I.
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar
telah terjadi peristiwa pidana. Penyelidikan penyidikan terlebih dahulu harus
dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi,
dan alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan
hokum atau peraturan hukum pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana.
Apabila pengumpulan alat bukti dalam peristiwa pidana itu telah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu, maka pemenuhan unsur dalam peristiwa pidana
itu telah siap untuk diproses.
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di
Indonesia, proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh 3 (tiga)
instansi/lembaga yaitu, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi
Pemberantas Korupsi. Ketiga instansi/lembaga tersebut memiliki kewenangan
masing-masing dalam proses penanganan perkara tindak pidana korupsi di
Indonesia. Selain itu ketiga instansi/lembaga tersebut memegang peran sebagai
aparat penegak hukum didalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi di
Indonesia.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya
untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu
dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam
arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan
sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan
bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan
tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Dewasa ini adanya ketiga instansi/lembaga yaitu
Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, seharusnya
penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan baik.
Akan tetapi belum adanya keintegralan dan keselarasan ide-ide, gagasan-gagasan,
nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang menjadi landasan kode etik profesi,
menyebabkan tidak maksimalnya hasil penyidikan tipikor.[1]
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka
penulis tertarik untuk mengambil judul “Kewenangan Penyelidikan dan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar
belakang masalah diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah
kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia !
C.
Tinjauan
Pustaka
Penyelidikan dan
penyidikan merupakan serangkaian proses awal didalam peradilan pidana di
Indonesia. Pemenuhan unsur dalam peraturan perundang-undangan itu hanyalah
upaya minimal, dalam taraf akan masuk keperistiwa hukum
sesungguhnya.pemenuhunan unsur tersebut antara lain dengan telah tercukupinya
keadaaan-keadaaan atau prasyarat yang dibutuhkan bukan saja karena sekadar
untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ketentuan peraturan
hukum saja, melainkan harus betul-betul mememnuhi kebutuhan hukum itu.
Kebutuhan dan/atau ketentuan hukum itu antara lain sebagai berikut:[2]
·
Adanya
peristiwa tertentu;
·
Adanya
waktu yang jelas yang dapat dipahami oleh akal manusia;
·
Adanya
peristiwa tertentu yang bertentangan dengan hukum dan dengan ketentuan
peraturan pidana yang berlaku;
·
Adanya
kejadian atau peristiwa tertentu;
·
Adanya
penyebab atau unsur kerugian, akibat peristiwa pidana tertentu;
·
Adanya
kerugian yang nyata akibat dari perilaku pihak lain;
·
Adanya
ketentuan-ketentuan peraturan tertentu yang dilanggar;
·
Adanya
reaksi penolakan terhadap keadaan itu oleh komunitas tertentu;
·
Adanya
kepentingan-kepentingan hukum yang dilanggar yang harus ditegakkan;
·
Adanya
bukti pelanggaran hukum yang relevan dengan peristiwa yang terjadi yang bukan
palsu;
·
Adanya
yurudiksi hukum yang jelas dalam pengertian wilayah hukum yang berwenang
menanganinya;
·
Adanya
lembaga hukum yang diberi wewenang untuk menangani peristiwa pelanggaran hukum
tersebut;
·
Adanya
bukti ketidak adilan yang diderita oleh pihak tertentu.
Penyelidikan menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:[3]
“Penyelidikan
adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Sehingga menurut
ketentuan pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana di atas,
penyelidikan adalah tindakan atas nama hukum untuk melakukan penelitian, apakah
perkara tersebut benar-benar merupakan peristiwa pelanggaran terhadap hukum
pidana atau bukan merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1. Menerima
laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. Mencari
keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh
berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta meminta tanda pengenal
diri;
4. Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Selain
itu, atas “perintah” penyidik
dapat melakukan tindakan berupa:
1.
Penangkapan,
larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2.
Pemeriksaan
dan penyitaan surat;
3.
Mengambil
sidik jari dan memotret seorang;
4.
Membawa
dan menghadapkan seorang pada penyidik.
Dalam
kewenangannya berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Penyilidik dan Penyidik
sebagai aparat penegak hukum guna menjalankan penegakan hukum pidana terdapat
mekanisnme dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana. Berikut
mekanisme dalam penerapan hukum tindak pidana pada umumnya:
Pengaduan
|
Penerapan pasal
|
Laporan Hasil
Penyelidikan
|
Korban memberikan keterangan
|
Bukti-bukti
|
Benar/salah
|
LIDIK
|
Selidik
|
SP2HP
|
Penjelasan:[4]
1. Adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat bahwa
telah terjadi tindak pidana.
