Skip to main content

Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

I.              Pendahuluan
A.           Latar Belakang Masalah
Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi peristiwa pidana. Penyelidikan penyidikan terlebih dahulu harus dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti yang diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hokum atau peraturan hukum pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana. Apabila pengumpulan alat bukti dalam peristiwa pidana itu telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, maka pemenuhan unsur dalam peristiwa pidana itu telah siap untuk diproses.
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh 3 (tiga) instansi/lembaga yaitu, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantas Korupsi. Ketiga instansi/lembaga tersebut memiliki kewenangan masing-masing dalam proses penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu ketiga instansi/lembaga tersebut memegang peran sebagai aparat penegak hukum didalam upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Dewasa ini adanya ketiga instansi/lembaga yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, seharusnya penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan baik. Akan tetapi belum adanya keintegralan dan keselarasan ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang menjadi landasan kode etik profesi, menyebabkan tidak maksimalnya hasil penyidikan tipikor.[1]
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul “Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”
B.            Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimanakah kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia !

C.           Tinjauan Pustaka
Penyelidikan dan penyidikan merupakan serangkaian proses awal didalam peradilan pidana di Indonesia. Pemenuhan unsur dalam peraturan perundang-undangan itu hanyalah upaya minimal, dalam taraf akan masuk keperistiwa hukum sesungguhnya.pemenuhunan unsur tersebut antara lain dengan telah tercukupinya keadaaan-keadaaan atau prasyarat yang dibutuhkan bukan saja karena sekadar untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ketentuan peraturan hukum saja, melainkan harus betul-betul mememnuhi kebutuhan hukum itu. Kebutuhan dan/atau ketentuan hukum itu antara lain sebagai berikut:[2]
·           Adanya peristiwa tertentu;
·           Adanya waktu yang jelas yang dapat dipahami oleh akal manusia;
·           Adanya peristiwa tertentu yang bertentangan dengan hukum dan dengan ketentuan peraturan pidana yang berlaku;
·           Adanya kejadian atau peristiwa tertentu;
·           Adanya penyebab atau unsur kerugian, akibat peristiwa pidana tertentu;
·           Adanya kerugian yang nyata akibat dari perilaku pihak lain;
·           Adanya ketentuan-ketentuan peraturan tertentu yang dilanggar;
·           Adanya reaksi penolakan terhadap keadaan itu oleh komunitas tertentu;
·           Adanya kepentingan-kepentingan hukum yang dilanggar yang harus ditegakkan;
·           Adanya bukti pelanggaran hukum yang relevan dengan peristiwa yang terjadi yang bukan palsu;
·           Adanya yurudiksi hukum yang jelas dalam pengertian wilayah hukum yang berwenang menanganinya;
·           Adanya lembaga hukum yang diberi wewenang untuk menangani peristiwa pelanggaran hukum tersebut;
·           Adanya bukti ketidak adilan yang diderita oleh pihak tertentu.


Penyelidikan menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebagai berikut:[3]
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”


Sehingga menurut ketentuan pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana di atas, penyelidikan adalah tindakan atas nama hukum untuk melakukan penelitian, apakah perkara tersebut benar-benar merupakan peristiwa pelanggaran terhadap hukum pidana atau bukan merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang:
1.    Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2.    Mencari keterangan dan barang bukti;
3.    Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta meminta tanda pengenal diri;
4.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Selain itu, atas “perintah” penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
1.    Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
2.    Pemeriksaan dan penyitaan surat;
3.    Mengambil sidik jari dan memotret seorang;
4.    Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.

