I.
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Pada tahun 1949, Komisi Hukum Internasional dipilih kedua rezim perairan
teritorial dan bahwa dari laut lepas sebagai topik untuk kodifikasi. Komisi menunjuk
Mr François, sebagai Pelapor Khusus untuk topik laut lepas pada tahun 1949, dan
kemudian diperpanjang mandatnya untuk memasukkan juga topik laut teritorial.
Topik-topik yang dianggap oleh Komisi pada kedua untuk sesi kedelapan,
1950-1956 masing-masing, atas dasar laporan dari informasi, Pelapor Khusus yang
disediakan oleh Pemerintah dan Organisasi Internasional, serta dokumen yang
disiapkan oleh Sekretariat. Draft final berkaitan dengan landas kontinen,
perikanan dan zona tambahan yang diajukan oleh Komisi kepada Majelis Umum pada
sidang kelima, pada tahun 1953. Pada tahun 1956, Komisi mengadopsi laporan
akhir pada laut teritorial. Pada sesi yang sama, semua artikel draft mengenai
hukum laut yang dimasukkan dalam tubuh sistematis tunggal untuk membentuk draft
akhir pada hukum laut.
Setelah pembahasan laporan dari Komisi Hukum Internasional pada karya sesi
kedelapan (A/CN.4/104), Majelis Umum mengadopsi Resolusi 1105 (XI) dari 21
Februari 1957, oleh yang memutuskan untuk mengadakan Amerika Konferensi PBB
tentang Hukum Laut di Jenewa dari 24 Februari-27 April 1958. Delapan puluh enam
negara berpartisipasi dalam konferensi.
Sesuai dengan resolusi di atas, amanat Konferensi adalah untuk menguji
hukum laut, dengan mempertimbangkan tidak hanya dari hukum tetapi juga dari,
teknis biologis, aspek ekonomi dan politik dari masalah, dan untuk mewujudkan
Hasil kerja dalam satu atau lebih konvensi atau instrumen lain yang sesuai.
Empat konvensi terpisah diadopsi oleh Konferensi pada tanggal 29 April 1958
dan dibuka untuk ditandatangani sampai dengan 31 Oktober 1958, dan setelah itu
dibuka untuk aksesi oleh semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
negara lain dan badan-badan khusus diundang oleh Majelis Umum untuk menjadi
pihak kepada: Konvensi tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan (mulai
berlaku pada tanggal 10 September 1964), sedangkan Konvensi tentang High Seas (mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962), sedangkan Konvensi tentang Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut Tinggi (mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966), dan Konvensi tentang Landas
Kontinen (mulai berlaku pada tanggal
10 Juni 1964). Selain itu, Protokol Opsional dari
Signature Mengenai Penyelesaian Sengketa Wajib diadopsi, yang mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962.
Sebuah konferensi kedua diadakan pada tahun 1960 untuk
mempertimbangkan topik yang belum disepakati pada Konferensi 1958. Sebuah
konferensi ketiga diselenggarakan 1973-1982, sehingga penerapan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut, yang telah diganti, bagi mereka pesta-negara itu, empat
konvensi yang diadopsi pada tahun 1958
B. RUMUSAN
MASALAH
Setiap negara, baik
negara pantai atau negara tidak berpantai dapat menikmati kebebasan-kebebasan
di laut lepas. Maka perlu dibahas lebih lanjut mengenai:
1. Sejarah
laut lepas.
2. Perjanjian
tentang laut lepas.
II.
PEMBAHASAN
1. Sejarah
pembentukan konvensi laut lepas
Laut lepas adalah merupakan res nullius, dan kecuali apabila
terdapat aturan-aturan dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan
negara-negara, laut lepas tidak merupakan wilayah negara manapun. Doktrin laut
bebas (Freedom of the seas) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat
dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan
lainnya.
Istilah laut lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh
bagian laut yang tidak termasuk perairan pedalaman dan laut teritorial dari
suatu negara. Pada konperensi
Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui
mempertimbangkan laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan
perairan di luarnya adalah laut lepas, tetapi konperensi tersebut mengalami
kegagalan dalam menentukan lebar laut teritorial.
Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di
dalam pasal 2 dari Konvensi Genewa 1958 tentang laut lepas, yang menyatakan
bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun
secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari laut lepas ke daerah
kedaulatannya. Laut lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak
suatu negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian laut
lepas.
Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat
yang ditentukan oleh pasal-pasal ini (dari konvensi) dan oleh aturan-aturan
hukum internasional. Negara pantai maupun bukan negara pantai memiliki
kebebasan yang terdiri dari : Kebebasan
berlayar, Kebebasan menangkap ikan, Kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa
bawah laut, Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas[1].
Kebebasan-kebebasan ini dan hal-hal lainnya yang dikenal oleh
asas-asas umum hukum internasional, akan dilaksanakan oleh semua negara dengan
memperhatikan kepentingan negara-negara lain dalam melaksanakan kebebasan di
laut.
Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terlihat beberapa
perubahan atas konsep laut lepas seperti yang didefinisikan oleh Konvensi
Jenewa 1958 tentang laut lepas. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh pasal 2
Konvensi Jenewa 1958 tentang laut lepas tetap diakui dalam pasal 87 dari
konvensi baru dan ditambahkan dengan dua macam kebebasan di laut lepas lainnya
a. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya
yang diizinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Bab VI.
b. Kebebasan riset ilmiah, sesuai ketentuan-ketentuan Bab VI dan
XIII.
Perubahan lainnya
adalah munculnya rejim baru zona ekonomi eksklusif dengan luas 2000 mil laut
(Bab V, Pasal 55 – 75 ) serta rejim sumber-sumber kekayaan alam dasar laut dan
tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi nasional di bawah Otorita Dasar Laut
Internasional. terhadap laut lepas tunduk pada rejim yang berbeda-beda,
menyangkut perikanan dan sumber daya alamnya termasuk fungsinya zona ekonomi
eksklusif Sedangkan dasar laut dan tanah di bawahnya adalah di bawah rejim
landas kontinen, serta wilayah laut di atasnya adalah rejim Laut Lepas.
Di dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, dijumpai adanya definisi tentang laut lepas. Pasal 1 mengandung suatu definisi negatif dari pada pengertian laut lepas dan mengartikannya sebagai “…….segala bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.[2] Akan tetapi Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebutkan suatu defenisi tentang laut lepas. Dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 hanya menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dari Laut Lepas diterapkan terhadap semua bagian dari laut yang tidak termasuk di dalam zona ekonomi eksklusif, Laut Teritorial, atau perairan pedalaman dari suatu negara atau di dalam perairan kepulauan dari negara kepulauan.
Di dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, dijumpai adanya definisi tentang laut lepas. Pasal 1 mengandung suatu definisi negatif dari pada pengertian laut lepas dan mengartikannya sebagai “…….segala bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.[2] Akan tetapi Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebutkan suatu defenisi tentang laut lepas. Dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 hanya menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dari Laut Lepas diterapkan terhadap semua bagian dari laut yang tidak termasuk di dalam zona ekonomi eksklusif, Laut Teritorial, atau perairan pedalaman dari suatu negara atau di dalam perairan kepulauan dari negara kepulauan.
Apabila kita
membandingkan kedua pasal dari kedua konvensi di atas maka akan kita temukan
perbedaan, yaitu dalam defenisi pasal satu Konvensi Jenewa 1958 hanya
menyebutkan laut teritorial dan perairan pedalaman sebagai bagian laut yang
tidak termasuk Laut Lepas. Hal ini adalah masuk akal, karena pada waktu
berlakunya konvensi ini belum diatur tentang ZEE dan diakuinya prinsip Negara
Kepulauan, sedangkan kedua rejim yang disebutkan terakhir sudah diatur dalam
Konvensi Hukum Laut 1982.
Berikut ini akan
diuraikan secara pokok-pokok saja pengaturan dari kebebasan di Laut Lepas
berdasarkan konvensi Hukum Laut 1982.
LAUT
LEPAS (HIGH SEAS)
|
|
Macam-macam
kebebasan di Laut Lepas
|
Pengaturan
KHL 1982
|
A.
Pelayaran
1.
Ketentuan Dasar
- Setiap negara, baik berpantai maupun
tidak mempunyai hak untuk berlayar di Laut Lepas.
- Setiap negara harus menetapkan
persyaratan pemberian kebangsaan pada kapal, pendaftaran kapal dan hak
mengibarkan benderanya.
- Kapal perang memiliki kekebalan
penuh terhadap yurisdiksi negara manapun selain negara bendera.
- Kapal yang dimiliki atau
dioperasikan oleh suatu negara dan hanya untuk dinas pemerintah, memiliki
kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera.
