Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan Hubungan Antar Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan
I.
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Masalah
Setelah terjadi
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang dimulai sejak tahun 2000
hingga tahun 2002 dengan diawali tuntutan reformasi di segala bidang, membawa
dampak pula pada perubahan struktur organisasi kenegaraan Republik Indonesia.
Struktur katatanegaraan yang semula terbagi dalam lembaga tertinggi negara dan
lembaga tinggi negara menjadikan tidak adanya lembaga tertinggi negara. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang semula berposisi sebagai lembaga tertinggi
negara menjadi sama posisinya dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kesamaan posisi dari lembaga-lembaga negara yang
ada menunjukkan adanya kewenangan satu dengan yang lain pada tugasnya
masing-masing yang tidak dapat saling menjatuhkan satu terhadap yang lain.
Dalam posisi yang demikian nampaknya kewenangan MPR menjadi lebih sempit dan
kurang strategis serta sangat terbatas, karena apa yang menjadi kewenangannya
ditegaskan dalam beberapa pasal yang ada dalam Perubahan UUD 1945 hanyalah satu
kewenangan rutin yang dilakukan sekali dalam lima tahun sebagai kewenangan
penetapan semata, sedangkan kewenangan yang lain berupa kewenangan insidental
yang muncul seandainya ada kejadian-kejadian yang sifatnya penyimpangan. Lembaga negara
merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi,
tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum
perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai
lembaga tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga
tinggi negara. Namun setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga
negara adalah MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah
lembaga tinggi atau tertinggi negara.
Mencermati pernyataan
tersebut menjadikan persepsi yang kurang menyenangkan atas posisi MPR sebagai
lembaga negara. Benarkah MPR memiliki kewenangan yang terbatas sebagaimana
dikemukakan dalam Perubahan UUD 1945? Jika demikian benarkah posisi MPR sebagai
lembaga negara memiliki status sama dengan lembaga negara yang lain? Siapakah
MPR itu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dicoba untuk menelusuri jawabannya
dalam pembahasan berikut ini, dengan sudut pandang yuridis konstitusional dan argumentasi
logis rasional.
B.
Landasan Teori
Majelis Permusyawaratan Rakyat, disingkat: MPR adalah
sebuah lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang
terdiri dari anggota-anggota DPR (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Lembaga negara adalah lembaga pemerintahan atau
"Civilizated Organization" Dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara
, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu
sendiri . Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas nya
masing - masing antara lain.[1]
Lembaga negara
merupakan lembaga pemerintahan negara yang berkedudukan di pusat yang fungsi,
tugas, dan kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD. Secara keseluruhan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebelum
perubahan mengenal enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu MPR sebagai lembaga tertinggi
negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai lembaga tinggi negara. Namun
setelah perubahan, UUD 1945 menyebutkan bahwa lembaga negara adalah MPR, DPR,
DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY tanpa mengenal istilah lembaga tinggi atau
tertinggi negara.
Sejak 17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia memulai sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang masih muda dalam
menyusun pemerintahan, politik, dan administrasi negaranya. Landasan
berpijaknya adalah ideologi Pancasila yang diciptakan oleh bangsa Indonesia
sendiri beberapa minggu sebelumnya dari penggalian serta perkembangan budaya
masyarakat Indonesia dan sebuah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pra Amandemen yang baru ditetapkan keesokan harinya pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen) tersebut mengatur berbagai
macam lembaga negara dari Lembaga Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi
Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara yang demokratis oleh lembaga-lembaga
negara tersebut sebagai perwujudan dari sila keempat yang mengedepankan prinsip
demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh didalamnya. Kehendak untuk
mengejawantahkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan, untuk pertama kalinya
dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni 1945. Muhammad
Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam konsepsi
penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan idenya
akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan
Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap
anggota keluarga dapat memberikan pendapatnya.
Dalam rapat Panitia
Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo menyampaikan bahwa ‘’Badan
Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis Permusyawaratan Rakyat’’ dengan
anggapan bahwa majelis ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang
mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, dan
seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang
akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amandemen).[2]
C.
