Skip to main content

Konsep Sistem Pewarisan Hukum Adat Di Indonesia

I.            Pendahuluan
A.          Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan kekeluargaan tidak menutup kemungkinan terjadi juga permasalahan - permasalahan yang berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri di lingkungan perdata seperti masalah pembagian tanah warisan, pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat memberikan jaminan dalam lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan suasana nyaman dan tentram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin hari makin menuntut bagi siapapun masyarakat  untuk selalu siap berkompetisi dalam meningkatkan taraf hidup rumah tangganya sendiri.
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat Indonesia. Beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat  tersebut sudah pasti menghendaki pemcahan atau solusi yang secepat dan sesegera mungkin dalam rangka menjaga kenyamanan dan ketentraman  itu sendiri.
Khusus sengketa warisan yang sering muncul sebagai salah satu permasalahan yang terjadi di desa merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih sudah  menyangkut tentang pembagian warisan, karena umumnya warisan mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan dapat menimbulkan kebahagian satu pihak dan di pihak lain dapat menimbulkan kesengsaran, apabila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya diikuti bersama.
Hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat dibedakan atas tiga corak, yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.[1]
Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.


B.          Perumusan Masalah
Hukum waris yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sampai sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu ada yang tunduk kepada hukum waris dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat, Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang bagaimana konsep sistem pewarisan hukum adat di Indonesia, dan dikomparasikan pewarisan dalam ketentuan KUH Perdata, dan pewarisan menurut hukum islam?

  
C.          Landasan Teori
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar:
“Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”.[2]
Demikian pula pada pendapat Soepomo dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang Hukum Adat mendefinisikan hukum waris adat sebagai:
…peraturan-peraturan yang mengatur  proses meneruskan serta mengoper barang-barang, harta benda dan barang  yang berwujud dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.[3]
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli waris. Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’). Pewaris adalah orang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Hukum waris adat mempunyai kaitan  erat dengan hukum kekerabatan dan hukum perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh hukum kekerabatan dan hukum perkawinannya. Menurut Soerojo Wignjodipuro:
“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat hukum  yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum perkawinan masyarakat”[4]
Dalam hal sifat kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku sejak dulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
·         Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);
·         Sistem Mstrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano dan Timor) ;
·         Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi). Soerojo Wignjodipuro mengemukakan pendapat  yang sama seperti diatas, kemudian ditambahkannya suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang mengakui keturunan dari kedau belah pihak .disebut bilateral.[5]
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia ini pada prinsipnya terdapat masyarakat yang susunannya berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Pada masyarakat yang menganut garis keturunan bapak-ibu hubungan anak dengan sanak keluarga baik dari pihak bapak maupun pihak ibu sama eratnya dan hubungan hokum terhadap kedua belah pihak berlaku sama. Hal ini berbeda dengan persekutuan yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal) dan garis  keturunan ibu (matrilineal), hubungan anak dengan keluarga kedua belah pihak tidak sama eratnya, derajatnya dan pentingnya. Pada masyarakat yang matrilineal, hubungan kekeluargaan dengan pihak ibu jauh lebih erat dan lebih penting, sedangkan pada masyarakat yang patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak terlihat dekat / erat dan dianggap lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.

II.       Pembahasan
A.           Sistem Pewarisan Hukum Adat Di Indonesia
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
·     Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
·     Kewajiban dan hak yang timbul  dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.
·     Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
·     Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
·     Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya.[6] Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya. Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu. Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.
Warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian hubungan hukum dalam masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.
 Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.

Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang berlainan.[7]
 Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi: “Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat  digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.[8]
Sistem Keturunan
Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut  berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
·         Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).[9]
·         Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
·         Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).[10]
Sistem Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
·      Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
·      Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.
·      Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum Waris Islam.[11]





