Skip to main content

Analisis Pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan

I.              Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang harus dihapuskan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak dapat dilihat dalam kejadian-kejadian yang berhubungan dengan perdagangan perempuan dan anak (trafficking). Ada 3 (tiga) unsur perbuatan yang melekat dalam tindak perdagangan orang: (1) ada pemindahan; (2) caranya, termasuk pemaksaan, kekerasan, penipuan, penculikan, dll; (3) untuk tujuan eksploitasi. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga sering terjadi dalam ranah rumah tangga maupun di luar rumah tangga. Terhadap kekerasan-kekerasan tersebut muncul gugatan-gugatan yang bermuara pada gerakan untuk lebih menghargai hak perempuan dan anak sebagai bagian dari gerakan yang mengajak untuk lebih memberi penghargaan terhadap martabat manusia.Sebagai sebuah fenomena, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menyita perhatian berbagai pihak karena melibatkan jumlah korban yang cukup banyak. Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak  merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya sesuai dengan fitrah dan kodratnya tanpa diskriminasi.
Selama ini peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan belum mengatur upaya-upaya perlindungan di Daerah sehingga diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Kekerasan pada perempuan JOGJA—Kota Jogja menempati peringkat pertama kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY. Pemicu utama kekerasan antara lain masalah kesulitan ekonomi dan kecemburuan. Berdasarkan data Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak (FPKKPA) DIY, pada 2010 jumlah korban kekerasan di Kota Jogja mencapai 191 kasus dan turun menjadi 127 kasus pada 2011. Jumlah tersebut, menurut Guru Besar Psikologi Umum UGM, Muhadjir Darwin, paling tinggi dibandingkan empat kabupaten lainnya di DIY. “Dari total kasus kekerasan tersebut, perempuan dan anak-anak merupakan korban terbanyak dibandingkan pria. Dari 191 kasus pada 2010, sebanyak 184 kasus dialami perempuan. Begitu juga pada 2011, dari 127 kasus sebanyak 123 kasus korbannya perempuan,” kata Muhadjir dalam sarasehan Peran Laki-Laki dan Perempuan dalam Penghapusan Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Balaikota Jogja, Selasa (18/12).[1]
  
B.     Rumusan Masalah
Banyaknya pelanggaran kejahatan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di Yogyakarta sehingga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan Perda No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungn Perempuan Dan Anak Korban Kekearasan.
1.  Bagaimanakah landasan-landasan dalam pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan !
2.  Bagaimanaka latar belakang pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan !

II.           Tinjauan Pustaka
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Anak perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial. Karena sifatnya, maka tumbuh kembang anak harus dilakukan dalam lingkungan yang melindungi dari segala bahaya dalam bentuk pengasuhan yang optimal.


III.        Pembahasan
Landasan-landasan pembentukan PERDA no 3 tahun 2012:
a.    Landasan Filosofis
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan sekaligus sebagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia. Semakin meningkatnya kejahatan terhadap perdagangan orang, terutama perempuan dan anak ini disebabkan oleh perkembangan unsur-unsur pola dan peta serta jaringan kejahatan tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum terutama dari sisi struktur dan kultur atau budaya hukum belum mampu mencegah dan melindungi korban kejahatan tersebut. Menurut Friedmann, sistem hukum (legal system) mempunyai unsur34 unsur materi/substansi (law material), struktur (law structure) dan budaya hukum (law cultural) . Pancasila sebagai falsafah negara merupakan landasan ideologi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yang mewajibkan Negara untuk menjunjung tinggi kemanusiaan. Konsekuensi logisnya, negara memikul tanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan, baik secara hukum, politik, ekonomi maupun sosial untuk mencegah, merghapuskan dan memberantas serta menghukum pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak serta kejahatan dan praktek perdagangan orang terutama perempuan dan anak.