2. Pelapor dipanggil untuk memberikan keterangan, dalam hal ini
penyelidik menganalisa apakah betul merupakan tindak pidana atau bukan tindak
pidana.
3. Jika benar maka penyelidikan dilanjutkan dan jika
salah penyelidikan dihentikan.
4. Jika benar merupakan tindak pidana maka penyelidik melakukan
pengumpulan bukti-bukti tindak pidana.
5. Setelah penyelidik selesai malakukan LIDIK, kemudian
laporan hasil penyelidikan.
6. Kemudian setelah penyampaian laporan hasil
penyelidikan dikeluarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil
Penyelidikan).
7. Setelah dikeluarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan
Perkembangan Hasil Penyelidikan) penyidik mulai menerapkan pasal terhadap
tindak pidana yang dilaporkan atau diadukan.
8. Langkah selanjutnya setelah penerapan pasal dilanjtkan
dengan selidik guna mendalam tindak pidana yang terjadi.
Pasal 1 angka 2 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan tentang Penyidikan, yang berbunyi
sebagai berikut:[5]
“Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam ketentuan sebagaimana
diatur didalam Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatas, menjelaskan
bahwa yang dimaksud penyidikan adalah setiap tindakan penyidik untuk mencari
bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan
pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar telah
terjadi. Pengumpulan bahan keterangan mendukung keyakinan bahwa perbuatan
pidana telah terjadi, harus dilakukan dengan cara mempertimbangkan dengan
seksama makna dari kemauan hukum yang sesungguhnya, dengan parameter apakah
perbuatan atau peristiwa pidana itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup
pada komunitas yang ada dimasyarakat setempat.[6]
Pasal 7 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa penyidik karena kewajibannya
mempunyai wewenang:
a.
Menerima
laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b.
Melakukan
tindakan pertama saat ditempat kejadian.
c.
Menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d.
Melakukan
penagkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e.
Melakukan
pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.
Mengambil
sidik jari dan memotret seorang.
g.
Memanggil
orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h.
Mendatangkan
orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.
Mengadakan
penghentian penyidikan.
j.
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pelaksanaan tugas
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh 3
(tiga) instansi dan/atau lembaga yaitu: Kepolisian Republik Indonesia,
Kejaksaan dan Komisi pemberantasan Korupsi.
Kepolisian Republik Indonesia
Sejak tanggal 1 April 1999, secara
struktural Polisi sudah terlepas dari bagian ABRI, maka paradigma Kepolisian
memakai paradigma model pendekatan sipil, sehingga tugas dan wewenang
Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 19 Undang-Undang No 2
Tahun 2002.
Menurut Satjipto Raharjo polisi
merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
memberikan pengayoman, dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan
bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya
melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut
sebagai penegakan ketertiban.[7]
Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999
sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara
arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang
profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan
nasional kearah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan
sejahtera. Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan
perubahan-perubahan melalui tiga aspek yaitu:[8]
·
Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan
Kepolisian dalam Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
·
Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan
tujuan), Doktrin, kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
·
Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek
struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas
pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial,
sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem
anggaran, sistem operasional.
Masyarakat Indonesia semakin hari semakin mendambakan tegaknya hukum yang berwibawa, memenuhi rasa
keadilan dan ketentraman. Tanpa perasaan tentram dan adil maka hasil-hasil pembangunan negara
yang menyangkut berbagai permasalahan akan menghadapi hambatan untuk mencapai
kemajuan yang maksimal, kehidupan lahiriah dan kekayaan yang melimpah sekalipun tidak akan
mampu memberikan kebahagiaan yang utuh dan tanpa perasaan tentram dan adil maka semangat pembangunan
negara juga akan terhambat. Oleh
karena
itu, untuk menegakkan hukum dan menjaga ketentraman masyarakat diperlukan suatu lembaga, yaitu lembaga
kepolisian.[9]
Charles Reith[10] memberikan pengertian polisi
sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaik atau menertibkan sususan kehidupan
masyarakat. Pengertian tersebut
berpangkal dari pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup
berkelompok dengan aturan yang disepakati bersama.