B.            Sistem Pewarisan Di Indonesia
Hukum Waris Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlakuadalah Hukum Faraidh.“ Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris ! dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Demikian demikian faraidh diatur antara lain tentang tata cara pembagian Harta Warisan , besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, sahabahsahabah, an lain sebagainya.
Pada waktu Agama Islam belum datang ketanah Arab, manusia msaih mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang tumpang tindik dan salah, bertentangan dengan fitrah manusia. Orang Arab jahiliyah tidak memberikan warisan pada yang lemah seperti wanita-wanita dan anak-anak tetapi mereka memberikan warisan kepada laki-laki yang dewasa dan anak angkat yang mereka pelihara sehingga dengan demikian kadang-kadang kerabat mereka tidak mendapat warisan atau berkurang bagiannya oleh anak angkat tersebut. Dengan demikian hak-hak kerabat telah dirampas oleh anak angkat dengan cara yang memudharatkan dan permusuhan. Hukum ini lahir dari hawa nafsu mereka belaka dan berdasarkan hukum adat yang sesat. Ratio yang memberikan harta warisan kepada laki-laki yang dewasa dan anak angkat seperti tersebut diatas karena kaum laki-lakilah yang mampu menghadang musuh dalam peperangan dan yang dapat membentangi suku dari seranganserangan suku lain. Sedangkan kaum wanita hanya membuat onar , aib , serta menghabiskan harta yang ada. Oleh karena itulah meraka menetapkan wanita dan anak-anak tidak berhak menerima warisan. Kemudian Agama Islam datang dengan aturan-aturan yang adil, tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, kecil ataupun besar semua mendapat bagian.
Untuk itu Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang artinya : “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. Bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan kemudian ditetapkan oleh Allah didalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut : “Allah mensyaritkan bagimu ( tentang pembagian pusaka ) untuk anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
Jadi jelaslah bahwa pembagian harta warisan ( pusaka ) menurut syariat Islam tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt yakni bagian seorang anak lakilaki sama dengan bagian 2 ( dua ) orang anak perempuan atau 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ). Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan : “ Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan ( Tirkah ) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang : “ Besar bagian untuk seorang anak perempuan adalah setengah ( ½ ) bagian ; bila 2 ( dua ) orang atau lebih mereka bersama-sama mendapatkan dua pertiga ( 2/3 ) bagian ; dan apabila anak perempuan bersama-bersama dengan anak laki-laki maka bagiannya adalah 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ) dengan anak perempuan. Dan Pasal 183 KHI menyatakan : “ Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya.
Dari uraian tertera diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan didalam ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama yakni 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ). Berhubung oleh kerena Al-Quran dan haidst Nabi hukumnya wajib dan merupakan pegangan / pedoman bagi seluruh umat Islam dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan ( pusaka ) inipun secara optimis pula haruslah ditaati dan dipatuhi. Al – Quran menyatakan yang artinya : “Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitab Allah. Kemudian adalah sebagai berikut : “ ( hukum-Hukum tersebut ) itu adalah ketentuan Allah ) Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Niscaya Allah memasukan kedalam syurga yang mengalir didalamnya sunga-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar.
Dari keterangan diatas, jelaslah ditegaskan bahwa tentang warisan supaya dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang telah ditentukan dan memberikan pahala syurga bagi yang mematuhi dan mengancam dengan azab api neraka terhadap yang menolaknya dan mengikarinya. Dengan perkataan lain Islam telah mengatur dengan pasti tentang hukum waris yang berlaku bagi pemeluknya. Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris islam dituangkan kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI ( Kompilasi Hukum Islam ). Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain mengenai Pasal 209 KHI menyatakan :[12]
1.      Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2.      Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang sebelumnya menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua angkatnya kecuali pemberian-pemberian dan lain-lain, maka sekarang dengan berlakunya KHI terhadap anak angkatnya mempunyai hak dan bagian yang telah ditetapkan yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, apabila anak angkat tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini dikenal dengan sebutan wasiat wajibah. Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
Ahli waris dalam Hukum Islam telah ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari:
·      PEREMPUAN
Wanita yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :
a.       Anak perempuan
b.      Cucu perempuan
c.       Ibu
d.      Nenek, Ibu dari Ibu
e.       Nenek, Ibu dari Bapa
f.       Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
g.      Saudara perempuan se Bapa
h.      Saudara perempuan se Ibu
i.        Isteri
j.        Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )

·      LAKI – LAKI
Jika dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima belas ) orang yaitu :
a.       Anak laki-laki
b.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.       Bapa
d.      Datuk, Bapa dan Bapa
e.       Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
f.       Saudara laki-laki se Ibu
g.      Saudara laki-laki se Bapa
h.      Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu dan se bapa
i.        Anak laki-laki dari saudara laki-laki se Bapa
j.        Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak laki-laki se Ibu se Bapa
k.      Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa laki-laki se Bapa
l.        Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa
m.    Anak laki-laki dari Mamak se Bapa
n.      Suami
o.      Laki-laki yang memerdekakan sahaja ( tidak berlaku lagi )

·      ZUL ARHAM
Yaitu kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk zawil furud dan juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.
·      ASHABAH
Ashabah menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga ) bagian :
a.       Yang menjadi ashabah dengan sendirinya ( Ashabah Binafsi ) Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki se Ibu dan sua
b.      Yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain ( Ashabah Bi’lghair ) Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak laki-laki dan anak perempuan.
c.       Yang menjadi ashabah bersama orang lain (Ashabah Ma’alhair).
·      BAITU AL - MAAL.
Jikalau didalam pembagian pusaka terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan berkembang di Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan kemaslahatan Kaum Muslimin.
Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :
1.      1/3 ( seperdua )
2.      1/4 ( seperempat )
3.      1/8 ( seperlapan )
4.      2/3 ( dua pertiga )
5.      1/3 ( sepertiga )
6.      1/6 ( seperenama )

Demikianlah ketentuan-ketentua yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkau masalah ahli waris dan bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi sesama ahli waris dengan sistem kewarisan Islam yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual / Bilateral. Selanjutnya dapat dilihak pengertian ahli waris dan pengelompokan didalam KIII. Perihal ahli waris yang terdapat dalam Pasal 171 Bab I dimaksud adalah “ Orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris “ .
Kemudian Pasal 174 Bab II mengatakan :
1.    Kelompok – kelompok ahli waris terdiri dari :
a.    Menurut hubungan darah :
-      Golongan laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, Paman, dan kakek ;
-      Golongan perempuan terdiri dari : Ibu, Anak perempuan dan Nenek
b.    Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : Duda atau Janda.
2.    Apabila semua ahli waris ada , maka yang berhak mendapatkan warisan hanya : Anak , Ayah , Ibu , Janda , atau Duda.

