yang harus mendapatkan
putusan sebagai sebuah resolusi konflik yang terjadi,baik antara individu
maupun antara individu dengan publik.
Mengadili
menjadi tekanan utama dalam pengertian ini seperti yang dijelaskan selanjutnya
pada undang undang tersebut (Pasal 1 butir 9), yaitu : “Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang”.[1]
Sebagai Penegak Hukum dan Penjaga Peradaban Hakim
mempunyai kewajiban yaitu :
1.
Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan
perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan rakyat.
Untuk itu ia
harus terjun ke tangah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan
demikian hakim dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
2.
Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk
dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim
dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi seseorang
perlu diperhitungkan untuk memberikan pidana yang setimpal dan seadil-adilnya.
Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari
lingkungannya, rukun tetangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.
TANGGUNG JAWAB HAKIM
1.
Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung
jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah melaksanakan peradilan
dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu, dan berdampak positif bagi bangsa
dan negara.
a. Melaksanakan
peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masayarakat, dan kepatutan (equity).
b. Keputusan
bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim merupakan perwujudan nilai-nilai
undang-undang, hasil penghayatan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, etika
moral masyarakat, dan tidak melanggar hak orang lain.
c. Berdampak
positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim memberi manfaat kepada
masyarakat sebagai keputusan yang dapat dijadikan panutan dan yurisprudensi
serta masukan bagi pengembangan hukum nasional.
2.
Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung
jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah melaksanakan peradilan
sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan kepada manusia, menurut hukum kodrat
manusia yang telah ditetapkan oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.
Untuk jabatan hakim, Kode Etik Hakim
disebut Kode Kehormatan Hakim berbeda dengan notaris dan advokat. Hakim adalah
pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Oleh karena itu Kode
Kehormatan Hakim memuat 3 jenis etika, yaitu :
1. Etika
kedinasan pegawai negeri sipil
2. Etika
kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
3. Etika hakim
sebagai manusia pribadi manusia pribadi anggota masyarakat.
Uraian Kode Etik Hakim meliputi :
1.
Etika
keperibadian hakim
Sebagai
pejabat penegak hukum, hakim :
a. Percaya dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b. Menjunjung
tinggi, citra, wibawa dan martabat hakim
c. Berkelakuan
baik dan tidak tercela
d. Menjadi
teladan bagi masyarakat
e. Menjauhkan
diri dari eprbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat
f. Tidak
melakukan perbuatan yang merendahkan martabat hakim
g. Bersikap
jujur, adil, penuh rasa tanggung jawab
h. Berkepribadian,
sabar, bijaksana, berilmu
i. Bersemangat
ingin maju (meningkatkan nilai peradilan)
j. Dapat
dipercaya
k. Berpandangan
luas
2.
Etika melakukan
tugas jabatan
Sebagai
pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap
tegas, disiplin
b. Penuh
pengabdian pada pekerjaan
c. Bebas dari
pengaruh siapa pun juga
d. Tidak
menyalahgunakan kepercayaan, kedudukan dan wewenang untuk kepentingan pribadai
atau golongan
e. Tidak
berjiwa mumpung
f. Tidak
menonjolkan kedudukan
g. Menjaga
wibawa dan martabat hakim dalam hubungan kedinasan
h. Berpegang
teguh pada Kode Kehormatan Hakim
3.
Etika
pelayanan terhadap pencari keadilan
Sebagai
pejabat penegak hukum, hakim :
a. Bersikap dan
bertindak menurut garis-garis yang ditentukan di dalam hukum acara yang berlaku
b. Tidak
memihak, tidak bersimpati, tidak antipati pada pihak yang berperkara
c. Berdiri di
atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang
d. Sopan,
tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan
e. Menjaga
kewibawaan dan kenikmatan persidangan
f. Bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan
g. Memutus
berdasarkan hati nurani
h. Sanggup
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
4.