Dalam kewenangannya berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Penyilidik dan Penyidik sebagai aparat penegak hukum guna menjalankan penegakan hukum pidana terdapat mekanisnme dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana. Berikut mekanisme dalam penerapan hukum tindak pidana pada umumnya:
Pengaduan
Penerapan pasal
Laporan Hasil Penyelidikan
Korban memberikan keterangan
Bukti-bukti
Benar/salah
LIDIK
Selidik
SP2HP
  


Penjelasan:[4]
1.    Adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat bahwa telah terjadi tindak pidana.
2.    Pelapor dipanggil untuk memberikan keterangan, dalam hal ini penyelidik menganalisa apakah betul merupakan tindak pidana atau bukan tindak pidana.
3.    Jika benar maka penyelidikan dilanjutkan dan jika salah penyelidikan dihentikan.
4.    Jika benar merupakan tindak pidana maka penyelidik melakukan pengumpulan bukti-bukti tindak pidana.
5.    Setelah penyelidik selesai malakukan LIDIK, kemudian laporan hasil penyelidikan.
6.    Kemudian setelah penyampaian laporan hasil penyelidikan dikeluarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan).
7.    Setelah dikeluarkan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan) penyidik mulai menerapkan pasal terhadap tindak pidana yang dilaporkan atau diadukan.
8.    Langkah selanjutnya setelah penerapan pasal dilanjtkan dengan selidik guna mendalam tindak pidana yang terjadi.

Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan tentang Penyidikan, yang berbunyi sebagai berikut:[5]
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Dalam ketentuan sebagaimana diatur didalam Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatas, menjelaskan bahwa yang dimaksud penyidikan adalah setiap tindakan penyidik untuk mencari bukti-bukti yang dapat meyakinkan atau mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana atau perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana itu benar-benar telah terjadi. Pengumpulan bahan keterangan mendukung keyakinan bahwa perbuatan pidana telah terjadi, harus dilakukan dengan cara mempertimbangkan dengan seksama makna dari kemauan hukum yang sesungguhnya, dengan parameter apakah perbuatan atau peristiwa pidana itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup pada komunitas yang ada dimasyarakat setempat.[6]

Pasal 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang:
a.    Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b.    Melakukan tindakan pertama saat ditempat kejadian.
c.    Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka.
d.   Melakukan penagkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e.    Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f.     Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g.    Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h.    Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.      Mengadakan penghentian penyidikan.
j.      Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh 3 (tiga) instansi dan/atau lembaga yaitu: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan Komisi pemberantasan Korupsi.
Kepolisian Republik Indonesia
Sejak tanggal 1 April 1999, secara struktural Polisi sudah terlepas dari bagian ABRI, maka paradigma Kepolisian memakai paradigma model pendekatan sipil, sehingga tugas dan wewenang Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 19 Undang-Undang No 2 Tahun 2002.
Menurut Satjipto Raharjo polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selanjutnya Satjipto Raharjo yang mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan ketertiban.[7]
Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999 sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera. Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek yaitu:[8]
·      Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam Ketata negaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
·      Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin, kewenangan,kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
·      Aspek kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional.

Masyarakat Indonesia semakin hari semakin mendambakan tegaknya hukum yang berwibawa, memenuhi rasa keadilan dan ketentraman. Tanpa perasaan tentram dan adil maka hasil-hasil pembangunan negara yang menyangkut berbagai permasalahan akan menghadapi hambatan untuk mencapai kemajuan yang maksimal, kehidupan lahiriah dan kekayaan yang melimpah sekalipun tidak akan mampu memberikan kebahagiaan yang utuh dan tanpa perasaan tentram dan adil maka semangat pembangunan negara juga akan terhambat. Oleh karena itu, untuk menegakkan hukum dan menjaga ketentraman masyarakat diperlukan suatu lembaga, yaitu lembaga kepolisian.[9]
Charles Reith[10] memberikan pengertian polisi sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaik atau menertibkan sususan kehidupan masyarakat. Pengertian tersebut berpangkal dari pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup berkelompok dengan aturan yang disepakati bersama.
Menurut Warsito Hadi Utomo, bahwa istilah Polisi mengandung 4 (empat) pengertian yaitu:[11]
1.    Sebagai tugas;
2.    Sebagai organ;
3.    Sebagai pejabat petugasnya;
4.    Sebagai Ilmu Pengetahuan Kepolisian

Polisi sebagai tugas  diartikan sebagai tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai organ berarti badan atau wadah yang bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Sebagai petugas dalam arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu, sedangkan sebagai ilmu pengetahuan kepolisian dalam arti ilmu yang mempelajari segala hal ikhwahal Kepolisian.

