Skip to main content

Efektivitas Penerapan Sanksi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana

I.              Pendahuluan
A.    Latar Belakang Masalah
Anak sebagai salah satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber daya manusia yang tangguh serta berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan hak-hak anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi inipun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa dan berlaku di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul: “ EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA “
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut
1.      Bagaimana efektifitas penerapan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana ?

C.    Tinjauan Pustaka
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah.
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah  diperoleh sebelumnya.
Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin. Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a.       Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b.      Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang tegas tentang batas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa :
(1) Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidangpengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi blm mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak. Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.[1]
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a.       Anak yang melakukan tindak pidana, atau
b.      Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
Baik menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur :
·         adanya perbuatan manusia
·         perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
·         adanya kesalahan
·         orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu : [2]
1)      Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2)      Juvenile Deliquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasadianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Kedudukan anak yang dihukum dengan diserahkan kepada orang tua, lembaga perawatan atau pembinaan, balai latihan kerja, atau lembaga sosial, tidak dapat disebut sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dan atau dihapuskannya hak anak untuk menjalankan hukuman (penjara) dari anak tersebut.
Anak-anak mempunyai hak untuk dibina agar dapat menjalankan kewajibannya sebagai warga Negara yang baik sehingga dengan pembinaan yang sedini mungkin dapat mencegah anak-anak melakukan tindak pidana yang lebih jauh. Salah satu pembinaan yang paling baik berasal dari keluarga, namun terkadang adanya intervensi pembinaan sosial dalam keluarga yang sering menunjukkan sikap bahwa untuk menyelesaikan penyimpangan yang dilakukan oleh anak adalah diselesaikan dengan jalan musyawarah, bujukan atau pengusiran terhadap anak sebagai pelaku kejahatan. Tindakan yang menurut keluarga merupakan pandangan bahwa itu merupakan sebagai substitusi proses pendidikan demi pertumbuhan dan perkembangan anak, malah justru akan membuat anak tersebut merasa diabaikan dan tertekan.
Di Indonesia sendiri sejak dibentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang tegas tentang batas usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa :
(1)   Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahundan belum pernah kawin.
(2)   Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang pengadilan, setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi blm mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.[3]
Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak dibawah dari batas usia minimum yang ditentukan atau belum berumur 8 tahun, dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan bahwa :
(1)     Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.
(2)     Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3)     Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi yang saling terkait dan mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek mental, fisik, sosial, dan ekonomi merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dalam mengembangkan hak-hak anak. Untuk mendapatkan suatu keadilan, diperlukan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapatkan bantuan serta perlindungan hukum agar tercapai suatu keadilan yang diharapkan. Namun yang kiranya perlu digarisbawahi bahwa memperlakukan anak harus melihat situasi, kondisi fisik dan mental, keadaan sosial serta usia dimana pada tiap tingkatan usia anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.

II.           Pembahasan

Efektivitas Penerapan Sanksi Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana

Hukum perlindungan anak merupakan subsistem hukum dan tujuan hukum pidana, yang didalamnya meliputi pemahaman dasar terhadap asas-asas hukum pidana seperti asas territorial, asas personal aktif, asas personal pasif, asas universalitas, asas fictie, dan lain-lain. Ada dua langkah legislatif yang ditempuh untuk melindungi anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 disebut sebagai hukum pidana anak yang khusus mengatur tentang peradilan anak yang didalamnya termasuk juga fenomena yuridis serta keutamaan legalitas dalam menangani delikuensi anak atau anak sebagai korban (victima) dari kejahatan dan atau pelanggaran pidana. Ketentuan dasar hukum acara pidana anak dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, meliputi asas-asas sebagai berikut :
1.      Asas Belum Dewasa
Asas belum dewasa menjadi syarat ketentuan untuk menentukan seseorang dapat diproses dalam peradilan anak. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 4. Asas belum dewasa membentuk kewenangan untuk menentukan batas usia bagi seseorang yang disebut sebagai anak yang dapat melahirkan hak dan kewajiban.
2.      Asas Keleluasaan Pemeriksaan
Ketentuan dan keleluasaan pemeriksaan dimaksud yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi penyidik, penuntut umum, hakim maupun petugas lembaga pemasyarakatan dan atau petugas probation / social worker untuk melakukan tindakan-tindakan atau upaya berjalannya penegak hak-hak asasi anak, mempermudah sistem peradilan dan lain-lain. Asas keleluasaan pemeriksaan diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 59. Tujuan utama adalah meletakkan kemudahan dalam sistem peradilan anak, yang diakibatkan ketidakmampuan rasional, fisik/jasmani & rohani atau keterbelakangan pemahaman hukum yang didapat secara kodrat dalam diri anak.
3.      Asas Probation / Pembimbing Kemasyarakatan / Social Worker
Kedudukan probation atau social worker yang diterjemahkan dengan arti pekerja sosial diatur dalam Pasal 33 ketentuan asas ini lebih diutamakan kepada sistem penerjemahan ketidakmampuan seorang anak menjadi lebih transparan dalam sebuah proses peradilan anak.

