Skip to main content

Urgensi Kriminologi Bagi Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi

I.     Pendahuluan
A.  Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi dewasa ini sudah memasuki kategori yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai persoalan yang timbul di negara ini disebabkan oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan.
Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat.[1]
Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsi menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar.[2]
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pada saat ini belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, penegakan hukum tindak pidana korupsi perlu dikaji ulang agar supaya penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan maksimal.
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[3]
Barda Arief Nawawi mengkritik strategi pemberantasan korupsi yang hanya difokuskan pada upaya memperbaharui undang-undang korupsi. Strategi demikian lebih bersifat fragmenter, parsial, simptomatik dan represif, karena seolah-olah hanya melihat satu faktor kondisi saja sebagai penyebab atau titik lemah dari upaya pemberantasan korupsi selama ini. Padahal jika dilihat dari sudut kebijakan criminal (crime policy), strategi dasar penanggulangan kejahatan (the basic crime prevention strategy) seyogianya diarahkan pada upaya peniadaan (mengeliminasi) atau menanggulangi dan memperbaiki keseluruhan kausa-kausa dan kondisi yang menjadi faktor kriminogen untuk terjadinya kejahatan korupsi.[4]
Kriminologi sebagai salah satu ilmu yang mengkaji tentang kejahatan, dapat ikut andil untuk menganalisa dan mencari penyebab dari kausa kejahatan korupsi, yang akhir-akhir ini marak terjadi di Indonesia. Hasil dari analisa tersebut, nantinya dapat dijadikan sumbangsih pemikiran dalam mencegah kejahatan korupsi. Berdasarkan permasalahan-permasalahan di dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Urgensi Kriminologi Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi “.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan didalam latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.    Bagaimana urgensi kriminologi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi !

C.  Kerangka Teori
Secara etimologis kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan, dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga krimonolgi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Menurut E.H.Sutherland kriminologi yaitu:
Seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang, dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.[5]

Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda mengenai kriminologi ini. Diantaranya adalah:
Bonger (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010 : 10), memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup :
1.    Antropologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat dilihat dari segi biologisnya yang merupakan bagian dari ilmu alam.
2.    Sosiologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai gejala sosial. Pokok perhatiannya adalah seberapa jauh pengaruh sosial bagi timbulnya kejahatan (etiologi sosial).
3.    Psikologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan dipandang dari aspek psikologis. Penelitian tentang aspek kejiwaan dari pelaku kejahatan antara lain ditujukan pada aspek kepribadiannya.
4.    Psipatologi kriminal dan neuropatologi kriminal, yaitu ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang sakit jiwa atau sakit sarafnya, atau lebih dikenal dengan istilah psikiatri.
5.    Penologi, yaitu ilmu pengetahuan tentang tumbuh berkembangnyapenghukuman, arti penghukuman, dan manfaat penghukuman. Di samping itu terdapat kriminologi terapan berupa:
a.    Hygiene kriminal, yaitu usaha yang bertujuan untuk mencengah terjadinya kejahatan.
b.    Politik criminal, yaitu usaha penanggulangan kejahatan dimana suatu kejahatan telah terjadi.
c.    Kriminalistik (policie scientific), yaitu ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.

Bonger, dalam analisanya terhadap masalah kejahatan, lebih mempergunakan pendekatan sosiologis, misalnya analisa tentang hubungan antara kejahatan dengan kemiskinan.
Paul Moedigdo Moeliono (Soedjono D, 1976:24) memberikan definisi Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia. Paul Moedigdo Moeliono tidak sependapat dengan definisi yang diberikan Sutherland. Menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya kejahatan, oleh karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi adanya dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan jahat yang ditentang oleh masyarakat tersebut.
Kriminologi dalam perspektif hukum pidana terdapat beberapa teori, teori-teori tersebut sebagai berikut:[6]
1.    Teori Asosiasi Deferensial
Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association sebagai “the contens of the patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.
2.    Teori Anomi
Teori anomie Robert K. Merton[7] pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural.
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuantujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan dan saranasarana dalam masyarakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana-sarana yang tersedia, akan tetapi ada yang melakukan cara tidak sesuai dengan caracara yang telah ditetapkan (illegitime means). Aspek ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lowerclass) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class).


