Analisis Pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah
satu bentuk pelanggaran HAM yang harus dihapuskan. Kekerasan yang dialami
oleh perempuan dan anak dapat dilihat dalam kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan perdagangan perempuan dan anak
(trafficking).
Ada 3 (tiga) unsur perbuatan yang melekat dalam tindak perdagangan orang: (1)
ada pemindahan; (2) caranya, termasuk pemaksaan, kekerasan, penipuan,
penculikan, dll; (3) untuk tujuan
eksploitasi. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan
dan anak
juga sering terjadi dalam ranah rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Terhadap
kekerasan-kekerasan tersebut muncul gugatan-gugatan yang bermuara pada
gerakan untuk lebih menghargai
hak perempuan dan anak sebagai bagian dari gerakan yang mengajak untuk
lebih memberi penghargaan terhadap
martabat manusia.Sebagai sebuah
fenomena, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menyita perhatian
berbagai pihak karena melibatkan jumlah korban yang cukup banyak.
Tindak kekerasan terhadap
perempuan dan anak merupakan pelanggaran
hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta
dijamin hak hidupnya sesuai dengan fitrah dan kodratnya tanpa diskriminasi.
Selama ini peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan perempuan dan anak
korban kekerasan belum mengatur upaya-upaya perlindungan di Daerah sehingga
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan yang dapat menjamin
pelaksanaannya.
Kekerasan pada
perempuan JOGJA—Kota Jogja menempati peringkat
pertama kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY. Pemicu utama
kekerasan antara lain masalah kesulitan ekonomi dan kecemburuan. Berdasarkan data Forum
Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPKKPA) DIY, pada 2010 jumlah
korban kekerasan di Kota Jogja mencapai 191 kasus dan turun menjadi 127 kasus
pada 2011. Jumlah tersebut, menurut Guru Besar Psikologi Umum UGM, Muhadjir
Darwin, paling tinggi dibandingkan empat kabupaten lainnya di DIY. “Dari total kasus
kekerasan tersebut, perempuan dan anak-anak merupakan korban terbanyak
dibandingkan pria. Dari 191 kasus pada 2010, sebanyak 184 kasus dialami
perempuan. Begitu juga pada 2011, dari 127 kasus sebanyak 123 kasus korbannya
perempuan,” kata Muhadjir dalam sarasehan Peran Laki-Laki dan Perempuan
dalam Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Balaikota Jogja, Selasa (18/12).[1]
B.
Rumusan Masalah
Banyaknya pelanggaran kejahatan terhadap perempuan dan
anak korban kekerasan di Yogyakarta sehingga Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mengeluarkan Perda No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungn Perempuan Dan
Anak Korban Kekearasan.
1. Bagaimanakah
landasan-landasan dalam pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang
Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan !
2. Bagaimanaka latar
belakang pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan !
II.
Tinjauan Pustaka
Anak
adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah generasi penerus cita-cita
perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara
di masa depan. Anak perlu
mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal,
baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena sifatnya, maka tumbuh kembang
anak harus dilakukan dalam lingkungan yang melindungi dari segala bahaya dalam
bentuk pengasuhan yang optimal.
III.
Pembahasan
Landasan-landasan pembentukan PERDA no 3 tahun 2012:
a.
Landasan Filosofis
Kekerasan terhadap perempuan dan
anak merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan sekaligus sebagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Semakin
meningkatnya kejahatan terhadap perdagangan orang, terutama
perempuan dan anak ini disebabkan oleh perkembangan unsur-unsur pola dan peta
serta jaringan kejahatan tersebut menunjukkan
bahwa sistem hukum terutama dari sisi
struktur dan kultur atau budaya hukum belum mampu mencegah dan melindungi korban kejahatan tersebut.
Menurut Friedmann,
sistem hukum (legal system) mempunyai unsur34 unsur materi/substansi
(law material), struktur (law structure)
dan budaya hukum (law cultural) . Pancasila sebagai
falsafah negara merupakan landasan ideologi bangsa yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945, yang
mewajibkan Negara untuk menjunjung tinggi kemanusiaan.
Konsekuensi logisnya, negara memikul tanggung jawab untuk melakukan
tindakan-tindakan, baik secara hukum, politik, ekonomi maupun sosial untuk
mencegah, merghapuskan
dan memberantas serta menghukum pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak
serta kejahatan dan praktek
perdagangan orang terutama perempuan dan anak.
b.