Menurut Warsito Hadi Utomo, bahwa istilah Polisi mengandung 4 (empat)
pengertian yaitu:[11]
1.
Sebagai tugas;
2.
Sebagai organ;
3.
Sebagai pejabat petugasnya;
4.
Sebagai Ilmu Pengetahuan Kepolisian
Polisi sebagai tugas diartikan
sebagai tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai organ
berarti badan atau wadah yang bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan
ketertiban. Sebagai petugas dalam arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat itu, sedangkan sebagai ilmu pengetahuan
kepolisian dalam arti ilmu yang mempelajari segala hal ikhwahal Kepolisian.
Kejaksaan Republik Indonesia
Pengertian
Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat 6 a dan ayat 6b KUHAP, sebagai
berikut:
a)
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap);
b)
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Rumusan
pada Pasal 1 ayat 6a ini mengenai “Jaksa” diperluas dalam Undang-Undang No.16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat 1 bagian
ketentuan umum sebagai berikut:
a)
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
b)
Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c)
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan.
d)
Jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan
tugas kejaksaan.
Dari
pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa berkolerasi dengan
aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan pengertian “penuntut umum”
berkolerasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hukum hakim di depan persindangan.
Sedangkan
yang dimaksud Kejaksaan menurut Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan R.I. dalam Pasal 2 memberikan pengertian:
a)
Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini
disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
b)
Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara
merdeka.
c)
Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.
Komisi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi bahwa:[12]
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan manapun.”
Terbentuknya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia memiliki tujuan untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Yang dimaksud pemberantasan
korupsi adalah sebagai berikut:[13]
“Pemberantasan
tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi,
supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
KPK telah disepakati oleh pemerintah dan DPR
RI sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata
pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga
pembentukan KPK sebagai lembaga trigger mechanism. Terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian
karena ketika itu kepercayaan terhadap kedua institusi tersebut telah mengalami
penurunan.
Kedudukan lembaga KPK sebagai lembaga Negara
yang tujuannya pembentukkannya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas
dan kewenangannya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebut “korupsi”
(dari bahasa Latin :corruption=penyuapan; corruptor=merusak)
gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan lainnya . Adapun arti
harfiah dari korupsi dapat berupa:
a)
Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan
ketidakjujuran;
b)
Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya;
c)
Korup” (busuk, suka menerima uang suap/uang sogok, memakai kekuasaan untuk
kepentingan sendiri dan sebagainya);
d)
Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok,
dan sebagainya);
e)
Koruptor (orang yang korupsi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam
kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah “perbuatan curang; tindak
pidana yang merugikan keuangan negara”.
Komplesitas dari korupsi bisa dilihat dari
pengertian korupsi itu sendiri. Menurut Bambang Purnomo korupsi adalah:[14]
a. Memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung atau diketahui patut
disangkan dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan wewenang karena jabatan atau
kedudukannya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara
atau perekonomian Negara.
c. Kejahatan tertentu dalam KUHP yang
menyangkut kekuasaan umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau pemerasaan
yang berhubungan dengan jabatan.
d. Memberikan hadiah atau janji kepada
pegawai negeri dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya.
e. Tidak melapor setelah menerima pemberian
atau janji kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa
alas an yang wajar sehubungan dengan kejahatan jabatan.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M.
Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang
ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Menurut Max Weber Korupsi adalah “tingkah
laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena
keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga
dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa
tingkah laku pribadi”.
Selanjutnya, menurut Transparency
International korupsi adalah “perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan
kepercayaan publik untuk keuntungan pibadi”. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan tentang pengertian tindak
pidana korupsi sebagai berikut: [15]
“Setiap orang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Berdasarkan rumusan tersebut, maka yang
dimaksud dengan tindak pidana korupsi yaitu setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
II.
Pembahasan
Kewenangan Penyelidikan dan
Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Penyelidikan
dan Penyidikan
merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan
hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat sehingga
proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang
mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas
dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas bagi
para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa
proses penyidikan akan bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia
(tersangka) maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak boleh dikesampingkan Beberapa asas penting yang berlaku dalam proses
penyidikan ini adalah:
1.