3.    Teori Subkultur
Pada dasarnya, teori sub-culture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika. Di bidang pendidikan, para kelas menengah mengharapkan pendidikan universitas bagi anak-anak mereka. Kemudian dalam bidang iptek, keberhasilan Uni Soviet mengorbitkan satelit pertamanya akhirnya berpengaruh besar dalam sistem pendidikan di AS. Di sisi lain, memunculkan urbanisasi yang membuat daerah pusat kota menjadi kacau balau dan hal ini merupakan problem perkotaan. Sehingga, kenakalan adalah problem kelas bawah serta gang adalah bentuk paling nyata dari pelanggaran tersebut. Teori sub-culture sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual (intelectual heritage) aliran Chicago, konsep anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin[8] yang melakukan pengujian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan laki-laki yang berasal dari komunitas kelas bawah (lower class). Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa ada ikatan antara hierarki politis dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan tersebut begitu kuat sehingga Kobrin mengacu kepada “Kelompok Pengontrol Tunggal” (single controlling group) yang melahirkan konsep komunitas integrasi.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
·      Ditinjau dari sudut subyeknya, penegakan huukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.
Ø Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakan aturan hukum.
Ø Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
·      Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.
Ø Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai  keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ø Dalam arti sempit, penegakan humum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya menelaah aspek-aspek sebjektifnya saja.
Tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang dipergunakan untuk menterjemahkan strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana di Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.[9]
Menurut P.A.F. Lamintang,[10] pembentuk undang-undang tidak memberikan suatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “stafbaaar feit”, maka timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut.Dari sekian banyak pandangan mengenai istilah apa yang paling tepat untuk “strafbaar feit”, pembentuk undang-undang akhirnya menyatakan bahwa istilah yang cocok untuk“strafbaar feit” tersebut adalah tindak pidana. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah aspek socio-yuridis, dimana hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
Ditinjau dalam sudut pandang etimologi, korupsi merupakan istilah asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, Dalam Webster Studen Dictionary, Korupsi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie), dapat atau patut diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu “korupsi.[11]
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmer, menguraikan arti istilah korupsi dari berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangut bidang kepentingan umum. Sudarto[12] menjelaskan pengertian korupsi dari unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.    Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu   badan.
2.    Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
3.    Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan / atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam sudut pandang normatif, pengertian korupsi dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dijelaskan pengertian korupsi melalui unsur-unsur dari tindak pidana korupsi. unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) adalah:[13]
1)             Melawan hukum,
2)             Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
3)             Dapat merugikan keuangan negara atau perekomian negara.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 adalah:
1)             Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
2)             Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
3)             Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