Etika
hubungan sesama rekan hakim
Sebagai
sesama rekan pejabat penegak hukum, hakim :
a. Memlihara
dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesam rekan
b. Memiliki
rasa setia kawan , tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan
c. Memiliki
kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korp hakim
d. Menjaga nama
baik dan martabat rekan-rekan , baik di dalam maupun di luar kedinasan
e. Bersikap
tegas. Adil dan tidak memihak.
f. Memelihara
hubungan baik dengan hakim bawahannya dan hakim atasannya.
g. Memberi contoh
yang baik di dalam dan di luar kedinasan.
5.
Etika
pengawasan terhadap hakim.
Di dalam
urusan Kode Kehormatan Hakim tidak terdapat rumusan mengenai pengawasan dan
sanksi ini. Ini berarti pengawasan dan sanksi akibat pelanggaran Kode
Kehormatan Hakim dan pelanggaran undang-undang. Pengawasan terhadap hakim
dilakukan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Menurut ketentuan pasal 20 ayat (3)
Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan umum; Pembentukan, susunan, dan
tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri ditetapkan
oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.
KODE
KEHORMATAN HAKIM
1.
Kode Kehormatan Hakim dan Tri Prasetya Hakim Indonesia
Kode
kehormatan hakim dikenal dengan "Tri Prasetya Hakim
Indonesia". Yaitu ;
"Saya berjanji
:
a.
Bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi citra, wibawa
dan martabat Hakim Indonesia;
b.
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan berpegang teguh
pada kode kehormatan Hakim Indonesia;
c.
Bahwa saya menjunjung tianggi dan mempertahankan jiwa
Korps Hakim Indonesia.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di
jalan yang benar."
Perlambang atau sifat hakim
a. KARTIKA (=
Bintang, yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa).
b. CAKRA (=
Senjata ampuh dari Dewa Keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan, kezaliman
dan ketidakadilan) berariadil.
c. CANDRA (=
Bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam
kegelapan) berarti bijaksana dan berwibawa.
d. SARI (=
Bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat) berarti budi
luhur atau berkelakuan tidak tercela.
e. TIRTA (=
air, yang mbersihkan segala kotoran di dunia) mensyaratkan, bahwa seorang hakim
harus jujur.
Perincian mengenai sifat hakim
a. KARTIKA
= Percaya dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
b. CAKRA
= Adil
Dalam
kedinasan
- Adil
- Tidak
berprasangka atau memihak
- Bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan
- Memutus
berdasarkan keyakinan hati nurani
- Sanggup
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan
Di luar kedinasan
- Saling harga
menghargai
- Tertib dan
lugas
- Berpandangan
luas
- Mencari
saling pengertian
c. CANDRA
= Bijaksana / Berwibawa
Dalam
kedinasan
- Berkepribadian
- Bijaksana
- Berilmu
- Sabar dan
Tegas
- Berdisiplin
- Penuh
pengabdian pada pekerjaan
Di luar kedinasan
- Dapat
dipercaya
- Penuh rasa
tanggung jawab
- Menimbulkan
rasa hormat
- Anggun dan
berwibawa
d. SARI = Berbudi
luhur / berkelakuan tidak tercela
Dalam
kedinasan
- Tawakal dan
Sopan
- Ingin
meningkatkan pengabdian dalam tugas
- Bersemangat
ingin maju
- Tenggang
rasa
Di luar kedinasan
- Berhati-hati
dalam pergaulan hidup
- Sopan dan
susila
- Menyenangkan
dalam pergaulan
- Tenggang
rasa'
- Berusaha
menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya
e. TIRTA
= Jujur
Dalam
kedinasan
- Jujur
- Merdeka =
tidak membeda-bedakan orang
- Bebas dari
pengaruh siapa pun juga
- Tabah
Di luar
kedinasan
- Tidak boleh
menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan
- Tidak boleh
berjiwa mumpung
-
Hubungan Kode Kehormatan Hakim
Dengan Undang-Undang
Jabatan hakim diatur dengan
undang-undang, yaitu UU No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Seorang yang
menjabat hakim harus mematuhi undang-undang dan berpegang pada Kode Kehormatan
Hakim. Hubungan antara undang-undang dan Kode Kehormatan Hakim terletak pada
ketentuan Kode Kehormatan Hakim yang juga diatur dalam undang-undang, sehingga
sanksi pelanggaran undang-undang diberlakukan juga pada pelanggaran Kode
Kehormatan Hakim.