Asas Legalitas
Asas ini disebut dalam konsideran KUHAP huruf
a, yang berbunyi :
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM serta yang menjamin segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Menurut Yahya Harahap[16]
Ketentuan dalam konsideran tersebut menunjukan bahwa KUHAP menganut asas
legalitas karena meletakkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas
kepentingan-kepentingan yang lain sehingga menciptakan bangsa yang takluk di
bawah “supermasi hukum”, yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang dan
perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Dalam tahap penyidikan, penyidik tidak boleh
memberikan perlakuan yang diskriminatif pada tersangka. Penyidik juga tetap
harus memberikan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap seorang
tersangka. Seperti hak untuk mendapat bantuan hukum, hak mendapat kunjungan
rohaniawan, hak untuk mendapat perawatan kesehatan yang memadai dan sebagainya.
2.
Asas Praduga Tak Bersalah
Asas
ini disebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 4
tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, yang
berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum tetap”.
Asas pra duga tak bersalah menjadi salah satu
bukti penghargaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka/terdakwa yang
semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.[17]
Dalam tahap penyidikan asas ini sangat
konkrit pelaksanaannya,. cara-cara penyidikan yang dilakukan dengan menggunakan
kekerasan sudah tidak sesuai lagi, karena pengakuan terdakwa bukan lagi menjadi
alat bukti, sebagaimana pada masa HIR dimana pengakuan terdakwa merupakan salah
satu jenis alat bukti.
3. Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Asas-asas
ini memberikan pedoman dan garis batas bagi para penegak hukum didalam
melaksanakan tugasnya pada setiap tahap pemeriksaan. Penjabaran dari asas-asas
ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan, penyidikan,
penuntutan hingga proses persidangan hingga berkekuatan hukum tetap. Selain itu
ditentukan juga secara tegas batas waktu penahanan tersangka maupun terdakwa.
Asas
ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut
dalam kedudukan sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga walaupun dalam kondisi
dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan , orang tersebut
tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya
memiliki batas waktu yang terukur dan dijamin undang-undang.
4. Asas Difernsiasi Fungsional
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jelas telah mengatur pembagian tugas
dan wewenang antar aparat penegak hukum. Mulai dari tahap permulaan penyidikan
oleh kepolisian, penuntutan, persidangan hingga eksekusi dan pengawasan
pengamatan eksekusi. Dari tahap pertama hingga tahap akhir tersebut selalu
terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan dan terjadi pula fungsi pengawasan
antar satu lembaga penegak hukum dengan lembaga hukum lainnya.
Menurut
Yahya Harahap[18]
asas differnsiasi fungsional secara institusional mempunyai maksud
untuk:
1. Melenyapkan
tindakan proses penyidikan yang “saling tumpang tindih” (overlapping) antara kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak
lagi terulang proses penyidikan yang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan.
2. Menjamin
adanya “kepastian Hukum” dalam proses penyidikan. Dengan differnsiasi ini, setiap orang sudah
tahu dengan pasti bahwa instansinya yang berwenang memeriksanya pada tingkat
penyidikan hanyalah “kepolisian”. Sehingga seorang tersangka sudah tahu dan
dapat mempersiapakan diri pada setiap tingkat pemeriksaan yang dihadapinya.
3. Ditujukan
untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara. Jadi
berarti, mengefektifkan tugas-tugas penegakan hukum kearah yang lebih menunjang
prinsip peradilan yang cepar, tepat dan biaya ringan.
4. Differnsiasi fungsional akan
memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural. Karena dengan penjernihan
dan pembagian tugas dan wewenang tersebut, monitoring pengawasan sudah dapat
ditujukan secara terarah pada instnasi bawahan yang memikul tugas penyidikan.
Hal ini juga akan sekaligus memudahkan perletakan tanggungjawab yang lebih
efektif. Karena dengan differnsiasi ,
aparat penyidik tidak lagi dapat melemparkan tanggungjawab penyidikan kepada
instansi lain. Melulu sudah bulat dan penuh menjadi tanggung jawabnya. Setiap
kekeliruan dan kesalahan yang terjadi sepenuhnya menjadi beban yang harus
dipikulnya seorang diri. Tidak lagi dapat mencampurbaurkan menjadi beban
tanggungjawab instansi lain.
5.
Dengan asas ini sudah dapat dipastikan
terciptanya keseragaman dan satunya hasil berita acara pemeriksaan. Yakni hanya
berita acara yang dibuat oleh pihak kepolisian. Tidak akan dijumpai lagi adanya
dua macam hasil berita acara penyidikan yang saling bertentangan antara yang
satu dengan lain dalam berkas perkara.