II.           Pembahasan
Pemberantasan tindak pidana korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu adanya usaha yang bersifat luar biasa. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa memberantas korupsi tidak bisa lagi menggunakan cara bertindak dan berfikir biasa, tetapi harus sebaliknya yaitu bertindak dan berfikir luar biasa.[14] Oleh karena itu harus tumbuh sikap keberanian dari para penegak hukum untuk melakukan lompatan-lompatan yuridis dan diimbangi dengan kesadaran hukum masyarakat untuk menerima putusan-putusan yang di luar kebiasaan. Andi Hamzah[15] juga berpendapat bahwa pemberantasa korupsi tidak hanya bertumpu pada pembaharuan undang-undang, namun harus terdapat upaya lebih dari itu.
Kejahatan korupsi tidak dapat ditanggulangi semata-mata dengan criminal policy (politik criminal) yang bersifat penal (hukum pidana), perlu diintegrasikan dengan kebijakan yang bersifat non-penal yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan dengan cara menghilangkan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Kriminologi sebagai suatu ilmu yang mengkaji kejahatan, memiliki peranan sangat penting untuk membantu menemukan faktor-faktor kondusif dari kejahatan korupsi. Edwinh Sutherland menegaskan bahwa salah satu objek dari kajian kriminologi selain dari sosiologi hukum dan penologi adalah etiologi kejahatan, suatu kajian kriminologi yang berusaha untuk menganalisa tentang sebab sebab timbulya kejahatan.
Dalam menganalisa kausa kejahatan, kriminologi menggunakan teori sebagai pisau analisa untuk menganalisa kausa kejahatan tertentu, maka dalam menganalisa kausa kejahatan korupsi, teori anomi dapat digunakan dalam kontek tidak menentunya perkembangan dan kebijakan ekonomi di Indonesia yang disebabkan oleh peralihan sosio-tradisional agraris kepada sosio-modernis industrialis dengan maraknya kejahatan korupsi di Indonesia.
Romli Atmasasmita,[16] berpendapat bahwa teori anomi sangat berguna sebagai pisau analisa untuk menganalisa kausa kejahatan di Indonesia, dengan alasan, bahwa perkembangan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan perkembangan industri dan berbagai fluktuasi yang kurang menentu dari kebijaksanaan pemerintah dibidang perekonomian dan keuangan, dengan alasan-alasan itu, tampaknya teori anomi (Durkheim dan Merton) dapat digunakan sebagai pisau analisa yang dapat mengungkapkan secara memadai berbagai kausa kejahatan.
Proses penegakan hukum pidana (criminal law enforcement process), saling berkaitan dengan kriminologi, karena kriminologi dapat memberikan masukan kepada hukum pidana, terutama mengapa orang melakukan kejahatan dan faktor-faktor penyebabnya serta upaya apa yang harus dilakukan agar para penegak hukum tidak melanggar hukum. Untuk itu kriminologilah yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan terhadap kejahatan sebagai gejala manusia dapat menghimpun sumbangan-sumbangan berbagai ilmu pengetahuan.[17] Menurut Sutherland, Cressey menyatakan criminology is the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon. Kriminologi merupakan batang tubuh ilmu pengetahuan yang mengandung pengertian kejahatan sebagai suatu fenomena sosial. Fenomena ini tergambar di dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum pidana mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai tingkat eksekusi.
Penegakan hukum  tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan 3 (tiga) upaya. Ketiga upaya tersebut yaitu:
1.             Upaya Preemtif
Upaya Preemtif yaitu merupakan usaha penanggulangan terhadap fenomena situasi yang dapat dikategorikan sebagai faktor korelatif kriminogen, dengan cara mencermati setiap gejala awal dan menemukan simpul penyebabnya yang bersifat laten potensial pada sumbernya. Tujuan penyuluhan hukum itu sendiri adalah mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat. Hal ini dapat terjadi apabila setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibanya sebagai warga Negara.
Kegiatan penyuluhan hukum ini pada Tahun 1991 mendapatkan pengesahan dan persetujuan lagi dalam GBHN yang tidak hanya menyatakan perlu meningkatkan kesadaran hukum masyarakat saja, melainkan secara tegas dan kongkrit memerintahkan untuk meningkatkan penyuluhan hukum. Dari hal-hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa:
a.              Tujuan penyuluhan hukum adalah mencapai kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat.
b.             Terciptanya kesadaran hukum yang tinggi dalam masyarakat apabila setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajiban sebagai warga Negara.
c.              Pencapaianya kadar kesadaran hukum yang tinggi adalah dalam rangka tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Usaha meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dengan penyuluhan hukum secara terpadu, berkaiatan erat dengan upaya pembinaan perangkat peraturan hukum dan aparat penegak hukum di sebut Trikarma ( Tiga Karya Utama) pembangunan hukum.
2.             Upaya Preventif
Usaha Preventif yaitu usaha penanggulangan berupa tindakan pencegahan. Usaha preventif ini menitik beratkan pada unsur pencegahan, artinya usaha penanggulangan yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi. Salah satu perwujudan dari usaha preventif ini dalah dengan memberi penyuluhan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait misalnya dari pihak Departemen Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian dan lain-lain. Apabila kita semua dalam kehidupan bernegara dan masyarakat bersedia dan dengan sukarela mematuhi hukum dan wajib membantu menegakan hukun, maka kehidupan bernegara dan bermasyarakat menjadi aman dan tenteram meskipun dinyatakan bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, akan tetapi kenyataan tidaklah demikian, oleh sebab itu kita harus selalu menyebarluaskan pengetahuan hukum yang kita miliki agar jumlah masyarakat yang menetahui mengenai hukum dapat bertambah. Dengan bertambahnya orang yang mengetahui hukum maka di harapkan masyarakat dapat sadar akan manfaat hukum dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Usaha memasyarakatkan hukum dengan cara melakukan penyuluhan hukum, berpangkal tolak dari penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechstat). Dari ketentuan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak kita menjadi bangsa yang merdeka dan mengatur Negara serta pemerintahan sendiri, bukan hanya diperlukan adanya jaminan terhadap hak kebersamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan saja, akan tetapi harus dibarengi pula dengan kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan, itu tanpa kecuali berlaku bagi semua anggota masyarakat. Kata “menjunjung” mengandung arti yang luas yakni meliputi menghormati, menjadikan pedoman dalam tingkah laku, melaksanakan, mematuhi hukum secara sungguh-sungguh tanpa kecuali.
Dengan kata lain bahwa upaya meningkatkan kesadaran hukum melalui penyuluhan bukum adalah bagian penting dalam pembangunan hukum karena merupakan tumpuan pembinaan perangkat aturan hukum dan pembinaan aparat penegak hukum.
3.             Upaya Represif
Usaha represif terhadap tindak pidana korupsi di lakukan setelah terjadinya tindak pidana korupsi oleh pelaku korupsi. Mengenai masalah tindakan represif, “Yang di maksud dengan tindakan represif adalah segala tindakan yang di lakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya kejahatan atau tindak pidana termasauk dalam represif ini adalah penyidikan, penuntutan sampai pelaksanaan pidana” (Sudarta, 1981:118). Dengan demikian usaha represif dalam tindak pidana korupsi dilakukan setelah terjadi tindak pidana korupsi, dengan di lakukanya penyelidikan oleh pihak kepolisian, kejaksaan maupun komisi pemberantasan korupsi kemudian berkas penyidikan di serahkan ke jaksa sebagai penuntut umum kemudian di buatkan surat dakwaan yang di serahkan ke pengadilan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa, yang jika terbukti secara sah dan meyakinkan di jatuhi pidana oleh hakim kemudian terpidana dimasukan ke lembaga pemasyarakatan untuk di bina.

Upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak selalu berjalan dengan mulus/dan atau lancar. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana korupsi. Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor – faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut. Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang – undang saja.
2.    Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.    Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.    Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Kelima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana korupsi seperti diatas, dapat menjadi faktor yang menghambat penegakan hukum, maupun menunjang penegakan hukum tindak pidana korupsi. Disini peran kriminologi sangat membantu dalam mengkaji sebab-sebab adanya kejahatan.
Pemberantasan korupsi dewasa ini tidak hanya menekankan pada upaya reprsif saja, upaya represif saat ini belum dapat menjadi solusi bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Didalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, kriminologi dapat membantu melalui upaya preemtif, dan upaya preventif, karena dua upaya ini menekankan pada pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi. Pencegahan merupakan bentuk kewaspadaan agar tidak terjadi tindak pidana. Pencegahan yang dimaksud dengan melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai tindak pidana korupsi. Kriminologi disini memiliki peran dalam mengkaji sebab-sebab kejahatan, kajian mengenai tindak pidana korupsi disampaikan sebagai materi didalam sosialisasi kepada masyarakat.
Seperti yang kita ketahui, tidak menentunya perkembangan dan kebijakan ekonomi di Indonesia yang disebabkan oleh peralihan sosio-tradisional agraris kepada sosio-modernis industrialis dengan maraknya kejahatan korupsi di Indonesia. Teori anomie Robert K. Merton[18] pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural.
Romli Atmasasmita,[19] berpendapat bahwa teori anomi sangat berguna sebagai pisau analisa untuk menganalisa kausa kejahatan di Indonesia, dengan alasan, bahwa perkembangan ekonomi Indonesia yang ditandai dengan perkembangan industri dan berbagai fluktuasi yang kurang menentu dari kebijaksanaan pemerintah dibidang perekonomian dan keuangan, dengan alasan-alasan itu, tampaknya teori anomi (Durkheim dan Merton) dapat digunakan sebagai pisau analisa yang dapat mengungkapkan secara memadai berbagai kausa kejahatan.
Teori anomi mendasarkan analisanya pada bahaya-bahaya yang melekat dalam setiap bentuk ketidakssesuaian antara kebutuhan manusia dengan cara-cara yang dapat digunakan untuk memenuhinya. Tahap-tahap tertentu tertentu dari struktur sosial akan meningkatkan keadaan di mana pelanggaran terhadap aturan-aturan masyarakat akan menghasilkan tanggapan yang “normal”. Terjadinya penyimpangan didalam masyarakat disebabkan oleh struktur sosial dimana tidak dipatuhinya norma-norma sosial.
Menurut Robert K. Merton, terdapat dua unsur struktur sosial dan kultur yang dianggap penting untuk menyususn teori tersebut yaitu:[20]
1.    Terdiri dari tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan yang sudah membudaya yang meliputi kerangka aspirasi dasar manusia seperti dorongan hidup orisinil manusia. Tujuan tersebut sedikit banyak merupakan kesatuan, tingkatannya tergantung dari fakta empiris, dan didasari oleh urutan nilai, seperti berbagai tingkat sentimen dan makna.
2.    Terdiri dari aturan-aturan dan cara-cara kontrol yang diterima untuk mencapai tujuan tersebut.