Kejaksaan Republik Indonesia
Pengertian Jaksa dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 ayat 6 a dan ayat 6b KUHAP, sebagai berikut:
a)    Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap);
b)   Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Rumusan pada Pasal 1 ayat 6a ini mengenai “Jaksa” diperluas dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 ayat 1 bagian ketentuan umum sebagai berikut:
a)    Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
b)   Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
c)    Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
d)   Jabatan fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Dari pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa berkolerasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan pengertian “penuntut umum” berkolerasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hukum hakim di depan persindangan.
Sedangkan yang dimaksud Kejaksaan menurut Undang- Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. dalam Pasal 2 memberikan pengertian:
a)    Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
b)   Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
c)    Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa:[12]
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.”

Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia memiliki tujuan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Yang dimaksud pemberantasan korupsi adalah sebagai berikut:[13]
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KPK telah disepakati oleh pemerintah dan DPR RI sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan KPK sebagai lembaga trigger mechanism. Terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian karena ketika itu kepercayaan terhadap kedua institusi tersebut telah mengalami penurunan.
Kedudukan lembaga KPK sebagai lembaga Negara yang tujuannya pembentukkannya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin :corruption=penyuapan; corruptor=merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta ketidakberesan lainnya . Adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa:
a)    Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan dan ketidakjujuran;
b)   Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya;
c)    Korup” (busuk, suka menerima uang suap/uang sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya);
d)   Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya);
e)    Koruptor (orang yang korupsi).
Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam kamus hukum, yang dimaksud corruptie adalah “perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan keuangan negara”.
Komplesitas dari korupsi bisa dilihat dari pengertian korupsi itu sendiri. Menurut Bambang Purnomo korupsi adalah:[14]
a.    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung atau diketahui patut disangkan dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b.    Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan wewenang karena jabatan atau kedudukannya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara.
c.    Kejahatan tertentu dalam KUHP yang menyangkut kekuasaan umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau pemerasaan yang berhubungan dengan jabatan.
d.    Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
e.    Tidak melapor setelah menerima pemberian atau janji kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa alas an yang wajar sehubungan dengan kejahatan jabatan.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Menurut Max Weber Korupsi adalah “tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”.
Selanjutnya, menurut Transparency International korupsi adalah “perbuatan menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk keuntungan pibadi”. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan tentang pengertian tindak pidana korupsi sebagai berikut: [15]
“Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi yaitu setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

II.           Pembahasan
Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Penyelidikan dan Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia (tersangka) maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak boleh dikesampingkan Beberapa asas penting yang berlaku dalam proses penyidikan ini adalah:
1.    Asas Legalitas
Asas ini disebut dalam konsideran KUHAP huruf a, yang berbunyi :
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.


Menurut Yahya Harahap[16] Ketentuan dalam konsideran tersebut menunjukan bahwa KUHAP menganut asas legalitas karena meletakkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas kepentingan-kepentingan yang lain sehingga menciptakan bangsa yang takluk di bawah “supermasi hukum”, yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Dalam tahap penyidikan, penyidik tidak boleh memberikan perlakuan yang diskriminatif pada tersangka. Penyidik juga tetap harus memberikan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap seorang tersangka. Seperti hak untuk mendapat bantuan hukum, hak mendapat kunjungan rohaniawan, hak untuk mendapat perawatan kesehatan yang memadai dan sebagainya.
2.    Asas Praduga Tak Bersalah
Asas ini disebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.