Rumusan Masalah
Dalam Perubahan UUD 1945
kewenangan
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanyalah satu
kewenangan rutin yang dilakukan sekali dalam lima tahun sebagai kewenangan
penetapan semata, sedangkan kewenangan yang lain berupa kewenangan insidental
yang muncul seandainya ada kejadian-kejadian yang sifatnya penyimpangan. Maka dari itu dalam
makalah ini akan dibahas mengenai:
1. Bagaimana kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
dan hubungan antar lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan !
II.
Pembahasan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat
Dalam Sistem Ketatanegaraan
Adanya keinginan
perubahan UUD 1945 menjadi UUD NRI 1945 ini merupakan buah gerakan reformasi
yang dilakukan oleh mahasiswa dan intelektual di tahun 1998. UU 1945 perlu
dilakukan perubahan karena dirasa: UUD 1945 menyerahkan kekuasaan yang sangat
besar kepada Presiden; Tidak adanya prinsip checks and balances dalam
UUD 1945 antara lain menyerahkan kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat; UUD 1945, terlalu fleksibel
menyerahkan penyelenggaraan negara pada semangat para penyelenggara negara yang
dalam pelaksanaannya banyak disalahgunakan; Pengaturan mengenai hak asasi
manusia yang minim; dan kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan mekanisme
demokrasi.
Akibat dari penyerahan
kekuasaan yang sangat besar kepada presiden maka semasa pemerintahan Soekarno
dan Soeharto banyak mengandung segi-segi kelemahan, yang mengakibatkan
munculnya pemerintahan diktator, baik secara terang maupun diam-diam. Sebelum
dilakukan perubahan, UUD 1945 memberikan titik berat kekuasaan kepada Presiden.
Majelis Permusyawaratan Rakyat, meski dikatakan pelaksana kedaulatan rakyat dan
penjelmaan seluruh rakyat, namun kenyataannya susunan dan kedudukannya
diserahkan untuk diatur dalam undang-undang.
Menurut UUD 1945 sebelum
perubahan
Majelis
Permusyawratan Rakyat (MPR) sebagai sebuah nama dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia sudah ada sejak lahirnya negara ini. Pada awal disahkannya
UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 MPR memiliki posisi sebagai lembaga
negara tertinggi. Sebagai lembaga negara tertinggi saat itu MPR ditetapkan
dalam UUD 1945 sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat MPR
mempunyai wewenang memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk
jangka waktu 5 (lima) tahunan. Oleh karena mempunyai wewenang memilih dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka MPR mempunyai wewenang pula memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden sebelum masa jabatannya berakhir apabila Presiden
dan Wakil Presiden dianggap melanggar haluan negara.
Pasal
2 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa MPR terdiri atas
anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dari
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini dapat dikatakan bahwa MPR merupakan
perluasan dari DPR setelah ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.3 Namun
demikian ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini juga menimbulkan pertanyaan
dikarenakan dalam penjelasan UUD 1945 tidak diuraikan secara jelas, sehingga
pertanyaan yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan daerah-daerah dan
golongan-golongan. Tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 yang menjelaskan hal
tersebut.
Menurut
Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan bahwa MPR menetapkan UUD dan
garis-garis besar dari pada haluan negara. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut dapat diketahui siapa saja anggota
MPR itu dan apa kewenangan MPR itu, namun dari kedua pasal tersebut belumlah
nampak kedudukan MPR itu sendiri. Hal ini akan nampak bila dikaitkan dengan
ketentuan pasal-pasal UUD 1945 yang lain, antara lain:
·
Pasal 6 ayat (2) yang
menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara yang
terbanyak.
·
Pasal 1 ayat (2) yang
menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MPR
menurut UUD 1945 sebelum perubahan merupakan lembaga negara tertinggi dalam
susunan ketatanegaraan Republik Indonesia. Bahkan Penjelasan UUD 1945 dalam
Sistem Pemerintahan Negara angka Romawi III dinyatakan bahwa ”Kekuasaan negara
tertinggi ada di tangan MPR. Kedaulatan rakyat dipegang oleh badan bernama MPR
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan
Undang-Undang Dasar (UUD) dan menetapkan garis-garis besar haluan negara.
Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (wakil
Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang
Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah
ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah ’mandataris’ dari majelis, ia wajib
menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak ’neben’, akan tetapi
’untergeordnet’ kepada Majelis”.