Landasan Yuridis
Indonesia telah meratifikasi
Konvensi PBB tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita” dengan UU No. 7 Tahun
1984. Dengan ratifikasi tersebut Negara diwajibkan untuk
melaksanakan Konvensi tersebut secara 35 konsekuen. Konvensi PBB
tersebut diratifikasi dengan Undangundang No. 7 Tahun 1984 dan
masuk dalam pengertian hukum, termasuk
hukum internasional. Dalam hal ini Indonesia telah menjalankan azas hukum
sebagai alat pembaharuan. Melihat
sistem hukum di Indonesia yakni ketentuan
peraturan perundang-undangan (substansi hukum), struktur hukum,
dan budaya hukum, maka pengaturan
secara khusus tentang larangan perdagangan orang terutama
perempuan dan anak telah ada namun masih diperlukan pengaturan lebih lanjut
terutama dalam hal
berkenaan dengan upaya pencegahan maupun penanganan secara
terpadu dan berkesinambungan.
·
Substansi Hukum
Ketentuan yang mengatur secara
khusus tentang pencegahan
dan penanganan korban kekerasan maupun korban perdagangan orang terutama
perempuan dan anak
masih memerlukan pengaturan lebih lanjut karena substansi UU PKDRT
maupun UU PT PPO masih terfokus
pada kaedah yang berisi larangan dengan tujuan untuk
menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga maupun untuk menghapuskan tindak
pidana perdagangan
orang.
Walaupun ada ketentuan hukum yang
dibuat untuk menghukum pelaku kekerasan maupun perdaganan orang akan tetapi
tidak ada kaedah hukum perdagangan yang secara khusus tentang perlindungan
hukum yang dirancang secara khusus untuk membantu pemulihan hak-hak korban.
·
Struktur Hukum
Dalam proses penegakan hukum
terhadap penanganan perdagangan
orang terutama perempuan dan anak terdapat
beberapa kendala dari sisi prosedur formal, kemampuan kelembagaan
baik sarana dan prasarana maupun
kemampuan dan sikap aparat penegak hokum belum sepenuhnya
mendukung penanganan kasus-kasus yang terjadi antara
lain:
-
kecenderungan yang ada
menunjukkan bahwa perempuan
dan anak-anak yang menjadi korban seringkali
tidak yakin akan reaksi personel peradilan
pidana (polisi, jaksa dan hakim) terhadap viktimisasi yang
dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari kekhawatiran tidak dipercayainya para korban oleh aparat misalnya,
sehingga kurang mendapat
tanggapan yang positif
-
kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai
perdagangan perempuan dan anak-anak
ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani perempuan yang
menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga masih sangat
tergantung pada persepsi dan kemampuan individu petugas hukum untuk
menindaklanjuti masalah ini.
·
Budaya Hukum
Kesadaran masyarakat tentang
hak-hak dan kewajibannya
dalam pemenuhan dan pelaksanaan hak asasi manusia masih belum terbangun
dengan baik. Disamping
itu sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan
kepada hukum dan aparat penegak hukum.
Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum
dan jaminan pelaksanaan HAM
khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan
tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan. Anak
Peraturan
Daerah mengatur upaya perlindungan bagi korban khususnya dalam hal pencegahan,
pelayanan dan pemberdayaan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara Nasional Perlindungan hukum terhadap wanita telah diatur dalam
perundang-undangan Republik Indonesia yaitu:
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pasal 28 D
menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
2.
Undang-Undang
Nomor: 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Wanita.
Pasal 4 menetapkan ―diskriminasi‖ tersebut dianggap
tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara
pria dan wanita (affirmative action).
3.
Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia (HAM).
Pasal 3 yaitu ;
a.
Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan
martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
b.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam
semangat di depan hukum.
c.
Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi.
Muatan perlindungan
hak-hak tersebut antara lain : Pasal 45 hak wanita adalah bagian dari HAM ;
Pasal 46 pengakuan hak politik wanita ; Pasal 47 hak wanita atas
kewarganegaraan; Pasal 48 hak wanita atas pendidikan dan pengajaran; Pasal 49
hak wanita atas pekerjaan; Pasal 49 hak wanita atas kesehatan reproduksi; Pasal
50 hak wanita atas perbuatan hukum yang mandiri; Pasal 51 hak wanita dalam
perkawinan, perceraian dan pengasuhan anak;
4.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). UU PKDRT ini tidak secara
spesifik mengatur wanita saja, karena sejatinya KDRT bisa terjadi juga pada
laki-laki (suami atau anak) ataupun orang lain yang tinggal ataupun bekerja
dalam rumah tangga tersebut. Namun, kasus- kasus selama ini menunjukkan bahwa
wanita, utama para istri, memang lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam
rumah tangga. Apakah kekerasan fisik, seksual, psikis maupun ekonomi.
5.
Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2009 tentang Pengesahan protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum
Perdagangan Orang, terutama wanita dan Anak-Anak (women and children
trafficking)
c.