Asas pra duga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka/terdakwa yang semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.[17]
Dalam tahap penyidikan asas ini sangat konkrit pelaksanaannya,. cara-cara penyidikan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan sudah tidak sesuai lagi, karena pengakuan terdakwa bukan lagi menjadi alat bukti, sebagaimana pada masa HIR dimana pengakuan terdakwa merupakan salah satu jenis alat bukti.
3.    Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Asas-asas ini memberikan pedoman dan garis batas bagi para penegak hukum didalam melaksanakan tugasnya pada setiap tahap pemeriksaan. Penjabaran dari asas-asas ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan hingga berkekuatan hukum tetap. Selain itu ditentukan juga secara tegas batas waktu penahanan tersangka maupun terdakwa.
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut dalam kedudukan sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga walaupun dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan , orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur dan dijamin undang-undang.
4.    Asas Difernsiasi Fungsional
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jelas telah mengatur pembagian tugas dan wewenang antar aparat penegak hukum. Mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan, persidangan hingga eksekusi dan pengawasan pengamatan eksekusi. Dari tahap pertama hingga tahap akhir tersebut selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan dan terjadi pula fungsi pengawasan antar satu lembaga penegak hukum dengan lembaga hukum lainnya.
Menurut Yahya Harahap[18] asas differnsiasi fungsional secara institusional mempunyai maksud untuk:
1.   Melenyapkan tindakan proses penyidikan yang “saling tumpang tindih” (overlapping) antara kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang proses penyidikan yang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan.
2.   Menjamin adanya “kepastian Hukum” dalam proses penyidikan. Dengan differnsiasi ini, setiap orang sudah tahu dengan pasti bahwa instansinya yang berwenang memeriksanya pada tingkat penyidikan hanyalah “kepolisian”. Sehingga seorang tersangka sudah tahu dan dapat mempersiapakan diri pada setiap tingkat pemeriksaan yang dihadapinya.
3.   Ditujukan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara. Jadi berarti, mengefektifkan tugas-tugas penegakan hukum kearah yang lebih menunjang prinsip peradilan yang cepar, tepat dan biaya ringan.
4.   Differnsiasi fungsional akan memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural. Karena dengan penjernihan dan pembagian tugas dan wewenang tersebut, monitoring pengawasan sudah dapat ditujukan secara terarah pada instnasi bawahan yang memikul tugas penyidikan. Hal ini juga akan sekaligus memudahkan perletakan tanggungjawab yang lebih efektif. Karena dengan differnsiasi , aparat penyidik tidak lagi dapat melemparkan tanggungjawab penyidikan kepada instansi lain. Melulu sudah bulat dan penuh menjadi tanggung jawabnya. Setiap kekeliruan dan kesalahan yang terjadi sepenuhnya menjadi beban yang harus dipikulnya seorang diri. Tidak lagi dapat mencampurbaurkan menjadi beban tanggungjawab instansi lain.
5.   Dengan asas ini sudah dapat dipastikan terciptanya keseragaman dan satunya hasil berita acara pemeriksaan. Yakni hanya berita acara yang dibuat oleh pihak kepolisian. Tidak akan dijumpai lagi adanya dua macam hasil berita acara penyidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan lain dalam berkas perkara.

5.    Asas Saling Kordinasi
Asas koordinasi dianut oleh KUHAP berkaitan erat dengan asas differensiasi fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun terjadi pembagian kewenangan yang tegas diantara masing-masing instansi penegak hukum disatu sisi, disisi lain tetap ada hubungan koordinasi diantara instansi tersebut dalam rangka jalannya proses penegakan hukum itu sendiri.
Menurut Yahya Harahap[19] dalam rangka untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyelahgunaan wewenang, KUHAP telah mengatur “sistem cekking” diantara penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan mengingat setiap kelambatan dan kekeliruan yang terjadi pada salah satu bagian instansi penegak hukum akan berimbas kepada instansi berikutnya, yang akan berakibat harus memikul tanggungjawab di hadapan sidang pra peradilan.
6.    Asas Persamaan di muka hukum
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan.
Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasalpun yang mengarah pada pemberian  hak-hak istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidak istimewaan pada kelompok lain.
Semangat menjunjung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Sehingga mulai dari ditangkapanya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan hukum orang tersebut mendapat perlindungan yang memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitative yang secara terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.
7.    Asas akusator dan inkusitor
Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak diperkenankan untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada tersangka disamping itu KUHAP juga tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti. Perlakuan yang digariskan oleh KUHAP yang demikian menunjukkan bahwa KUHAP menganut asas akusatoir, yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek pemeriksaan.
Pada asas inquisitoir, kedudukan tersangka/terdakwa merupkan obyek pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka/terdakwa menjadi hal yang sangat penting untuk diperoleh penegak hukum. Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa.
Para petugas pemeriksa akan mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan penganiayaan. Pada asas inquisitoir, pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum boleh mengetahui atau mendampingi si tersangka. Tersangkapun tidak memiliki hak untuk menemui penasihat hukumnya.
Pada asas akusatoir, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/terdakwa bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka/terdakwa tidak menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.

Dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat 3 (tiga) lembaga dan/atau instansi yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga tersebut sebagai perwujudan keseriusa pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatau bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma social lainya.[20]
Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan Negara. Kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan tetapi, hilangnya kepercyaan masyarakat terhadap pemerintah suatu Negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekadar kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.[21]

Kepolisian Republik Indonesia
Pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisian selain diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana juga diatur dalam dalam undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Koplisian Negara republic Indonesia. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan (Kepala) Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk:[22]
a.    Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelematkan uang negara;
b.    Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum;
c.    Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tugas pokok kepolisian negara dapat dirinci sebagai berikut:
a.    Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
b.    Dalam bidang hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan peraturan negara lainnya;
c.    Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
d.    Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.

Tugas kepolisian yang langsung berhubungan dengan masalah penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 13 UU No 13 Tahun 1961, yaitu terdiri dari:
1.        Menerima Pengaduan
2.        Memeriksa tanda pengenal
3.        Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4.        Menangkap orang
5.        Menggeledah badan
6.        Menahan orang sementara
7.        Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
8.        Mendatangkan ahli
9.        Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara
10.    Membeslah barang untuk dijadikan bukti dan
11.    Mengambil tindakan-tindakan lain.

Kewenangan yang dimiliki kepolisian dalam menjalankan tugas penyidikan disamping ketentuan pasal tersebut diatas juga berdasar pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku pada saat itu yaitu HIR atau RBG. Pada ketentuan tersebut status kepolisian dalam kewenangan penyidikan adalah sebagai pembantu jaksa.
Kedudukan ini berlangsung hingga 36 tahun, selanjutnya pada tahun 1997 lahir undang-undang baru yang mengatur tentang kepolisian yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997, walaupun pada saat itu lembaga Polri masih berada dalam satu wadah ABRI namun kedudukannya secara lebih nyata tergambar dengan jelas dalam undang-undang baru ini. Dalam undang-undang ini wewenang Polri dalam rangka proses pidana diatur dalam Pasal 16, terdiri atas:
1.        melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
2.        melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan,
3.        membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
4.        Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
5.        Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6.        Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
7.        Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
8.        Mengadakan penghentian penyidikan;
9.        Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10.    Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
11.    Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab
Legitimasi kemandirian lembaga kepolisian yang terlepas dari bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia lahir pada tahun 2002 sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.Undang-undang ini memiliki tujuan untuk menghilangkan watak militerisme polisi yang selama ini telah melekat dan dominan.
Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum pada umumnya dan proses pidana pada khususnya maka kepolisian berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut mempunyai wewenang yang terdiri atas:
1.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
2.      Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan.
3.      Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
4.      Menyuruh berhenti berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
5.      Melakukan pemeriksaansurat;
6.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7.      Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
8.      Mengadakan penghentian penyidikan;
9.      Menyerahkan berkas perkara kepada penutut umum;
10.  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
11.  Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12.  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
13.  Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
14.  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan berakibat salahnya semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar bagi pembuatan surat dakwaan, tuntutan hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang memang terbukti bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan sebaliknya memperoleh kebebasanya.
Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi, Lembaga kepolisian memiliki tanggungjawab yang sama. Ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur perihal penyidikan dalam Ketentuan Bab IV Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pada ketentuan Pasal 26 undang-undang ini diatur hal sebagai berikut :
“ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan peralihan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan :
“ (2). Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku “.
Selanjutnya ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP menentukan :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan :
“Apabila dalam hasil petunjuk adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menindaklanjuti”.