5. Asas Saling Kordinasi
Asas
koordinasi dianut oleh KUHAP berkaitan erat dengan asas differensiasi
fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun terjadi pembagian
kewenangan yang tegas diantara masing-masing instansi penegak hukum disatu
sisi, disisi lain tetap ada hubungan koordinasi diantara instansi tersebut
dalam rangka jalannya proses penegakan hukum itu sendiri.
Menurut
Yahya Harahap[19]
dalam rangka untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyelahgunaan
wewenang, KUHAP telah mengatur “sistem cekking” diantara penegak hukum. Hal ini
dilakukan dengan mengingat setiap kelambatan dan kekeliruan yang terjadi pada
salah satu bagian instansi penegak hukum akan berimbas kepada instansi berikutnya,
yang akan berakibat harus memikul tanggungjawab di hadapan sidang pra
peradilan.
6. Asas Persamaan di muka hukum
Asas
ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai Negara yang
berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam pelaksanaan
penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh
dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi
tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan.
Ketentuan-ketentuan
di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasalpun yang
mengarah pada pemberian hak-hak istimewa
pada suatu kelompok dan memberikan ketidak istimewaan pada kelompok lain.
Semangat
menjunjung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin memperkokoh
kedudukan asas ini. Sehingga mulai dari ditangkapanya seseorang hingga akhir
menjalani proses penegakan hukum orang tersebut mendapat perlindungan yang
memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitative yang secara
terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut dapat dilakukan pra peradilan.
7.
Asas akusator dan inkusitor
Dalam
proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak diperkenankan untuk
melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada tersangka disamping itu KUHAP juga
tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti.
Perlakuan yang digariskan oleh KUHAP yang demikian menunjukkan bahwa KUHAP
menganut asas akusatoir, yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek
pemeriksaan.
Pada
asas inquisitoir, kedudukan tersangka/terdakwa merupkan obyek pemeriksaan
sehingga pengakuan tersangka/terdakwa menjadi hal yang sangat penting untuk
diperoleh penegak hukum. Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak
menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang
harus diperiksa.
Para
petugas pemeriksa akan mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui
kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan penganiayaan. Pada
asas inquisitoir, pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa
pemeriksaan pidana khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia
sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum boleh mengetahui atau
mendampingi si tersangka. Tersangkapun tidak memiliki hak untuk menemui
penasihat hukumnya.
Pada
asas akusatoir, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/terdakwa bukan
berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka/terdakwa tidak
menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan
seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap
akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.
Dalam rangka pemberantasan korupsi di
Indonesia terdapat 3 (tiga) lembaga dan/atau instansi yaitu Kepolisian Republik
Indonesia, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga tersebut
sebagai perwujudan keseriusa pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan
dilihat sebagai suatau bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat
usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu,
tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan
terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma social lainya.[20]
Dalam perspektif hukum pidana, tindak
pidana korupsi tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya, baik
terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan Negara. Kerugian keuangan
Negara dan perekonomian Negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar
pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku
koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan tetapi, hilangnya
kepercyaan masyarakat terhadap pemerintah suatu Negara justru merupakan akibat
yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekadar kerugian dari
sudut keuangan dan ekonomi semata.[21]
Kepolisian Republik Indonesia
Pada dasarnya ruang lingkup tugas dan
fungsi Kepolisian selain diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana juga diatur dalam dalam undang-undang
No.2 Tahun 2002 tentang Koplisian Negara republic Indonesia. Dalam rangka pemberantasan
tindak pidana korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden No.5 Tahun 2004
tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan (Kepala) Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk:[22]
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelematkan uang negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan
wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka
penegakan hukum;
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi
Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Berdasarkan
Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tugas pokok kepolisian negara dapat
dirinci sebagai berikut:
a.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
b.
Dalam bidang hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan
peraturan negara lainnya;
c.
Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
d.
Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu
peraturan negara.
Tugas
kepolisian yang langsung berhubungan dengan masalah penyidikan diatur dalam
ketentuan Pasal 13 UU No 13 Tahun 1961, yaitu terdiri dari:
1.
Menerima Pengaduan
2.
Memeriksa tanda pengenal
3.
Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4.
Menangkap orang
5.
Menggeledah badan
6.
Menahan orang sementara
7.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
8.