Landasan Sosiologis
Dalam rangka mencegah dan
menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta agar terhindar dari
kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap
perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentun peraturan di Daerah.
Dalam hal ini, hukumpun berkembang
dengan memperhatikan
aspek sosiologis sebagai gejala sosial, dan bahwa hukum itu tidak
hanya terdiri dari norma-norma yang tersusun secara sistematis, tetapi juga
sekaligus hukum itu mempunyai
berbagai aspek. Oleh karenanya hukum yang hendak mengatur
mengenai pencegahan dan penanganan masalah kekerasan serta perdagangan
orang terutama perempuan
dan anak, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya
dan aspek lainnya dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari,
laki-laki dan perempuan telah
memperoleh pembagian peran, tugas dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang
berbeda. Perempuan karena fungsi reproduksinya,
dia ditempatkan pada ruang domestik (rumah tangga) sedangkan
laki-laki ditempatkan pada ruang public.
Latar Belakang
Pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
Latar
belakang pembentukan Perda Provinsi DIY no 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, Peraturan Daerah ini dibentuk dengan pertimbangan:
1.
Karena
amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi
2.
Untuk
melaksanakan urusan otonomi dan tugas pembantuan.
3.
Untuk
melaksanakan kebijakan khusus pemerintah daerah.
Latar belakang Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
·
Trend
data kekerasan terhadap perempuan dan
anak terus meningkat sehingga diperlukan upaya perlindungan.
·
Perundang-undangan di daerah belum mengatur mengenai
perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
UU yang mengatur :
a. UU
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
b. UU
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
c. UU
Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
· Sehingga
perlu pengaturan perlindungan bagi korban kekerasan dalam hal :
pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan terhadap
perempuan dan anak.
· Penguatan
Kelembagaan dengan adanya Keputusan Gubernur DIY Nomor 199 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Forum Penanganan Korban Kekerasan Bagi Perempuan dan Anak di
Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Beberapa
pasal dalam Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Perlindungan
Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan lebih ditekankan dalam substansi
pasal-pasal tersebut untuk lebih menjamin upaya
perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Berikut Bunyi
Pasal-Pasal tersebut :
Pasal 1 ( 1 ) Perda Provinsi DIY No
3 Tahun 2012 bahwa:
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih* dalam
kandungan.
Pasal
1 ( 19 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Keluarga adalah
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah
dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga*
Pasal
1 ( 23 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Forum Penanganan
Korban Kekerasan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut sebagai FPK2PA
adalah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan anak yang
penyelenggaraanya dilakukan secara berjejaring.
Pasal
4 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Ruang lingkup perlindungan terhadap Korban meliputi upaya pencegahan, pelayanan,
dan pemberdayaan terhadap korban kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, eksploitasi,
perdagangan orang, dan penelantaran Rumah Tangga.
Pasal
7 ( 2 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun
2012 bahwa:
Pemerintah
Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk
menyediakan dan menyelenggarakan layanan bagi korban dalam bentuk:
a.
mendirikan PPT untuk korban
dengan melibatkan unsur masyarakat;
b.
memfasilitasi FPK2PA sebagai wadah
jejaring penanganan korban;
c.
memfasilitasi terbentuknya pusat-pusat
layanan terpadu lainnya; dan
d.
mendorong kepedulian masyarakat akan pentingnya perlindungan
terhadap korban.
Pasal
12 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
bahwa:
Bentuk pelayanan terhadap korban
meliputi:
a.
pelayanan pengaduan, konsultasi, dan
konseling;
b.
pelayanan pendampingan;
c.
pelayanan kesehatan, berupa
perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi
fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis;
d.
pelayanan rehabilitasi sosial merupakan
pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi
traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari
berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara
sosial sehingga korban mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian
dalam menyelesaikan masalahnya;
e.
pelayanan hukum untuk membantu korban dalam menjalani proses
peradilan; dan
f.
pelayanan pemulangan dan reintegrasi
sosial untuk mengembalikan korban ke keluarga dan lingkungan sosialnya.
Pasal
15 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
bahwa:
Pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
meliputi:
a.
pertolongan pertama kepada korban; dan
b.
rujukan ke layanan kesehatan.
Pasal
18 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
bahwa:
Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 huruf f dapat berkoordinasi dengan:
a.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam satu
wilayah Provinsi; dan
b.
instansi dan lembaga terkait baik
pemerintah maupun non pemerintah.
Pasal
25 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
bahwa:
(1) Dalam upaya menyediakan dan menyelenggarakan layanan bagi korban,
Pemerintah Daerah membentuk FPK2PA.
(2) FK2PA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a.
memberikan pelayanan penanganan Korban;
b.
memberikan perlindungan terhadap Korban; dan
c.
menumbuhkan partisipasi masyarakat agar mempunyai kepedulian
dan kepekaan terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan.