Menurut UUD 1945 setelah perubahan
Gagasan
terhadap perubahan UUD 1945 muncul bersamaan dengan gerakan reformasi di segala
bidang yang menentang rezim pemerintahan Suharto yang dianggap telah menyimpang
dari substansi isi UUD 1945 melalui penafsiran sepihak penguasa. Dari alasan
inilah agar isi UUD 1945 tidak menimbulkan penafsiran yang dapat digunakan oleh
penguasa untuk melanggengkan kekuasaan seperti masa pemerintahan Suharto, maka
pembenahan terhadap isi UUD 1945 perlu dilakukan. Inilah yang menjadi salah
satu agenda reformasi yaitu melakukan perubahan terhadap UUD 1945 dengan salah
satu latar belakang perubahannya adalah meninjau kembali tentang kekuasaan
tertinggi di tangan MPR.
Dampak
reformasi telah dirasakan terhadap kedudukan lembaga MPR, dan bahkan ada yang
menyatakan sebagai salah satu lompatan besar perubahan UUD 1945 yaitu
restrukturisasi MPR untuk ’memulihkan’ kedaulatan rakyat dengan mengubah Pasal
1 ayat (2) UUD 1945, dari kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh MPR menjadi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD.
Dalam
perubahan UUD 1945, MPR tetap dipertahankan keberadaannya dan diposisikan
sebagai lembaga negara, namun kedudukannya bukan lagi sebagai lembaga tertinggi
(supreme body) tetapi sebagai lembaga negara yang sejajar posisinya
dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Predikat MPR yang selama ini berposisi
sebagai lembaga tertinggi negara telah dihapuskan (die gezamte staatgewalt
liegi allein bei der Majelis). MPR tidak lagi diposisikan sebagai lembaga
penjelmaan kedaulatan rakyat, hal ini dikarenakan pengalaman sejarah selama
Orde Baru lembaga MPR telah terkooptasi kekuasaan eksekutif Suharto yang amat
kuat yang menjadikan MPR hanyalah sebagai ’pengemban stempel’ penguasa dengan
berlindung pada hasil pemilihan umum yang secara rutin setiap 5 tahun sekali
telah dilaksanakan dengan bebas, umum dan rahasia. Dari pengalaman sejarah
pemerintahan Orde Baru itulah reposisi MPR perlu dilakukan. Perubahan mendasar
dari MPR yang semula sebagai lembaga yang menjalankan kedaulatan rakyat menjadi
lembaga yang oleh sementara pihak disebut sebagai sebatas sidang
gabungan (joint session) antara anggota DPR dan anggota DPD. Yang perlu
mendapat catatan terhadap posisi MPR setelah perubahan UUD 1945 adalah bahwa
kewenangan MPR menjadi dipersempit, maksudnya MPR hanyalah memiliki satu
kewenangan rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil
pemilihan umum9, selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR, seperti
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 Perubahan), mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan) serta
kewenangan insidental lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945 Perubahan.[3]
Perbedaan
kewenangan rutin dengan kewenangan insidental ini adalah bahwa kewenangan rutin
pasti dilaksanakan yaitu setiap 5 (lima) tahun sekali, sedangkan kewenangan
insidental akan dilaksanakan jika terjadi sesuatu hal yakni bila ada keinginan
untuk merubah UUD ataupun bila terjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum atau sudah tidak dapat lagi menjalankan
kewajibannya sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dengan
reposisi MPR setelah perubahan UUD 1945, MPR sendiri memiliki kedudukan yang
tidak jelas apakah sebagai permanen body (lembaga tetap) ataukah sebagai
joint session (lembaga gabungan). Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD
1945 (Perubahan) dinyatakan bahwa MPR terdiri atas aggota DPR dan anggota DPD
yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ini memposisikan bahwa MPR merupakan gabungan
anggota DPR dan anggota DPD (joint session) bukan gabungan lembaga DPR
dan lembaga DPD (bukan terdiri dari dua kamar atau bukan bikameral). Namun
menjadi tidak jelas lagi jika merupakan gabungan anggota DPR dan anggota DPD
yang berarti memiliki kewenangan gabungan dari kewenangan anggota DPR ditambah
dengan kewenangan anggota DPD dan itulah yang seharusnya menjadi kewenangan
MPR, tetapi dalam ketentuan Pasal 3 UUD 1945 (Perubahan) diuraikan bahwa
kewenangan MPR bukanlah gabungan dari kewenangan anggota DPR dan kewenangan
anggota DPD. Jadi merupakan kewenangan tersendiri sebagai lembaga tetap/permanen
body.[4]
Pada Perubahan IV ini
membuat UUD NRI 1945 memiliki 20 bab, 73 pasal, 171 ayat ditambah 3 pasal
Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan. Perubahan itu membuat adanya
perubahan yang menyentuh kepada masalah-masalah yang sangat mendasar dalam
sistem politik dan ketatanegaraan dengan implikasi pada perubahan berbagai
peraturan perundangan dan kehidupan politik Indonesia di masa depan.