Mendatangkan ahli
9.
Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara
10.
Membeslah barang untuk dijadikan bukti dan
11.
Mengambil tindakan-tindakan lain.
Kewenangan
yang dimiliki kepolisian dalam menjalankan tugas penyidikan disamping ketentuan
pasal tersebut diatas juga berdasar pada ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku pada saat itu yaitu HIR atau RBG. Pada ketentuan tersebut status
kepolisian dalam kewenangan penyidikan adalah sebagai pembantu jaksa.
Kedudukan
ini berlangsung hingga 36 tahun, selanjutnya pada tahun 1997 lahir
undang-undang baru yang mengatur tentang kepolisian yaitu Undang-undang Nomor
28 Tahun 1997, walaupun pada saat itu lembaga Polri masih berada dalam satu
wadah ABRI namun kedudukannya secara lebih nyata tergambar dengan jelas dalam
undang-undang baru ini. Dalam undang-undang ini wewenang Polri dalam rangka
proses pidana diatur dalam Pasal 16, terdiri atas:
1.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
2.
melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan
penyidikan,
3.
membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
4.
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
5.
Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
7.
Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
8.
Mengadakan penghentian penyidikan;
9.
Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10.
Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan
mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
11.
Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan
kepada penuntut umum;
12.
Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
Legitimasi
kemandirian lembaga kepolisian yang terlepas dari bagian Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia lahir pada tahun 2002 sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.Undang-undang ini
memiliki tujuan untuk menghilangkan watak militerisme polisi yang selama ini
telah melekat dan dominan.
Dalam
melaksanakan fungsi penegakan hukum pada umumnya dan proses pidana pada
khususnya maka kepolisian berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut
mempunyai wewenang yang terdiri atas:
1.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
2.
Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan
penyidikan.
3.
Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
4.
Menyuruh berhenti berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
5.
Melakukan pemeriksaansurat;
6.
Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7.
Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
8.
Mengadakan penghentian penyidikan;
9.
Menyerahkan berkas perkara kepada penutut umum;
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada
pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan
kepada penyidik PNS untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12. Mengajukan permintaan secara langsung kepada
pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal
terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
13. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan
kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
14. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat
penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan
berakibat salahnya semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar bagi pembuatan
surat dakwaan, tuntutan hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang
memang terbukti bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan
sebaliknya memperoleh kebebasanya.
Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana
korupsi, Lembaga kepolisian memiliki tanggungjawab yang sama. Ketentuan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
mengatur perihal penyidikan dalam Ketentuan Bab IV Tentang Penyidikan,
Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pada ketentuan Pasal 26
undang-undang ini diatur hal sebagai berikut :
“ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan
peralihan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan :
“ (2). Dalam waktu dua tahun setelah
undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku “.
Selanjutnya ketentuan Pasal 17 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP menentukan :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara
pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan pejabat
penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Pada ketentuan Pasal 18 ayat (3)
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih
dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan :
“Apabila dalam hasil petunjuk adanya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku untuk menindaklanjuti”.
Pada
bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan :
“. . . yang dimaksud dengan instansi yang
berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan
Kepolisian”.
Selain
kewenangan sebagaimana diatur dalam KUHAP diatas kepolisian juga mempunyai
tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan perundangan lain
yang tersebar, salah satunya adalah sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tetap dimiliki oleh
penyidik kepolisian sekalipun dua lembaga penyidik lain yaitu penyidik Kejaksaan
dan penyidik KPK juga mempunyai kewenangan yang sama. Dalam ketentuan Pasal 11
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
b. mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.
Dari
ketentuan Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi yang bisa dilakukan oleh lembaga penyidik
kepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya dibawah satu
milyar rupiah, tidak mendapat perhatian dari masyarakat/meresahkan masyarakat
serta tindak pidana korupsi tersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum
dan penyelanggara Negara.
Dalam
ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 ayat (1)
huruf g, kembali ditegaskan tentang kewenangan penyidikan dapat dilakukan oleh
penyidik kepolisian yaitu bahwa kepolisian RI bertugas melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana
dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penjelasan Atas UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) huruf g disebutkan sebagai
berikut :
“ Ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana
memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan
dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal
tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh
penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing”.