b.    Landasan Yuridis
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita” dengan UU No. 7 Tahun 1984. Dengan ratifikasi tersebut Negara diwajibkan untuk melaksanakan Konvensi tersebut secara 35 konsekuen. Konvensi PBB tersebut diratifikasi dengan Undangundang No. 7 Tahun 1984 dan masuk dalam pengertian hukum, termasuk hukum internasional. Dalam hal ini Indonesia telah menjalankan azas hukum sebagai alat pembaharuan. Melihat sistem hukum di Indonesia yakni ketentuan peraturan perundang-undangan (substansi hukum), struktur hukum, dan budaya hukum, maka pengaturan secara khusus tentang larangan perdagangan orang terutama perempuan dan anak telah ada namun masih diperlukan pengaturan lebih lanjut terutama dalam hal berkenaan dengan upaya pencegahan maupun penanganan secara terpadu dan berkesinambungan.
·      Substansi Hukum
Ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencegahan dan penanganan korban kekerasan maupun korban perdagangan orang terutama perempuan dan anak masih memerlukan pengaturan lebih lanjut karena substansi UU PKDRT maupun UU PT PPO masih terfokus pada kaedah yang berisi larangan dengan tujuan untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga maupun untuk menghapuskan tindak pidana perdagangan orang.
Walaupun ada ketentuan hukum yang dibuat untuk menghukum pelaku kekerasan maupun perdaganan orang akan tetapi tidak ada kaedah hukum perdagangan yang secara khusus tentang perlindungan hukum yang dirancang secara khusus untuk membantu pemulihan hak-hak korban.
·      Struktur Hukum
Dalam proses penegakan hukum terhadap penanganan perdagangan orang terutama perempuan dan anak terdapat beberapa kendala dari sisi prosedur formal, kemampuan kelembagaan baik sarana dan prasarana maupun kemampuan dan sikap aparat penegak hokum belum sepenuhnya mendukung penanganan kasus-kasus yang terjadi antara lain:
-          kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa perempuan dan anak-anak yang menjadi korban seringkali tidak yakin akan reaksi personel peradilan pidana (polisi, jaksa dan hakim) terhadap viktimisasi yang dialaminya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran tidak dipercayainya para korban oleh aparat misalnya, sehingga kurang mendapat tanggapan yang positif
-           kurangnya pelatihan pada personel peradilan pidana mengenai perdagangan perempuan dan anak-anak ketiadaan prosedur baku yang khusus dirancang untuk menangani perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan terhadap perempuan, sehingga masih sangat tergantung pada persepsi dan kemampuan individu petugas hukum untuk menindaklanjuti masalah ini.
·      Budaya Hukum
Kesadaran masyarakat tentang hak-hak dan kewajibannya dalam pemenuhan dan pelaksanaan hak asasi manusia masih belum terbangun dengan baik. Disamping itu sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat penegak hukum. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan jaminan pelaksanaan HAM khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan. Anak

Peraturan Daerah mengatur upaya perlindungan bagi korban khususnya dalam hal pencegahan, pelayanan dan pemberdayaan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara Nasional Perlindungan hukum terhadap wanita telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia yaitu:
1.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. pasal 28 D menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum
2.   Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1984 Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Pasal 4 menetapkan ―diskriminasi‖ tersebut dianggap tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara pria dan wanita (affirmative action).
3.   Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pasal 3 yaitu ;
a.    Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraan.
b.    Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.
c.    Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan manusia tanpa diskriminasi.
Muatan perlindungan hak-hak tersebut antara lain : Pasal 45 hak wanita adalah bagian dari HAM ; Pasal 46 pengakuan hak politik wanita ; Pasal 47 hak wanita atas kewarganegaraan; Pasal 48 hak wanita atas pendidikan dan pengajaran; Pasal 49 hak wanita atas pekerjaan; Pasal 49 hak wanita atas kesehatan reproduksi; Pasal 50 hak wanita atas perbuatan hukum yang mandiri; Pasal 51 hak wanita dalam perkawinan, perceraian dan pengasuhan anak;
4.        Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT). UU PKDRT ini tidak secara spesifik mengatur wanita saja, karena sejatinya KDRT bisa terjadi juga pada laki-laki (suami atau anak) ataupun orang lain yang tinggal ataupun bekerja dalam rumah tangga tersebut. Namun, kasus- kasus selama ini menunjukkan bahwa wanita, utama para istri, memang lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Apakah kekerasan fisik, seksual, psikis maupun ekonomi.
5.   Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan protokol untuk mencegah, menindak dan menghukum Perdagangan Orang, terutama wanita dan Anak-Anak (women and children trafficking)