(3)
Kepungurusan dan keanggotaan FPK2PA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(4) Keanggotaan
FK2PA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelompokkan dalam peran sebagai berikut:
a.
peran kesehatan;
b.
peran psikologi;
c.
peran hukum;
d.
peran sosial; dan
e.
peran ekonomi.
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembentukan, tugas pokok dan fungsi serta keanggotaan FK2PA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal
25 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
bahwa:
(1) Gubernur melaksanakan sistem informasi/pelaporan perlindungan perempuan dan
anak korban kekerasan.
(2) Sistem informasi/pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari sisi pemenuhan hak anak, terutama hak-hak dasar
seperti pangan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan sudah menunjukan kemajuan yang cukup berarti, namun dari sisi
perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan
perlakuan salah lainnya belum dapat dilakukan secara maksimal dan belum
menunjukan kemajuan yang berarti dalam kurun waktu 10 tahun sejak UU PA
diundangkan..
Perda ini juga secara spesifik memberikan
"amanah" kepada jaringan yang dibentuk oleh SKPD terkait yang
didalamnya ada beberapa unsur SKPD dan masyarakat yang diwakili oleh Ormas juga
NGO untuk melakukan upaya perlindungan
kepada perempuan dan anak. Dalam catatan yang ketiga ini, kita musti
hati-hati dengan peran kita sebagai "watchdog" atas kinerja
pemerintah dalam memberikan layanan kepada pemerintah sehingga kita tidak lagi
dijadikan "implementator" program pemerintah. Kooptasi oleh Negara
seperti ini yang musti kita waspadai sehingga keberadaan kita untuk menciptakan
proses penyelenggaraan negara yang baik bisa terwujud dan kita tetap bisa
melakukan monitoring terhadap kerja-kerja pemerintah melalui SKPD terkait.
Secara khusus tadi
juga mendorongkan "penghentian kekeraan lanjutan" bagi korban
kekerasan, terutama kekerasan seksual pada permepuan dan anak dnegan
mendorongkan konsep perlindungan saksi dan korban sehingga "kesaksian =
kekerasan" pada korban hanya sekali saja. konsep yang di
tawarkan adalah dengan menggunakan "sumpah
Saksi" yang disusun dalam pemeriksaan korban di tingkat penyidikan sebagai
alat bukti kesaksian di proses persidangan. Kehadiran saksi di persidangan yang
akan berlangsung beberapa kali dan juga akan menghadapi intimidasi dari pelaku,
jaksa, hakim cukup terwakili dnegan kehadiran pengacara,sumpah saksi (dan alat
bukti lain : visum, foto, pakaian, dll) sehingga korban terhindar dari paksaan
untuk "mengingat kejadian, mengingat peristiwa yang menyakitkan tersebut
IV.
Penutup
A.
Kesimpulan
Perda ini
hanya mengatur "perlindungan perempuan dan anak KORBAN Kekerasan".
konsepnya adalah memberikan perlindungan pada korban kekerasan sehingga tidak
menjadi korban kedua, ketiga dan seterusnya. kelemahan dalam raperda ini :
penciptaan perlindungan bagi perempuan dan anak
difokuskan pada pemberin pelayanan pada perempuan dan anak "yang
sudah" menajdi korban kekerasan. perlindungan bagi perempuan dan anak
sehingga tidak menjadi korban kekerasan tidak tercantumkan dan terkonsep secara
tegas. pada saat saya konfirmasi, menurut biro Hukum Provinsi DIY, perda ini memang spesifik hanya mengatur
tentang pelayanan bagi korban kekerasan. konsep pencegahan dan juga
perlindungan bagi perempuan di wilayah publik sudah "teratur" dalam
UUPKDRT, UUPA, dll.
Kekerasan
terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang
harus dihapuskan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak dapat dilihat dalam
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan perdagangan perempuan dan
anak (trafficking).Latar
belakang pembentukan Perda Provinsi DIY no 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan
Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, Peraturan Daerah ini dibentuk dengan pertimbangan:
1.
Karena
amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi
2.
Untuk
melaksanakan urusan otonomi dan tugas pembantuan.
3.
Untuk
melaksanakan kebijakan khusus pemerintah daerah
Tujuan dari pembentukan PERDA no 3
tahun 2012 adalah untuk lebih mejamin perlindungan terhadap perempuan dan anak
korban kekerasan di provinsi DIY
.
[1] http://www.harianjogja.com/baca/2012/12/18/kekerasan-pada-perempuan-kota-jogja-peringkat-pertama-359396
di akses 10-5-2013| 23.00 WIB.
Comments
Post a Comment