1. Yurisdiksi dan Kewajiban
a. Negara Bendera Kapal
- Kapal harus berlayar di bawah
bendera suatu Negara saja, tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu
dalam pelayaran atau sewaktu berada dipelabuhan.
- Harus melaksanakan secara efektif
yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial
atas kapal.
- Setiap negara harus memelihara suatu
daftar register kapal dan menjalankan yurisdiksi di bawah
perundang-undangannya atas setiap kapal yang mengibarkan benderanya.
- Setip negara harus mengambil
tindakan yang diperlukan bagi kapal yang memakai benderanya, untuk menjamin
keselamatan.
- Bahwa setiap kapal diperiksa seorang
surveyor kapal yang berwenang, tersedia peta, penerbitan pelayaran dan
peralatan navigasi.
- Kapal ada dalam pengendalian seorang
nahkoda dan perwira yang memiliki persyaratan yang tepat.
- Mengikuti peraturan dan prosedur dan
praktek internasional yang umum.
- Mengadakan pemeriksaan yang
dilakukan oleh atau di hadapan orang yang berwenang setiap kecelakaan kapal
atau insiden pelayaran.
- Tuntutan pidana atau
pertanggungjawaban disiplin terhadap kapten kapal atau petugas kapal lainnya,
hanyalah dilakukan pada pengadilan atau di depan pejabat administrasi negara
pemilik bendera kapal atau negara dimana petugas-petugas tersebut adalah
adalah warga negara.
Dalam
Konvensi Jenewa 1958 tentang laut lepas hal ini diatur dalam pasal 6 yang
menentukan bahwa kapal- kapal berlayar hanya dengan memaki bendera dari dari
satu negara saja dan berada sepenuhnya dibawah yurisdiksinya di laut lepas.
Pengaturan pasal tersebut diatas dikaitkan dengan prinsip yang dikemukakan
oleh Mahkamah Internasional Permanen dalam mengadili kasusThe Lotus yang mengatakan bahwa kapal-kapal
yang berada dilaut lepas tidak tidak berada di bawah kekuasaan dari negara
yang benderanya dipakai kapal tersebut. Uraian tentang kasus The Lotus ini akan dikemukakan pada bagian
akhir dari bab ini.
- Kewajiban untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan hidup.
- Mengambil tindakan yang diperlukan
sesuai dengan konvensi, secara individual atau bersama-sama untuk mencegah,
mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan hidup.
- Mencegah, mengurangi dan
mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari kendaraan air.
- Menjamin bahwa kapal menaati
ketentuan atau standar internasional untuk mencegah, mengurangi dan
pengendalian pencemaran lingkungan laut.
- Mewajibkan (meminta) nahkoda kapal
untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang yang ditemukan di laut dalam
bahaya akan hilang,
menuju secepatnya menolong, memberikan bantuan pada kapal lain yang
bertubrukan.
b. Negara Pelabuhan (Negara Pantai)
- Negara pantai harus menggalakkan
diadakannya pengoperasian dan pemeliharaan dinas Search and Rescue (SAR) yang memadai dan efektif
berkenaan dengan keselamatan di dalam dan di atas laut.
- Harus bekerjasama sepenuhnya dalam
penindasan pembajakan di laut lepas.
- Hak melakukan pengejaran seketika (hat
pursuit) apabila mempunyai alasan yang cukup dengan cara yang sesuai
dengan ketentuan konvensi.
c. Negara-negara lain
- Setiap negara mewajibkan (meminta)
nahkoda suatu kapal untuk memberikan pertolongan kepada setiap orang yang
ditemukan di laut dalam bahaya akan hilang, menuju secepatnya menolong orang
dalam kesulitan apabila mendapat pemberitahuan, memberikan bantuan pada kapal
yang mengalami tabrakan.
- Mengambil tindakan yang efektif
untuk mencegah dan menghukum pengangkutan budak belian.
- Harus bekerjasama sepenuhnya dalam
penindasan pembajakan di laut lepas.
- Setiap negara dapat menyita suatu
kapal atau pesawat udara perompak atau kapal atau pesawat udara perompak yang
telah diambil oleh perompak dan menangkap orang-orang dan menyita barang yang
ada di kapal serta dpat menetapkan hukuman yang akan dikenakan oleh
pengadilan negaranya.