Apabila menurut Majelis Kehormatan
Hakim ternyata seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran, maka
berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat (1), hakim yang bersangkutan diberhentikan
tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a. Dipidana
karena bersalah melakukan tindakan pidana kejahatan.
b. Melakukan
perbuatan tercela.
c. Terus
menerus melalaikan kewajiban menjalankan tugas pekerjaan.
d. Melanggar
sumpah atau janji jabatan.
e. Melanggar
larangan pasal 18 (rangkap jabatan)
Pengusulan pemberhentian tidak
dengan hormat dilakukan setelah hakim yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Menurut penjelasan pasal tersebut:
a. Yang
dimaksud dengan "dipidana" ialah dipidana dengan
pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
b. Yang
dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" ialah
apabila hakim yang bersangkutan karena sikap, perbuatan, dan tindakannya, baik
di dalam maupun di luar pengadilan merendahkan martabat hakim.
c. Yang
dimaksud dengan "tugas pekerjaan" ialah semua tugas
yang dibebankan kepada hakim yang bersangkutan.
Berdasarkan ketentuan tadi dapat
disimpulkan bahwa sanksi undang-undang adalah juga sanksi Kode Kehormatan Hakim
yang dapat dikenakan kepada pelanggarnya. Dalam hal ini, Kode Kehormatan Hakim
juga menganut prinsip penundukan pada undang-undang.
Kekuasaan
Kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka dalam pengertian di dalam keuasaan kehakiman bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan,
direktiva dan rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil kecuali dalam
hal-hal yang diizinkan oleh Undang-Undang. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang
judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan
hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui
perkara-perkara yang dihadapinya sehingga keputusannya mencerminkan persaan
keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan Kekuasaan kehakiman
diserahkan kepada badan-badan Peradilan yang telah ditetapkan oleh
Undang-Undang. Dalam hal ini
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan :
1.
Peradilan Umum
2.
Peradilan Agama
3.
Peradilan Militer
4.
Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Agama, Militer dan Tata
Usaha Negara adalah peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu
atau mengenai golongan rakyat tertentu.
Sedangkan Peradilan Umum adalah
peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata maupun pidana.
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
B.
Langkah
yang perlu dilakukan untuk memberantas
mafia peradilan,
khususnya terhadap perilaku hakim yang “nakal”
Dasar
kode etik profesi hakim diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman yang dimaksud dalam hal ini tertuang dalam pasal
1 yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kode
etik profesi Hakim yang merupakan satu-satunya kode etik yang berlaku bagi para
hakim Indonesia. Kode etik profesi hakim menjadi pedoman bagi Hakim Indonesia,
baik dalam menjalankan tugas profesinya yang bertujuan untuk mewujudkan
keadilan dan kebenaran maupun dalam pergaulan sebagai anggota masyarakat yang harus
dapat memberikan contoh dan suri tauladan dalam kepatuhan dan ketaatan kepada
hukum. Namun dalam kenyataannya, untuk sekarang ini banyak perilaku hakim yang
menyalahi ketentuan dalam kode etik tersebut. Hal bisa kita amati dari pemberitaan
media massa yang mempublikasikan kasus – kasus hakim “nakal”, yang salah
satunya adalah kasus yang melibatkan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono yang menerima suap dari seorang perempuan
bernama Sri Dartuti. Diduga, Sri adalah kerabat dari terdakwa kasus
korupsi yang sedang diadili Kartini di Pengadilan Tipikor Semarang yaitu
Muhammad Yaeni. Yaeni dalam hal ini diadili karena diduga melakukan tindak
pidana korupsi terhadap perawatan mobil dinas DPRD Grobogan, Jawa Tengah