Ketentuan
tentang kewenangan melakukan penyidikan yang dimiliki oleh penyidik Polri
tersebut memberikan ketegasan bahwa sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 kedudukan
penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama
melakukan penyidik dan terhadap semua tindak pidana, namun demikian
undang-undang tersebut tetap memberikan pembatasan bahwa hal tersebut tetap
harus memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan
sebagai sebuah lembaga yang berwenang sebagai penuntut umum dan penyidik dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana materil dan UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta Undang -Undang
No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil,
mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian dan pemberantasan kasus
tindak pidana ini.
Dalam
penanganan tindak pidana korupsi Jaksa dapat berperan sebagai penyidik dan juga
sebagai penuntut umum, maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi secara penal sangat dominan, secara penal artinya pemberantasan tindak
pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain
penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu
digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi. Keahlian
yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman
dan pengertian serta penguasaan peraturan perundang-undangan dan juga terhadap
perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat
berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak
pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak
pidana korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan
punya jabatan yang sering dikenal dengan while collar crime atau
kejahatan kerah putih. Peran Jaksa yang sangat penting dalam penanganan kasus
tindak pidana korupsi diperkuat oleh rumusan Pasal 27 UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
“Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi
Jaksa Agung. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah
Kejaksaan Agung”.
Sebagai
landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan
penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada
Undang-Undang No.31Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, serta UU No.16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di
dalam undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Pada Pasal 1 tentang ketentuan umum Kejaksaan hanya diberi wewenang sebagai
penuntut umum namun, dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP terdapat pengecualian.
Pasal 284 Ayat (2) menegaskan bahwa :
“Dalam
waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk
sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku
lagi”.
Selanjutnya
dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada
Pasal 30 menegaskan bahwa:
a.
Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1)
melakukan penuntutan;
2)
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;
3)
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan
pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4)
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5)
melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b.
Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama
negara atau pemerintah.
c.
Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
1)
peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2)
pengawasan kebijakan penegakan hukum;
3)
pengawasan peredaran barang cetakan;
4)
pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara;
5)
pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6)
penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal.
Kejaksaan juga diberi wewenang sebagai
penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang
No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum
acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Dalam ketentuan undang-undang kejaksaan
sebagaimana diuraikan di atas, lembaga kejaksaan tetap memiliki kewenangan
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Kewenangan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dimiliki penyidik kejaksaan
adalah sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polri yaitu terhadap tindak
pidana korupsi yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 11
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yaitu :
1. Melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara Negara.
2. Mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3. Menyangkut
kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).
Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menjadi dasar
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPK diberi amanat untuk
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, dan makmur. sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
KPK
telah disepakati oleh pemerintah dan DPR RI sebagai ujung tombak yang dipandang
ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan
maupun penindakan sehingga pembentukan KPK sebagai lembaga trigger
mechanism74 terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian karena ketika itu
kepercayaan terhadap kedua institusi tersebut telah mengalami penurunan.
Kedudukan
lembaga KPK sebagai lembaga Negara yang tujuannya pembentukkannya untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independent
dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Ketentuan
Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur perhal tugas yang disandang
KPK yaitu:
a.
Melakukan koordinasi dengan instnasi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
b.
Melakukan supervise terhadap instnsi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c.
Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi;
d.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara.
Tugas
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK dibatasi oleh ketentuan Pasal 11
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a. melibatkan
aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara.
b. mendapat
perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.
menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.
Kewenangan
yang dimiliki oleh penyidik KPK dalam melaksanakan tugas penyidikan sangat luas
dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polisi dan penyidik
kejaksaan. Keleluasaan tersebut termasuk keleluasaan fasilitas yang dimiliki
sebagai pendukung kewenangan yang diemban penyidik KPK. Kewenangan tersebut sebagaimana
ditaur dalam ketentuan Pasal 12 yaitu:
a.
Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b.
Memerintahkan kepada instasni yang terkait untuk melarang seseorang
bepergian keluar negeri;
c.
Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangantersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir
rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak
lain yang terkait;
e.
Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan
sementara tersangka dari jabatnnya;
f.
Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada
instnasi yang terkait;
g.
Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsesi
yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga
berdasarkan buku awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi
yang sedang diperiksa;
h.
Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instnasi penegak hukum Negara lain
untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar
negeri;
i.
Meminta bantuan kepolisian atau instnasi lain yang terkait untk melakukan
penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani.