- Bekerjasama dalam penumpasan
perdagangan gelap obat narkotik dan bahan-bahan psikotropis di laut lepas.
Bekerjasama
dalam menumpas siaran gelap dari laut lepas.
|
Pasal
90
Pasal
91
Pasal
95
Pasal
96
Pasal
92
Pasal
94(1)
Pasal
94(2)
Pasal
94(3)
Pasal
94(4) huruf a
Pasal
94(4) huruf b
Pasal
94(4) huruf c
Pasal
94(7)
Pasal
94(3)
Pasal
192
Pasal
194
Pasal
211
Pasal
217
Pasal
98
Pasal
98(2)
Pasal
100
Pasal
111
Pasal
98(1)
Pasal
99
Pasal
100-101
Pasal
105
Pasal
108
Pasal
109
|
B.
Penerbangan
Semua
negara baik negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai kebebasan untuk
melakukan penerbangan di ruang udara di atas laut lepas, dengan memperhatikan
kepentingan negara lain.
|
Pasal
87 (1),(2)
|
C. Pemasangan Kabel dan Pipa di Dasar Laut
- Semua negara memiliki kebebasan
untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut dengan tunduk pada Bab VI tentang
Landas Kontinen, di laut lepas, dengan memperhatikan kepentingan negara lain
dan ketentuan konperensi ini.
- Semua negara mempunyai hak untuk
memasang kabel dan pipa bawah laut diatas
dasar laut lepas di luar landas kontinen.
- Setiap negara harus menetapkan
peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mengatur bahwa pemutusan
atau kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut karena sengaja atau kelalaian
merupakan suatu pelanggaran yang dapat dihukum.
Setiap negara harus menetapkan peraturan
perundang-undangan dengan tentang ganti rugi untuk kerugian yang diderita
dalam usaha untuk mencegah kerusakan pada kabel atau pipa bawah laut.
|
Pasal
87 (1), (2)
Pasal
112
Pasal
113
Pasal
115
|
D. Pembangunan Pulau Buatan dan Instalasi Lain
- Semua negara mempunyai kebebasan
untuk membangun pulau dan instalasi lainnya yang diperoleh berdasarkan hukum
internasional, dengan tunduk pada ketentuan Bab VI.
- Penempatan dan penggunaan setiap
jenis instalasi riset ilmiah atau peralatan di kawasan lingkungan laut harus
tunduk pada syarat-syarat yang sama yang ditentukan oleh konvensi untuk
penyelenggaraan riset ilmiah kelautan di setiap kawasan tersebut.
Penelitian ilmiah kelautan di kawasan baru dilakukan
semata-mata untuk maksud damai untuk kemanfaatan umat manusia
|
Pasal
87
Pasal
258, 256, 262
Pasal
143
|
E.
Penangkapan Ikan
- Semua negara mempunyai kebebasan
untuk menangkap ikan, dengan memperhatikan sebagaimana mestinya kepentingan
negara lain dan hak-hak dalam konvensi ini yang berkenaan dengan kegiatan di
Kawasan.
- Semua negara mempunyai hak bagi
warga negaranya untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas.
- Kewajiban negara untuk mengadakan
tindakan-tindakan dengan warga negaranya untuk konservasi sumber kekayaan
hayati di laut lepas.
Kewajibaan konservasi dan pengelolaan mamalia laut di
laut lepas.
|
Pasal
8(1) ,(2)
Pasal
116
Pasal
117
Pasal
120
|
F.
Riset Ilmiah
- Setiap negara memiliki kebebasan
untuk mengadakan riset ilmiah, dengan tunduk pada ketentuan Bab VI dan XIII,
di laut lepas.
- Penelitian ilmiah kelautan di
kawasan harus dilakukan semata-mata untuk maksud damai dan untuk kemanfatan
umat manusia.
- Negara-negara, secara langsung atau
melalui organisasi internasional yang berkompeten, bekerjasama menggalakkan
pengembangan dan alih teknologi kalautan.
Kerjasama
internasional untuk mengembangkan dan alih teknologi kelautan.
|
Pasal
87
Pasal
143 (1)
Pasal
266 (1)
Pasal
270
|
2.
Perjanjian tentang laut lepas
Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau
“high seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan
bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa manfaat
laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang
diakndungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh
dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut
melahirkan hak dan kewajiban umum tiap negara terhadap laut bebas serta hak dan
kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana
pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat “SAR”,
yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian
lingkungan laut.