Pada bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan :
“. . . yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian”.
Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam KUHAP diatas kepolisian juga mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan perundangan lain yang tersebar, salah satunya adalah sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tetap dimiliki oleh penyidik kepolisian sekalipun dua lembaga penyidik lain yaitu penyidik Kejaksaan dan penyidik KPK juga mempunyai kewenangan yang sama. Dalam ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a.    melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b.    mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.    menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.

Dari ketentuan Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang bisa dilakukan oleh lembaga penyidik kepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya dibawah satu milyar rupiah, tidak mendapat perhatian dari masyarakat/meresahkan masyarakat serta tindak pidana korupsi tersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelanggara Negara.
Dalam ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 ayat (1) huruf g, kembali ditegaskan tentang kewenangan penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik kepolisian yaitu bahwa kepolisian RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penjelasan Atas UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) huruf g disebutkan sebagai berikut :
“ Ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.


Ketentuan tentang kewenangan melakukan penyidikan yang dimiliki oleh penyidik Polri tersebut memberikan ketegasan bahwa sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 kedudukan penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan penyidik dan terhadap semua tindak pidana, namun demikian undang-undang tersebut tetap memberikan pembatasan bahwa hal tersebut tetap harus memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan sebagai sebuah lembaga yang berwenang sebagai penuntut umum dan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No.31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana materil dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta Undang -Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian dan pemberantasan kasus tindak pidana ini.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa dapat berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum, maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, secara penal artinya pemberantasan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi. Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan peraturan perundang-undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan yang sering dikenal dengan while collar crime atau kejahatan kerah putih. Peran Jaksa yang sangat penting dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi diperkuat oleh rumusan Pasal 27 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
“Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung”.

Sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No.31Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, serta UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di dalam undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pada Pasal 1 tentang ketentuan umum Kejaksaan hanya diberi wewenang sebagai penuntut umum namun, dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP terdapat pengecualian. Pasal 284 Ayat (2) menegaskan bahwa :
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.


Selanjutnya dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 menegaskan bahwa:
a.    Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1)   melakukan penuntutan;
2)   melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3)   melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4)   melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5)   melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b.    Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c.    Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
1)   peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2)   pengawasan kebijakan penegakan hukum;
3)   pengawasan peredaran barang cetakan;
4)   pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara;
5)   pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6)   penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal.

Kejaksaan juga diberi wewenang sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Dalam ketentuan undang-undang kejaksaan sebagaimana diuraikan di atas, lembaga kejaksaan tetap memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dimiliki penyidik kejaksaan adalah sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polri yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1.    Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara.
2.    Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3.    Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).


Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPK diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, dan makmur. sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
KPK telah disepakati oleh pemerintah dan DPR RI sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan KPK sebagai lembaga trigger mechanism74 terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian karena ketika itu kepercayaan terhadap kedua institusi tersebut telah mengalami penurunan.
Kedudukan lembaga KPK sebagai lembaga Negara yang tujuannya pembentukkannya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Ketentuan Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur perhal tugas yang disandang KPK yaitu:
a.    Melakukan koordinasi dengan instnasi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.    Melakukan supervise terhadap instnsi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.   Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.    Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara.

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK dibatasi oleh ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a.      melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b.      mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.       menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.

Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik KPK dalam melaksanakan tugas penyidikan sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polisi dan penyidik kejaksaan. Keleluasaan tersebut termasuk keleluasaan fasilitas yang dimiliki sebagai pendukung kewenangan yang diemban penyidik KPK. Kewenangan tersebut sebagaimana ditaur dalam ketentuan Pasal 12 yaitu:
a.         Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b.        Memerintahkan kepada instasni yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri;
c.         Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangantersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d.        Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait;
e.         Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatnnya;
f.         Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instnasi yang terkait;
g.        Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan buku awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h.        Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instnasi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i.          Meminta bantuan kepolisian atau instnasi lain yang terkait untk melakukan penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Kewenangan yang sangat luas sebagaimana ditentukan dalam UU KPK tersebut di atas merupakan suatu keisitimewaan yang dipercayakan oleh Negara kepada lembaga KPK, karena KPK telah disepakati oleh pemerintah dan DPR RI sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan KPK sebagai lembaga trigger mechanism.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi ditangani oleh institusi khusus bernama Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa:[23]
a)             Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi;
b)             Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas dan wewenang melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketemtuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

III.        Penutup
A.  Kesimpulan
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 (tiga) lembaga dan/atau instansi pemerintah yaitu:
1.      Kepolisian Republik Indonesia
2.      Kejaksaaan Republik Indonesia
3.      Komisi Pemberantasan Korupsi
Pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan  tindak pidana korupsi oleh ketiga lembaga dan/atau instansi tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 12 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Selain itu didalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi terdapat ketentuan lain yang menentukan kewenangan didalam penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia yaitu ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa Kepolisian Kejaksaan berwenang memeriksa perkara tindak pidana korupsi yang merugikan negara dibawah Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar), sedangkan untuk memeriksa perkara korupsi yang merugikan negara diatas Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar) ada pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
  
B.  Saran
Didalam pemeriksaan perkara korupsi dewasa ini antara, Kepolisian, Kejaksaann dan Komisi Pemberantasan Korupsi seringkali terjadi misscomunication”, sehingga perlu adanya peningkatan kerjasama antara Kepolisian, Kejaksaan,dan Komisi Pemberantasan Korupsi baik secara substantif, struktural, terprogram dan terukur pencapaiannya.

Daftar Pustaka

Ali Mahrus, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press.
Danil Elwi, 2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta, Raja Grafindo.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Harahap Yahya, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini.
Hartono, 2012, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika.
Nugroho Hibnu,2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta, Media Prima Aksara.
Rahardjo Satjipto, 2002, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sitompul dan Edward Syahperenong, 1985, Hukum Kepolisian Di Indonesia (Suatu bunga Rampai),Bandung: Tarsito.
Utomo Warsito Hadi, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,  2005.

Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67)

Sumber Internet:



[1] Hibnu Nugroho,2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta, Media Prima Aksara, hlm. 223.
[2] Hartono, 2012, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 2.
[3] Hartono, Op.Cit, hlm. 19.
[4] Singgih Herwibowo, 2014, Dalam Skripsi ( Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Jaringan Internet Oleh Polisi (Hasil Wawancara dengan Iptu. Junaidi, S.H. selaku KBO Reskrim Kepolisian Resor Banyumas pada tanggal 24 Mei 2014.)), Unsoed, Purwokerto, hlm. 94.
[5] Hartono, Op.Cit, hlm. 32.
[6] Ibid, hlm. 32.
[7] Satjipto Rahardjo, 2002, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm.xxv.
[9] Sitompul dan Edward Syahperenong, Hukum Kepolisian Di Indonesia (Suatu bunga Rampai),Bandung: Tarsito, 1985, hal. 24.
[10] Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,  2005. Hal 5-6.
[11] Ibid, hlm. 8-9.
[12] Pasal 3 Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
[13] Ibid, Pasal 1 angka 3.
[14] Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 70.
[15] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999  jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[16] Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini , hal. 34 .  
[17] Ibid, hlm. 39.
[18] Ibid, hlm. 49.
[19] Ibid, hlm. 50.
[20] Elwi Danil, 2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 70.
[21]  Ibid, hlm. 70.
[22]  Mahrus Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press, hlm. 217.
[23] Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 69.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in