Kewenangan
yang sangat luas sebagaimana ditentukan dalam UU KPK tersebut di atas merupakan
suatu keisitimewaan yang dipercayakan oleh Negara kepada lembaga KPK, karena
KPK telah disepakati oleh pemerintah dan DPR RI sebagai ujung tombak yang
dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui
pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan KPK sebagai lembaga trigger
mechanism.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi ditangani
oleh institusi khusus bernama Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa:[23]
a)
Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi;
b)
Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas dan
wewenang melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketemtuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
III.
Penutup
A. Kesimpulan
Kewenangan penyelidikan
dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 (tiga) lembaga
dan/atau instansi pemerintah yaitu:
1. Kepolisian
Republik Indonesia
2. Kejaksaaan
Republik Indonesia
3. Komisi
Pemberantasan Korupsi
Pelaksanaan proses penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi
oleh ketiga lembaga dan/atau instansi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4
sampai dengan Pasal 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain itu didalam pemeriksaan perkara tindak pidana
korupsi terdapat ketentuan lain yang menentukan kewenangan didalam penyidikan
tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan tersebut bahwa Kepolisian Kejaksaan berwenang memeriksa perkara
tindak pidana korupsi yang merugikan negara dibawah Rp. 1.000.000.000,- (satu
milyar), sedangkan untuk memeriksa perkara korupsi yang merugikan negara diatas
Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar) ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. Saran
Didalam pemeriksaan perkara korupsi dewasa ini antara, Kepolisian, Kejaksaann dan Komisi
Pemberantasan Korupsi seringkali terjadi “misscomunication”, sehingga perlu adanya peningkatan
kerjasama antara Kepolisian, Kejaksaan,dan Komisi Pemberantasan Korupsi baik
secara substantif, struktural, terprogram dan terukur pencapaiannya.
Daftar Pustaka
Ali Mahrus,
2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana
Korupsi, Yogyakarta, UII Press.
Danil
Elwi,
2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan
Pemberantasannya), Jakarta, Raja Grafindo.
Edi
Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Harahap Yahya, 1988. Pembahasan Permasalahan dan
Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini.
Hartono, 2012, Penyidikan dan Penegakan Hukum
Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika.
Nugroho
Hibnu,2012,
Integralisasi
Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, Jakarta, Media Prima Aksara.
Rahardjo Satjipto, 2002, Polisi
Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sitompul dan Edward
Syahperenong, 1985, Hukum Kepolisian Di Indonesia
(Suatu bunga Rampai),Bandung: Tarsito.
Utomo Warsito Hadi, Hukum Kepolisian
di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005.
Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2)
Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)
Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67)
Sumber Internet:
http://ra4kartono.blogspot.com/2011/01/sejarah-terbentuknya-organisasi polri.html diakses 20 Mei 2015 | 23.30 WIB.
[1] Hibnu Nugroho,2012, Integralisasi
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
di Indonesia, Jakarta, Media
Prima Aksara, hlm. 223.
[2] Hartono, 2012, Penyidikan
dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 2.
[4] Singgih Herwibowo, 2014, Dalam
Skripsi ( Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Jaringan
Internet Oleh Polisi (Hasil Wawancara dengan Iptu. Junaidi, S.H. selaku KBO
Reskrim Kepolisian Resor Banyumas pada tanggal 24 Mei 2014.)), Unsoed,
Purwokerto, hlm. 94.
[7] Satjipto Rahardjo, 2002, Polisi
Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
hlm.xxv.
[8] http://ra4kartono.blogspot.com/2011/01/sejarah-terbentuknya-organisasi-polri.html diakses 20 Mei 2015 | 23.30 WIB.
[9]
Sitompul dan Edward Syahperenong, Hukum Kepolisian Di
Indonesia (Suatu bunga Rampai),Bandung: Tarsito, 1985, hal. 24.
[10] Warsito Hadi
Utomo, Hukum
Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2005. Hal 5-6.
[12] Pasal 3 Undang-Undang No 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
[13] Ibid, Pasal 1 angka 3.
[14]
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha
Ilmu, hlm. 70.
[15] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[16] Yahya Harahap,
1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini , hal. 34 .
[18] Ibid, hlm. 49.
[19]
Ibid, hlm. 50.
[20] Elwi Danil, 2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta,
Raja Grafindo, hlm. 70.
[21] Ibid,
hlm. 70.
[22] Mahrus
Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek
Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press, hlm. 217.
[23] Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 69.
Comments
Post a Comment