Dibandingkan
dengan keadaan pada waktu sebelum dihasilkannya konvensi hukum laut 1982, luas
peairan laut lepas kini menjdi berkurang karena konvensi telah mengakui batas
terluar laut teritorial menjadi 12 mil. Demikian juga dengan kebebasan-kebebasan
di laut lepas sebagai mana di atur dalam konvensi jenewa tentang laut lepas
1958, juga sudah di kurangi karena lahirnya konsep-konsep baru[3]
Ketentuan-ketentuan mengenai rezim hukum laut Bebas yang tercantum dalam
konvensi Hukum Laut yang baru adalah terdapat pada part VII, Pasal 86 sampai
dengan Pasal 120, berlaku semua bagian laut di luar laut pedalaman, laut
wilayah dan ZEE. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan yang
tercantum dalam “Convention on the High Seas” dari Konvensi Jenewa tahun 1958.
Ketentuan-ketentuan yang dimaksud
adalah :
1. The
high seas are open to all States, whether coastal or landlocked. freedom of the
high seas is exercised under the conditions laid down by this convention and by
other rules or international law. It comprises, “inter alia”, both for coastal
and landlocked States. (Laut bebas terbuka untuk semua negara, baik negara
pantai maupun negara yang tidak berpantai). Namun pelaksanaan negara-negara itu
harus diperhatikan kepentingan negara lain menurut ketentuan konvensi atau
aturan Hukum Internasional lain, kebebasankebebasan baik bagi negara pantai
maupun bagi negara-negara tak berpantai terdri dari : 66
a. Kebebasan
berlayar (freedom of navigation) ;
b. Kebebasan
terbang (freedom of over flight);
c. Kebebasan
meletakkan kabel dan pipa dibawah laut (freedom to lay submarine cables and
pipelines) ;
d. Kebebasan
membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lain yang diizinkan oleh
hukum Internsional (freedom to construct artificial islands and other
installations promoted under international law);
e. Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing);
f. Kebebasan melakuakn penelitian ilmiah kelautan
(freedom of scientific researches).
Kemudian Konvensi Hukum laut baru ini telah mengingatkan bahwa laut bebas
hanya boleh digunakan unutk keperluan damai (the high seas shall be reseved for
peaceful purposes). Tidak satu negara pun boleh mengklaim setiap bagian laut
bebas menjadi miliknya atau berada dibawah kedaulatannya (no State may validly
purport to subject any part of the high seas to its sovereignty, pasal 89).
Pada dasarnya di laut lepas tidak berlaku kedaulatan negara laut lepas
merupakan res commnis yaitu laut yang terbuka dan bebas bagi semua negra[4].
2. Hak
atau kebebasan berlayar (rights of navigation) dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Sebagai negara (coastal atau landlocked)
mempunyai hak berlayar dengan mengibarkan benderanya (every State, whether
coastal or landlocked, has the rights to sail ships flying its flag on the high
seas: pasal 90)
b. Setiap
kapal mendapatkan kebangsaan dari benderanya (every State shall fix the
conditions for the grant of its nationally to ships : pasal 91 ayat 1)
c. Setiap kapal dengan bendera suatu Negara
berada dalam yurisdiksi Negara bendera. Selama dalam pelayaran atau disuatu
pelabuhan dilarang ganti bendera kecuali karena pindah.