Peradilan pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak. Dan sistemnya juga berbeda dengan pemeriksaan pada pelaku tindak pidana dewasa. Soedarto mengatakan bahwa peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak.[4]
Penjatuhan pidana kepada anak-anak berbeda dengan penjatuhan pidana kepada orang dewasa. Anak-anak diberikan pemidanaan yang seringan mungkin dan setengah dari penjatuhan pidana pelaku tindak pidana dewasa. Dalam konteks Hukum Pidana ada 2 (dua) macam ancaman pidana maksimum, yakni ancaman pidana maksimum umum dan ancaman pidana maksimum khusus. Maksimum umum disebut dalam Pasal 12 ayat (2) KUHP, yakni pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 tahun berturut-turut. Jadi pidana maksimum umum adalah maksimum lamanya pidana bagi semua perbuatan pidana. Adapun maksimum lamanya pidana bagi tiap-tiap perbuatan pidana adalah maksimum khusus.
Bagi anak yang melanggar hukum sanksi pidananya harus lebih bersifat mendidik dan membina anak kearah kehidupan yang lebih baik, agar menjadi anggota masyarakat yang patuh kepada hukum. Oleh karena itu sifat sanksi atau tindakan bagi anak harus berbeda dengan sifat sanksi pidana bagi orang dewasa. Ada beberapa jenis-jenis pidana yang tidak dapat dijatuhkan kepada anak yang belum dewasa, antara lain:
a.       Pidana mati;
b.      Pidana penjara seumur hidup;
c.       Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu;
d.      Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim.
Dua hal yang patut diperhatikan dalam masalah penangkapan Anak Nakal adalah kapan dan bilamana penangkapan tersebut dimungkinkan menurut Undang-undang, yaitu :
a.         Dalam hal tertangkap tangan
b.        Dalam hal bukan tertangkap tangan

Pada Bab II Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dijelaskan mengenai sistem pembinaan di pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas :
a.    Pengayoman
b.    Persamaan perlakuan dan pelayanan
c.    Pendidikan
d.   Pembimbingan
e.    Penghormatan harkat dan martabat manusia
f.     Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g.    Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.

Kriteria anak didik pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat (8) dibagi menjadi 3 (tiga) :
1.    Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
2.    Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
3.    Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 60 ayat (1) menyebutkan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Hal ini menjadi bukti bahwa keberadaan anak-anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan haruslah benar-benar terpisah dari orang dewasa dikarena kondisi dari psikologis anak tersebut yang belum matang. Oleh sebab itu dikhawatirkan bahwa bercampurnya tahanan anak dengan orang dewasa memberi pengaruh buruk bagi perbaikan tingkah laku si anak.
Didalam Undang-undang Pengadilan Anak masalah ketentuan bantuan hukum bagi anak diatur dalam Pasal 51 dan 52 (Bab Acara Pidana Anak), sebagai berikut :
Pasal 51 :
(1)   Setiap anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan undang-undang ini.
(2)   Pejabat yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka dan orang tua, wali atau orang tua asuh mengenai hak untuk memperoleh bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)   Setiap anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.

Pasal 52 :
Dalam memberikan bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1, penasihat hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan lancar.