senilai Rp 1,9 miliar. Yang pada akhirnya dengan suap tersebut hakim
menjatuhkan putusan kepada Yaeni dengan hanya menjadi tahanan rumah saja dari
yang seharusnya Yaeni divonis dengan tuntutan hukuman penjara 2,5 tahun
Kasus
hakim disuap agar pihak yang salah tidak diberikan hukuman yang berat bahkan
dibebas lepaskan dari segala tuntutan seperti kasus diatas jelas melanggar kode
etik hakim yaitu yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang”. Dan ayat (2) yaitu “Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
Selain
dalam kasus suap, hakim juga sering menggunakan jabatannya tidak pada
tempatnya. Misalnya, seorang hakim menggunakan jabatannya untuk menguntungkan
pribadinya karena orang melihatnya sebagai seorang hakim. Ditambah lagi ketika
memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang dirugikan. Hal ini juga
jelas bertentangan dengan kode etik profesinya yaitu mempergunakan nama jabatan
korps untuk kepentingan pribadi.
Dengan
melihat masih banyaknya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim, maka dibutuhkan
adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik profesinya dalam
praktek sehari-hari yaitu berupa adanya hukum yang tegas, moralitas hakim yang
baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim dalam menjalankan
kode etik profesinya tersebut. Karena mengingat kode etik profesi hakim
merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku secara
tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan oleh agama
berupa akhlak yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik. Maka hakim
dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula dengan
keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan menunjukan
moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan menjalankan etika
profesinya dengan baik.
Kualitas
seorang hakim dalam memutus suatu perkara memiliki pengaruh yang dominan dalam
tegaknya supremasi hukum dan untuk mewujudkan wibawa pengadilan di Indonesia
disamping dukungan dari aparat penegak hukum yang lain. Hakim sebagai figure
sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan
nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam
menegakkan hukum dan keadilan bagi
masyarakat banyak.
Dengan
berpegang teguh terhadap Kode Etik Profesi Hakim tersebut, diharapkan nantinya
hakim dapat mengangkat citra dan wibawanya dan perilaku dalam memberikan
keadilan dan kepastian serta perlindungan hukum yang dibutuhkan, sehingga
masyarakat dapat menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang benar-benar
memiliki integritas dan profesionalisme karena tindakan dan tingkah lakunya
menunjukkan ketidakberpihakan, memiliki integritas moral, serta pada
kemampuannya memberikan putusan yang baik. Putusan Pengadilan yang adil menjadi
puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam
kehidupan bernegara. Sehingga dengan adanya putusan pengadilan yang adil, maka
akan mengangkat wibawa suatu pengadilan.
Dengan
dibuatnya suatu peraturan tentang adanya penghargaan (reward) kepada hakim yang
berkelakuan baik dan hukuman (penalty) khusus kepada hakim yang ‘nakal’ atau
kurang berkompeten dirasakan perlu untuk mendorong dipatuhinya kode etik hakim
mengingat selama ini hanya ada suatu pengaturan bagi hakim yang terbukti
menerima suap itu pun dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sehingga
sepertinya tidak ada dorongan bagi para hakim untuk berlomba-lomba untuk
berperilaku baik atau menegakkan keadilan dengan mematuhi kode etik profesinya.
Cara perekrutan hakim pun seharusnya dirombak karena selama ini cara perekrutan
tersebut dirasa kurang efektif dan kurang berhasil untuk menjaring hakim-hakim
yang berkualitas. Bahkan justru banyak hakim-hakim yang ternyata merupakan
‘titipan’ dari keluarga atau kerabatnya yang juga merupakan hakim.
III. Penutup
A.
Kesimpulan
Dengan adanya uraian
diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1.