c.    Landasan Sosiologis
Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di  Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta agar terhindar dari kekerasan, ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan, perlu dilakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan dalam bentun peraturan di Daerah.
Dalam hal ini, hukumpun berkembang dengan memperhatikan aspek sosiologis sebagai gejala sosial, dan bahwa hukum itu tidak hanya terdiri dari norma-norma yang tersusun secara sistematis, tetapi juga sekaligus hukum itu mempunyai berbagai aspek. Oleh karenanya hukum yang hendak mengatur mengenai pencegahan dan penanganan masalah kekerasan serta perdagangan orang terutama perempuan dan anak, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian peran, tugas dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi reproduksinya, dia ditempatkan pada ruang domestik (rumah tangga) sedangkan laki-laki ditempatkan pada ruang public.
Latar Belakang Pembentukan Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012
Latar belakang pembentukan Perda Provinsi DIY no 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, Peraturan Daerah ini dibentuk dengan pertimbangan:
1.   Karena amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi
2.   Untuk melaksanakan urusan otonomi dan tugas pembantuan.
3.   Untuk melaksanakan kebijakan khusus pemerintah daerah.
Latar belakang Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
·      Trend data  kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat sehingga diperlukan upaya perlindungan.
·      Perundang-undangan  di daerah belum mengatur mengenai perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
UU yang mengatur :
           a.              UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.
b.             UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
c.       UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

·    Sehingga perlu pengaturan perlindungan bagi korban kekerasan dalam hal : pencegahan,  pelayanan  dan pemberdayaan  terhadap  perempuan  dan  anak.
·    Penguatan Kelembagaan dengan adanya Keputusan Gubernur DIY Nomor 199 Tahun 2004 tentang Pembentukan Forum Penanganan Korban Kekerasan Bagi Perempuan dan Anak di Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Beberapa pasal dalam Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan lebih ditekankan dalam substansi pasal-pasal tersebut untuk lebih menjamin upaya  perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Berikut Bunyi Pasal-Pasal tersebut :
Pasal 1 ( 1 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih* dalam kandungan.
Pasal 1 ( 19 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga*
Pasal 1 ( 23 ) Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Forum Penanganan Korban Kekerasan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut sebagai FPK2PA adalah forum koordinasi penanganan korban kekerasan perempuan dan anak yang penyelenggaraanya dilakukan secara berjejaring.
Pasal 4 Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Ruang lingkup perlindungan terhadap Korban meliputi upaya pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan terhadap korban kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, eksploitasi, perdagangan orang, dan penelantaran Rumah Tangga.

Pasal 7 ( 2 )  Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menyediakan dan menyelenggarakan layanan bagi korban dalam bentuk:
a.    mendirikan PPT untuk korban dengan melibatkan unsur masyarakat;
b.    memfasilitasi FPK2PA sebagai wadah jejaring penanganan korban;
c.    memfasilitasi terbentuknya pusat-pusat layanan terpadu lainnya; dan
d.   mendorong kepedulian masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban.
Pasal 12   Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Bentuk pelayanan terhadap korban meliputi:
a.                   pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling;
b.                   pelayanan pendampingan;
c.                   pelayanan kesehatan, berupa perawatan dan pemulihan luka-luka fisik yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis;
d.                  pelayanan rehabilitasi sosial merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping dalam rangka memulihkan kondisi traumatis korban, termasuk penyediaan rumah aman untuk melindungi korban dari berbagai ancaman dan intimidasi bagi korban dan memberikan dukungan secara sosial sehingga korban mempunyai rasa percaya diri, kekuatan, dan kemandirian dalam menyelesaikan masalahnya;
e.                   pelayanan hukum untuk membantu korban dalam menjalani proses peradilan; dan
f.                   pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial untuk mengembalikan korban ke keluarga dan lingkungan sosialnya.

Pasal 15   Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
            Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c meliputi:
a.                   pertolongan pertama kepada korban; dan
b.                   rujukan ke layanan kesehatan.

Pasal 18   Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
Pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf f dapat berkoordinasi dengan:
a.                   Pemerintah Kabupaten/Kota dalam satu wilayah Provinsi; dan
b.                   instansi dan lembaga terkait baik pemerintah maupun non pemerintah.