Demikian uraian yang telah disampaikan mengenai hukum kewarisan Islam menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam ) khusunya mengenai tatacara pembagian harta warisan dan besarnya bagian yang diperoleh anak laki-laki dan anak perempuan.

Hukum Waris Adat
Berbicara mengenai Hukum Waris Adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya sebagai pegangan / pedoman untuk dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya. Hukum Waris Adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris kepada waris.
Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. TerHaar , 1950 ; 197 menyatakan :
-     “ Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi “. [13]
Supomo , 1967 ; 72 menyatakan :
-     “ Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengopor barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda ( Immateriele Geoderen ) dari suatu angkatan manusia ( Generatio ) kepada turunannya “
Dengan demikian hukum waris itu menurut ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan pearlihan cara kekayaan ( berwujud atau tidak berwujud ) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris maish hidup atau setelah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan antara hukum waris barat ( KUH Perdata ) . Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip ( azas umum ) , diantaranya adalah sebagai berikut :
·      “ Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka . kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh “.
·      “ Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan ada kalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya” .
·      “ Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya” .
·      “ Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana hak dan kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung )”.

Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang maish hidup , anak lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika ( angka ) , tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan.
Tatacara pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
1.      Dengan cara segendong sepikul
Artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan.
2.      Dengan cara Dum Dum kupat
Artinya dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama) “.

Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam .Ini semua setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika , yang didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong guna mewujudkan kerukunan , keselarasan dan kedamaian. Untuk membandungkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan Islam.
Dibawah ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain :
Harta warisan menurut hukum waris adat yang tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan macamnya dan kepentingan para ahli waris.
Harta warisan adat tidak boleh dijual segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku:
·         Didalam hukum waris Islam , harta peninggalan pewaris langsung dibagi-bagi kepada sesama ahli waris yang tidak berhak berdasarkan hukum faraidh.
·         Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para ahli waris , tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat dipakai dan dinikmati . Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan . Bahkan harta warisan yang terbagi , kalau akan dialihkan ( dijual oleh para ahli waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat antara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.
·         Hukum waris adat tidak mengenal azas “ Legitieme Portie “ atau bagian mutlak
·         Hukum kewarisan Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah dtentukan Al
·         Qur ‘ an Surah Annisa
·         Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli waris . Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan , sedangkan ia berhak mendapat warisan , maka ia dapat saja mengajukan permintaan untuk dapat cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.

Hukum Waris Barat
Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata ( BW ) yang menganut sistem individual , dimana harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini , aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan , walaupun beberapa peraturan yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi , seperti hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974 , tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua warga negara.
Hal ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) & peraturan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini , dinyatakan tidak berlaku.

Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :[14]
-     Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda , seorang itu tidak dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya
-     Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu Dapat diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu
-     Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima tahun itu telah lau

Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-gi kan kepada para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan ,walaupun ada perjanjian yang bertentang dengan itu, kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat berlaku atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis yaitu :
1.    Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab intestato.
Yang termasuk dalam golongan ini ialah
- Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)
- Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
- Keluarga sedarah alami dari sipewaris
2. Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair ) Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya“.

Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris ini , cukup layak bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah & semenda , status hukum anak-anak tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah , dan lain sebagainya. Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian yang dianggap mampunyai hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai hukum kewarisan islam & hukum waris adat.
  
III.        Penutup

Kesimpulan

Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
            Dengan demikian  hukum waris  itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Didalam tiga lingkungan hukum, baik adat, islam maupun dalam KUH Perdata, anak-anak dari si pewaris merupakan golongan ahli waris yang paling penting, oleh karena itu pada hakekatnya mereka merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris, apabila si pewaris meninggalkan anak-anak.
Namun terdapat perbedaan yang principal dalam hal anak laki-laki dan anak perempuan. Di dalam lingkungan hukum islam dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Sedangkan di dalam pengaturan waris menurut KUH Perdata dalam hal ini terdapat persamaan dengan pengaturan waris menurut hukum adat. Jadi berlainan dengan pengaturan waris menurut hukum islam. Di dalam ketentuan pasal 852 KUH Perdata disebutkan: “kinderen . . . . . . . . . zonder onderscheidvan kunne”, bahwa anak-anak dengan tidak diperbedakan perihal kelaminnya.



[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, 1993, hlm. 23
[2] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, Let. N.
Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm.47
[3] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 72
[4] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1990, hlm. 165
[5]  Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakrta, 1990, hlm. 109.
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti 1993, hlm 7
[8] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 19-20.
[9] Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Waris di Indonesia, Cetakan II, Sumur, Bandung, hal 16
[10] Ibid,  hlm. 23.
[11]  Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat., Bandung: Alumni, 1983 hlm. 212-213
[12] Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 :
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
[13] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni 1983, hlm 8
[14] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Malta Pritindo Cetakan ke 39, Jakarta, 2008.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in