Namun Sistem Pemidanaan Di Indonesia pada saat ini bagi anak sebagai pelaku tindak pidana pelaksanaannya lebih kepada memasukkan mereka kedalam Lembaga Pemasyarakatan Anak daripada mengembalikan mereka kepada orang tua / wali, ataupun kepada lembaga – lembaga sosial lainnya yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Praktek penanganan anak pelaku dilinkuen berlandaskan pada UU No 3 tahun 1997 ternyata cenderung bersifat punitif, anak-anak pelaku delinkuen cenderung pembinaan LAPAS untuk anak-anak tetapi dicampur dengan LP untuk orang dewasa.[5]
Hakim sebagai institusi terakhir yang paling menentukan atas nasib anak lebih suka “menghukum” dengan menempatkan anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan daripada memberikan putusan alternatif. Padahal memasukkan anak kedalam Lembaga Pemasyarakatan tidak menjadi satu-satunya jalan terbaik bagi perbaikan moral dan tingkah laku anak.
Rumah tahanan Negara sebagai tempat penahanan sebelum putusan pengadilan ditetapkan, seringkali menempatkan anak bercampur bersama para tahanan dewasa. Pasal 45 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi. Jumlah rumah tahanan khusus anak di Indonesia masih belum memenuhi. Biasanya pada prakteknya strategi yang ditempuh untuk melindungi anak-anak yang terpaksa ditempatkan di rumah tahanan dewasa ialah dengan menempatkan mereka didalam ruangan tersendiri dan terpisah dari tahanan dewasa. Hal ini untuk menghindari akibat negatif karena dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalaman jelek kepada anak sehingga dapat mempengaruhi perkembangan mentalnya. Namun karena keterbatasan yang ada sering terjadi kekurangan ruangan yang diperuntukkan bagi anak, yang akhirnya mengakibatkan anak – anak terpaksa ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang diperuntukkan bagi orang dewasa, tetapi tetap dilakukan pemisahan berdasarkan jenis kelamin.
Penjatuhan pidana atau tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Hal ini untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya merugikan bagi anak, sehingga perlu diperhatikan dasar etis bagi pemidanaan yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan. Pidana harus bersifat edukatif, konstruktif, tidak destruktif dan harus memenuhi kepentingan anak yang bersangkutan. Pemberian hukuman yang bersifat edukatif kepada anak, dengan cara memberikan hukuman kepada mereka untuk mengikuti bimbingan moral dan akhlak yang dilakukan oleh lembaga – lembaga keagamaan, pendidikan ataupun latihan kerja masih minim diterapkan oleh hakim pada saat ini. Sebagai contoh kasus pencurian (kasus Irwan Syahputra Pakpahan) hakim memutuskan anak tersebut ditempatkan di penjara. Hal ini menunjukkan bahwa Kepolisian, Jaksa dan Hakim tidak memberikan peluang diberikannya alternatif penghukuman bebas bersyarat sebagaimana diatur dalam The Beijing Rules Butir 28.
Sistem peradilan menjadi suatu keadaan yang menakutkan bagi anak, penyebabnya adalah proses peradilan merupakan proses yang tidak dikenal dan tidak biasa bagi anak, alasan seorang anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas, sistem peradilannya pun dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak berorientasi pada kepentingan anak dan kurang ramah terhadap anak sehingga proses peradilan menimbulkan stress dan trauma pada anak.
Pemberlakuan Undang-Undang Pengadilan Anak pada setiap perkara anak sekarang telah dilengkapi dengan penelitian Kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh petugas Balai Pemasyarakatan (Bapas) tentang kondisi anak dan lingkungannya serta latar belakang yang menjadi penyebab terjadinya tindak kejahatan. Adanya laporan dari petugas bapas diharapkan dapat menjadi masukan bagi hakim untuk mengambil keputusan terbaik bagi anak sehingga tidak merugikan untuk perkembangan mental anak.
Anak harus dididik untuk dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, terlebih lagi jika perbuatan itu menyangkut perbuatan atas tindakannya dalam hal melanggar hukum. Untuk menjadikan seorang anak dapat bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan dibutuhkan seperangkat hukum yang mengatur tentang sistem, status dan proses untuk menjadikan anak dimaksud disebut sebagai subjek hukum yang mampu dan atau mendapatkan ketetapan hukuman yang diberikan oleh hakim pengadilan dengan ketentuan khusus.
Dampak buruk yang sering diderita anak yang berkonflik dengan hukum ketika mereka menjalani proses hukum pada semua tingkatan menimbulkan dampak buruk bagi anak. Dampak tersebut dapat melekat dalam dan tinggal lama sebagai cedera mental dan moral, sehingga hal tersebut bertentangan dengan tujuan utama pemidanaan anak sebagai sarana rehabilitasi dan koreksi.


III.        Penutup
Anak yang berkonflik dengan hukum dalam posisi anak sebagai pelaku tindak pidana selain membutuhkan perlindungan dan keamanan diri juga memerlukan proteksi berupa regulasi khusus yang menjamin kepentingan anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 pada dasarnya memberikan stigma terhadap anak. Pen ”cap” an atau pelabelan terhadap anak bahwa ia sebagai pelaku tindak pidana memberikan efek yang besar bagi pertumbuhan psikologis anak. Selain itu ketentuan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak lebih menekankan pada segi straf atau penghukuman, walaupun dijelaskan juga bahwa anak dapat dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, dan juga departemen sosial. Namun dalam pelaksanaannya dilapangan para aparat penegak hukum lebih mengedepankan penjatuhan pidana penjara daripada sanksi yang dapat memperbaiki moral dari anak. Pengetahuan aparat penegak hukum khususnya di Indonesia tentang penanganan kasus anak memang masih kurang. Aturan yang diterapkan juga hampir sama perlakuannya dengan penerapan aturan bagi terpidana dewasa. Pertimbangan psikologis dan kepentingan si anak menjadi nomor dua.. Aturan yang berlakupun bukan aturan yang dikhususkan bagi anak melainkan bagi dewasa, sehingga anak tidak menjadi lebih baik perbuatannya namun sebagian besar malah membuat anak semakin pintar dalam berbuat kejahatan karena mereka mendapat ilmu baru tentang kejahatan dari para pelaku tindak pidana dewasa.




[1] Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, Restu Agung, Jakarta, 2007, Hal.5.
[2] Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, Hal.2
[3] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung 2005, Hal. 6.
[4] Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu , Tinjauan Tentang Peradilan Anak Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, Hal. 14
[5] Paulus Hadisuprapto,Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang, Diponegoro University Press, Semarang, 2006

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in