Pasal 25   Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
(1)      Dalam upaya menyediakan dan menyelenggarakan layanan bagi korban, Pemerintah Daerah membentuk FPK2PA.
(2)      FK2PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a.     memberikan pelayanan penanganan Korban;
b.    memberikan perlindungan terhadap Korban; dan
c.    menumbuhkan partisipasi masyarakat agar mempunyai kepedulian dan kepekaan terhadap perempuan dan anak sebagai korban kekerasan.
(3)      Kepungurusan dan keanggotaan FPK2PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(4)      Keanggotaan FK2PA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikelompokkan dalam  peran sebagai berikut:
a.     peran kesehatan;
b.    peran psikologi;
c.     peran hukum;
d.    peran sosial; dan
e.     peran ekonomi.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, tugas pokok dan fungsi serta keanggotaan FK2PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 25   Perda Provinsi DIY No 3 Tahun 2012 bahwa:
(1)      Gubernur melaksanakan sistem informasi/pelaporan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan.
(2)      Sistem informasi/pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari sisi pemenuhan hak anak, terutama hak-hak dasar seperti  pangan, sandang, pendidikan, dan kesehatan sudah menunjukan kemajuan yang cukup berarti, namun dari sisi perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya belum dapat dilakukan secara maksimal dan belum menunjukan kemajuan yang berarti dalam kurun waktu 10 tahun sejak UU PA diundangkan..
Perda ini juga secara spesifik memberikan "amanah" kepada jaringan yang dibentuk oleh SKPD terkait yang didalamnya ada beberapa unsur SKPD dan masyarakat yang diwakili oleh Ormas juga NGO untuk melakukan upaya perlindungan  kepada perempuan dan anak. Dalam catatan yang ketiga ini, kita musti hati-hati dengan peran kita sebagai "watchdog" atas kinerja pemerintah dalam memberikan layanan kepada pemerintah sehingga kita tidak lagi dijadikan "implementator" program pemerintah. Kooptasi oleh Negara seperti ini yang musti kita waspadai sehingga keberadaan kita untuk menciptakan proses penyelenggaraan negara yang baik bisa terwujud dan kita tetap bisa melakukan monitoring terhadap kerja-kerja pemerintah melalui SKPD terkait.
Secara khusus tadi  juga mendorongkan "penghentian kekeraan lanjutan" bagi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual pada permepuan dan anak dnegan mendorongkan konsep perlindungan saksi dan korban sehingga "kesaksian = kekerasan" pada korban hanya sekali saja. konsep yang di tawarkan adalah dengan menggunakan "sumpah Saksi" yang disusun dalam pemeriksaan korban di tingkat penyidikan sebagai alat bukti kesaksian di proses persidangan. Kehadiran saksi di persidangan yang akan berlangsung beberapa kali dan juga akan menghadapi intimidasi dari pelaku, jaksa, hakim cukup terwakili dnegan kehadiran pengacara,sumpah saksi (dan alat bukti lain : visum, foto, pakaian, dll) sehingga korban terhindar dari paksaan untuk "mengingat kejadian, mengingat peristiwa yang menyakitkan tersebut

IV.        Penutup
A.    Kesimpulan
Perda ini hanya mengatur "perlindungan perempuan dan anak KORBAN Kekerasan". konsepnya adalah memberikan perlindungan pada korban kekerasan sehingga tidak menjadi korban kedua, ketiga dan seterusnya. kelemahan dalam raperda ini : penciptaan perlindungan bagi perempuan dan anak difokuskan pada pemberin pelayanan pada perempuan dan anak "yang sudah" menajdi korban kekerasan. perlindungan bagi perempuan dan anak sehingga tidak menjadi korban kekerasan tidak tercantumkan dan terkonsep secara tegas. pada saat saya konfirmasi, menurut biro Hukum Provinsi DIY,  perda ini memang spesifik hanya mengatur tentang pelayanan bagi korban kekerasan. konsep pencegahan dan juga perlindungan bagi perempuan di wilayah publik sudah "teratur" dalam UUPKDRT, UUPA, dll.

Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM yang harus dihapuskan. Kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak dapat dilihat dalam kejadian-kejadian yang berhubungan dengan perdagangan perempuan dan anak (trafficking).Latar belakang pembentukan Perda Provinsi DIY no 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan, Peraturan Daerah ini dibentuk dengan pertimbangan:
1.         Karena amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi
2.         Untuk melaksanakan urusan otonomi dan tugas pembantuan.
3.         Untuk melaksanakan kebijakan khusus pemerintah daerah

Tujuan dari pembentukan PERDA no 3 tahun 2012 adalah untuk lebih mejamin perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan di provinsi DIY



.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in