Sebagai penegak hukum dan penjaga peradaban hakim
mempunyai kewajiban yaitu menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di masyarakat dan hakim juga wajib memperhatikan sifat-sifat baik
dan buruk dari tertuduh dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya
pidana.
2.
Terhadap perilaku hakim yang “nakal”
maka dibutuhkan adanya suatu landasan bagi hakim untuk menerapkan kode etik
profesinya dalam praktek sehari-hari yaitu berupa adanya hukum yang tegas,
moralitas hakim yang baik, dan landasan keimanan atau agama bagi seorang hakim
dalam menjalankan kode etik profesinya tersebut. Karena mengingat kode etik
profesi hakim merupakan sebuah hukum berupa peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara tetap dan tegas yang bersumber dari nilai-nilai yang diajarkan
oleh agama berupa akhlak yang melahirkan nilai-nilai moralitas hakim yang baik.
Maka hakim dalam menjalankan etika profesinya sudah pasti harus diikuti pula
dengan keimanan seorang hakim terhadap agamanya karena hal tersebut akan
menunjukan moralitas yang dimiliki oleh seorang hakim sehingga ia akan
menjalankan etika profesinya dengan baik.
B.
Saran
1.
Bagi para hakim seharusnya mereka mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai profesional di bidang hukum, baik di
dalam maupun di luar kedinasan, secara materiil dan formil. Oleh karena itu,
adalah suatu hal yang mutlak bagi para hakim untuk memahami secara mendalam
aturan-aturan mengenai hukum acara di persidangan. Ketidak mampuan hakim dalam
mempertanggungjawabkan tindakannya secara teknis atau dikenal dengan istilah
unprofessional conduct dianggap sebagai pelanggaran yang harus dijatuhi sanksi.
2.
Dalam hal ini ,juga sebaiknya
dibentuk semacam peraturan khusus mengenai sanksi yang akan diterima oleh hakim
yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim, sebagaimana yang kita
ketahui, sejauh ini belum ada peraturan tertulis (semacam UU) yang secara tegas
mengatur mengenai sanksi tersebut. dalam Keputusan bersama Ketua MA dan KY,
hanya dinyatakan bahwa “Hakim yang diusulkan untuk dikenakan sanksi
pemberhentian sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau Komisi
Yudisial RI dan diberi kesempatan untuk membela diri di Majelis Kehormatan
Hakim“.Dalam hal ini ‘hakim yang diusulkan’ maksudnya adalah hakim yang diduga
melakukan penlanggaran terhadap kode etik hakim, dan seperti yang
terlihat,dalam peraturan tersebut hakim yang melanggar diancam diberhentikan
oleh mahkamah Agung atau Komisi Yudisial, namun tidak diancam sanksi yang
secara tegas dan jelas menyatakan hukuman atas hakim tersebut.
3.
Mungkin dalam mengontrol agar kinerja
hakim bisa sesuai dengan yang diharapkan ,pemeriksaan terhadap Hakim hendaknya
tidak dilakukan bila hakim tersebut diduga atau dicurigai telah melakukan
kesalahan saja, namun bisa dilakukan secara berkala dan berkelanjutan, sehingga
perilaku hakim dapat lebih terkontrol, selain itu juga dengan pemeriksaan
berkala ini akan dapat mencegah terjadinya pelanggaran.
4.
Pemberian reward (misal dapat
berupa penghargaan) terhadap hakim yang berperilaku baik dan sesuai kode etik
hakim, kaitannya dengan saran no.2 mengenai pemeriksaan berkala, jika hal ini
dilakukan, maka akan terlihat mana hakim yg baik dan mana hakim yang melanggar,
sehingga kepada hakim yg baik dan melaksanakan kode etik dapat diberi reward
yang pantas.
[1]Kuat Puji Prayitno, 2010 , Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum, Yogyakarta
: Kanwa Publisher, hlm.73.
Comments
Post a Comment