Perubahan IV membuat
jumlah bab, pasal, dan ayat tambahan dan peralihan menjadi lebih banyak.
Bandingkan sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 hanya memiliki 16 bab, 37
pasal dan 47 ayat ditambah 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan.
Setelah
adanya perubahan UUD 1945, anggota MPR adalah gabungan dari anggota DPR (550
orang) dan anggota DPD (masing-masing provinsi 4 orang) yang semuanya dipilih
secara langsung. Dari adanya perubahan UUD 1945 itu membuat seluruh anggota MPR
adalah orang-orang yang dipilih secara langsung, jadi presiden tidak bisa
mencampuri anggota MPR. (Pasal 2 Ayat 1 UUD NRI 1945:
Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang)
Namun
setelah adanya perubahan kewenangan-kewenangan MPR menjadi tidak seperti dulu.
Itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945: Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sehingga bila dulu
presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR maka setelah perubahan maka
presiden dan wakil presiden dipilih langsung melalui pemilu. Pasal 22 E ayat 2
berbunyi:
Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam
kekuasaan untuk meng-impeachment presiden sebelum perubahan amandemen
adalah dari DPR langsung ke MPR namun sekarang harus lewat MK sehingga
prosesnya menjadi berbelit dan tidak mudah bila melakukan impeachment.
Seperti dalam Pasal 7B Ayat 1 berbunyi:
Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih
dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[5]
Tugas dan
Fungsi MPR
Perubahan tugas dan fungsi
MPR dilakukan untuk melakukan penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat
diwujudkan secara optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling
mengimbangi antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini
antara MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.
Saat ini MPR tidak lagi
menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik yang berbentuk GBHN maupun
berupa peraturan perundang-undangan, serta tidak lagi memilih dan mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program
yang ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil Presiden
itu menang maka program itu menjadi program pemerintah selama lima tahun. Berkaitan
dengan hal itu, wewenang MPR adalah melantik Presiden atau Wakil Presiden yang
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah terpilih.
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8
ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
1.
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
2. melantik
Presiden dan/atau Wakil Presiden;
3. memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang
dasar
4. memilih Wakil
Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
5. memilih
Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.[6]
Hubungan Antar Lembaga Negara
Dalam Sistem Ketatanegaraan
Konsep lembaga
negara secara terminologis memiliki keberagaman istilah. Di kepustakaan
Inggris, sebutan lembaga negara menggunanakan istilah “political Institution”, sedangkan dalam
kepustakaan Belanda dikenal dengan istilah “staat organen”. Sementara
itu, bahasa Indonesia menggunakan istilah “lembaga negara, badan negara,
atau organ negara.[7]
MPR dengan DPR,
DPD, dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang
sebagai ciri yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR
yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih
dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam
pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik
sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar
kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR,
maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang kekuasaan
yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan kehakiman. Sebagai
lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, memilih Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks
pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR mempunyai jumlah yang lebih besar
dari anggota DPD, tapi peran DPD dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal
mengubah UUD yang harus dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan
Presiden yang harus dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam
kewenangan tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya
dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan
kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses
tersebut hanya bisa dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan
pada MPR.
Selanjutnya,
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan:
bahwa
salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan
MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara
lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka
konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.[8]
DPR dengan
Presiden, DPD, dan MK, Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri
dari DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang
diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat
(1) menyatakan bahwa:
DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi
DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada Pasal 20 ayat (5)
ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.[9]
Dalam hubungan dengan
DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan
menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
Dalam
hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat hubungan tata kerja yaitu
dalam hal permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan
bahwa Presiden bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain
misalnya dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya, proses
pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan pendapat DPR yang
menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk diperiksa oleh MK.