Tanggal 31 Desember 1985,Presiden Republik Indonesia di Jakarta
mengesahkan sertifikasi Indonesia terhadap konvensi perserikaatn PBB tentang
Hukum Laut dengan undang-undang No. 17 tahun 1985, secara umum konvensi Hukum
Laut PBB 1982, merupakan usaha masyarakat Internasional untuk mengatur masalah
kelautan tersebut. Usaha masyarakat internasional untuk mengatur masalah
kelautan melalui Konperensi PBB tentang hukum Laut yang ketiga telah berhasil
mewujudkan United Nations Convention on the Law of the sea (Konvensi
Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang hukum Laut), telah ditandatangani oleh 117
(seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia dan 2 satuan bukan
Negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember 1982. Dibandingkan
dengan konvensi – konvensi Jenewa 1958 tentang hukum laut, Konvensi PBB tentang
hukum Laut tersebut mengatur rejim–rejim hukum laut secara lengkap dan
menyeluruh, yang rejim–rejimnya satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang hukum laut tersebut :
a. Sebagian
merupakan kodifikasi ketentuan – ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya
kebebasan–kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut teritorial;
b. Sebagian
merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai
lebar laut Teritorial menjadi Maksimun 12 mil laut dan criteria landas
kontinen. Menurut konvensi Jenewa 1958 tentang hukum Laut kriteria bagi
penentuan lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau
kriteria kemampuan eksploitas. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah
wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya
(Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the
continental margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar
untuk mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak
mencapai jarak 200 mil tersebut;
c. Sebagaian
melahirkan rejim– ejim hukum baru, seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi
Ekslusif dan penambangan di dasar laut Internasional. Bagi bangsa dan Negara
Republik Indonesia, konvensi ini mempunyai arti yang penting karena untuk
pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang selam dua puluh lima tahun secara
terus menerus diperjuangkan oleh Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan
resmi masyarakat internasional. Pengakuan resmi asas Negara kepulauan ini
merupakan hal ynag penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai
dengan deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub
dalam ketetapan majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Garis –garis Besar
haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan indonesai sebagai
satu kesatuan politik, ekonomi sosial budaya dan pertahanan keamanan.
“Negara Kepulauan” menurut konvensi ini adalah suatu negara yang
seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan adapat mencakup
pulau–pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan kepulauan berarti suatu
gugusan pulau–pulau termasuk bagian pulau, perairan diantara gugusan
pulau–pulau tersebut dan lain–lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau–pulau, perairan dan wujud
alamiah lannya tersebut meruapkan kesatuan geografi dan politik yang hakiki,
atau secara historis telah diangggap sebagai satu kesatuan demikian.
Sudah merupakan suatu hukum
kebiasaan bahwa laut itu di bagi atas beberapa zona, dan zona yang paling jauh
dari pantai dinamakan laut lepas. Berdasarkan pasal 86 konvensi PBB tentang
hukum laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang
tidak termasuk dalam zona ekonoi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam
perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan[5].
Jadi sesuai definisi ini laut lepas terletak di bagian luar zona ekonomi
eksklusif.adapun prinsip hukum yang mengatur rezim dilaut lepas adalah prinisip
kebebasan.. oleh karena itu pada dulunya negara-negara anglo-saxon menamai laut
lepas itu open sea. Namun demikian prinsip kebebasan ini harus pula
dilengkapi dengan tindakan-tindakn pengawasan, kerena kebebasan tanpa
pengawasan dapat mengacau kebebasan itu sendiri.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa isi Konvensi
Laut Territorial dan Jalur tambahan dan Konvensi Laut Lepas merupakan perumusan
atau penegasan ketentuan hukum yang sudah ada, yang di dalam beberapa hal
disesuaikan dengan perubahan yang diakibatkan perkembangan teknik modern.
Apabila hasil karya konperensi mengenai
laut territorial dan laut lepas sudah penting artinya karena membawa ketegasan
dalam banyak persoalan.
Di laut lepas, setiap negara, baik
negara pantai maupun tidak berpantai (land-locked)
dapat menikmati kebebasan-kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), yang meliputi antara lain
kebebasan-kebebasan untuk berlayar, melakukan penerbangan, memasangn kabel dan
pipa di bawah laut, membangun pulau buatan dan instalasi lainnya, menangkap
ikan dan melakukan riset ilmiah kelautan. Kebebasan untuk menangkap ikan di
bagian laut lepas dihapuskan sampai dengan batas 200 mil laut dari garis pangkal yang sekarang di
beri status sebagai zona ekonomi ekxlusif. Setiap negara wajib untuk
bekerjasama dengan negara-negara lain untuk menetapkan tindakan-tindakan
pengelolaan dan konsevari sumberdaya hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja
Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, PT.Alumni, Bandung, 2000.
Parthiana
I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Kusumaatmadja
Mochtar, Hukuim Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Yuliantiningsih
aryuni, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unsoed,
Purwokerto, 2012
[1] Kusumaatmadja
Mochtar,
Hukuim Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986. Hal 189
[2]
Kusumaatmadja
Mochtar, Hukuim Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1986. Hal 147.
[3]
Kusumaatmaja mochtar. Pengatar Hukum Indonesia. PT alumni. bandung. 2003. Hal
188
[4]
Yuliantiningsih aryuni, Bahan Kuliah Hukum Internasional, Purwokerto, 2012, hal 33.
Comments
Post a Comment