DPD dengan DPR,
BPK, dan MK, Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan
RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR,
memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil
pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai
lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya
tersebut adalah dengan mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam
hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan UUD menerima hasil
pemeriksaan BPK dan memberikan pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.Ketentuan
ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan hasil laporan keuangan BPK
sebagai bahan dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya,
dan untuk turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan
sebagai bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan RUU APBN. Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait
dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara
lainnya.
MA dengan lembaga negara lainnya, Pasal 24 ayat (2)
menyebutkan:
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan
kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung merupakan lembaga yang
mandiri dan harus bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan yang lain.[10]
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan 3 (tiga)
orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi dengan Presiden, DPR, BPK, DPD, MA, KY Kewenangan
Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) bahwa:
Untuk
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD,
memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
UUD.[11]
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki hubungan tata
kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila terdapat sengketa antar lembaga
negara atau apabila terjadi proses judicial review yang diajukan oleh
lembaga negara pada MK.
BPK dengan DPR dan DPD, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri
untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan
hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Dengan
pengaturan BPK dalam UUD, terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan
bentuk organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas
pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan BPK juga terhadap
pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan harus menyerahkan hasilnya itu selain pada DPR juga
pada DPD dan DPRD. Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK dengan DPR dan
DPD adalah dalam hal proses pemilihan anggota BPK.
Komisi Yudisial dengan MA, Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1)
menegaskan bahwa: calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk
mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari
kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan
kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan kehormatannya oleh
suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY
hanya dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan
pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti hakim MK tidak dikaitkan dengan
KY.
III. Penutup
A.Kesimpulan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam benak rakyat Indonesia sudah sangat dikenal
dan melekat di hati sanubari hampir seluruh rakyat Indonesia. Keberadaan MPR
sudah dikumandangkan sejak berdirinya Republik ini dan secara resmi telah
disebut dalam UUD 1945. Pada awalnya MPR diposisikan sebagai lembaga
representatif penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dan pemegang kedaulatan
rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara tertinggi. MPR berwenang
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya Presiden
bertanggungjawab kepada MPR karena Presiden sebagai mandataris MPR. Lembaga ini
juga berwenang merubah dan menetapkan undang-undang dasar, serta menetapkan
garis-garis besar haluan Negara.
Sepanjang sejarah
konstitusi di Indonesia, di masa Orde Lama dan Orde Reformasi sering terjadi
perubahan undang-undang dasar. Dalam masa Orde Baru UUD 1945 disakralkan. Semua
itu terjadi karena adanya kepentingan dan kemauan politik demi demokratisasi
atau kekuasaan.
Perubahan
IV UUD 1945 menghasilkan anggota MPR yang demokratis, di mana seluruh anggota
MPR dipilih secara langsung melalui pemilu. Berbeda dengan di masa Orde Baru
dan Orde Lama, separuh anggota MPR diangkat oleh presiden.
Meski
kewenangan MPR tidak seperti dulu lagi namun ada kewenangan-kewenangan MPR yang
masih bisa dibanggakan seperti melantik presiden dan wakil presiden, serta
meng-impeachment presiden, dan
mengubah UUD.
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Permusyawaratan_Rakyat diakses 19 September 2013 | 20.50 WIB.
[3] - Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Perubahan: “Dalam hal terjadi kekosongan
Wakil Presiden, selambatlambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis
Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden
dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. ***)”
- Pasal 8 ayat
(3) UUD 1945 Perubahan: “Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri,
Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersamasama.
Selambatlambatnya tigapuluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat
menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai polotik
yang psangan calon Presiden dan Wakil Presidennya merai suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya. ****)”
1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan
UndangUndang Dasar. ***)
2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil
Presiden. ***/****)
3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UndangUndang Dasar.
***/****)
[7] Firmansyah Arifin dkk. 2005. Lembaga Negara
dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, KRHN bekerjasama dengan MKRI didukung oleh The
Asia Foundation dan USAID, Jakarta, hlm 29
Comments
Post a Comment