Berdasarkan pernyaataan  diatas, pada hakikatnya setiap masyarakat memiliki tujuan-tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat digunakan, tetapi didalam kenyataannya tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan  dan menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam mencapai tujuan.
Persoalan yang timbul saat ini disebabkan oleh perbedaan struktur kesempatan. Tidak meratanya kesempatan akan menimbulkan frustasi dikalangan warga yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencpai tujuan, sehingga menimbulkan konflik, ketidakpuasan, frustasi, dan penyimpangan-penyimpangan yang akibat pada timbulnya keadaaan dimana para warga tidak lagi mempunyai ikatan yang kuat terhadap tujuan serta sarana-sarana atau kesempatan-kesempatan yang terdapat dalam masyarakat.
Anomi merupakan suatu kondisi yang timbul ketika terdapat ketimpangan antara tujuan social dan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Menurut teori ini masyarakat dalam menilai kelayakan social orang berdasarkan kesuksesan material nyata mereka dan dalam mengkhotbahkan bahwa kesuksesan tersedia bagi semua yang bekerja keras dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Pada kenyataannya peluang atau sarana mencapai kesuksesan tidak tersedia bagi semua. Robert.K.Merton menyatakan:[21]
Baru ketika sebua system nilai-nilai budaya mengagungkan, nyaris melebihi segala yang lain, symbol-simbol bersama tertentu kesuksesan bagi masyarakat pada umumnya pada saat struktur social membatasinya dengan ketat atau sepenuhnya melenyapkan akses pada mode-mode yang disepakati untuk meraih symbol-simbol itu bagi sebagaian besar masyarakat yang sama itu, munculah perilaku antisosial dalam skala luar biasa.


Analisis kriminogen terhadap kejahatan korupsi melalui teori anomi mendasarkan pada ketidaksesuaian antara kebutuhan manusia dengan cara-cara yang dapat digunakan untuk memenuhinya. Gejala-gejala kejahatan ini tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat kelas bawah, tetapi juga golongan masyarakat kelas atas. Pada dasarnya konsep teori anomi mendasarkan pada besarnya kebutuhan masyarakat dan cara-cara untuk memenuhinya.
Analisis kriminogen dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi memiliki peran sebagai dasar materi penyuluhan hukum terhadap masyarakat, agar masyarakat mengerti kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Harapan dari sebuah upaya preemtif dan upaya preventif dalam penegakan hukum adalah agar tindak terjadi tindak pidana untuk kedepannya. Disini melalui analisis kriminogen dalam teori anomi, kejahatan korupsi yang timbul dikarenakan antara kebutuhan masyarakat dan cara-cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut seringkali melalui cara-cara yang bertentangan dengan norma hukum.
Upaya preemtif dan upaya preventif melalui analisis kriminogen dalam teori anomi merupakan bagian penting dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan melihat upaya represif dewasa ini, penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Berbagai kejahatan korupsi bermunculan yang berdampak terganggunya perekonomian Negara Indonesia.
Komplesitas dari korupsi bisa dilihat dari pengertian korupsi itu sendiri. Menurut Bambang Purnomo korupsi adalah:[22]
a.             Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung atau diketahui patut disangkan dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
b.             Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dengan menyalahgunakan wewenang karena jabatan atau kedudukannya yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara.
c.              Kejahatan tertentu dalam KUHP yang menyangkut kekuasaan umum, pekerjaan pembangunan, penggelapan atau pemerasaan yang berhubungan dengan jabatan.
d.             Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat suatu kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya.
e.              Tidak melapor setelah menerima pemberian atau janji kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tanpa alas an yang wajar sehubungan dengan kejahatan jabatan.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat David M. Chalmers, menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Menurut Max Weber Korupsi adalah “tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi”
Lemahnya kebijakan hukum pidana yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di Indonesia membuat korupsi dewasa ini semakin berkembang dan negara dirugikan secara perekonomian oleh tindak pidana korupsi. Penanggulangan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sarana penal karena hukum pidana dalam bekerjanya memiliki kelemahan/keterbatasan. Kelemahan/keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak
pidana korupsi, yaitu:[23]
1.    Efektivitasnya tergantung sepenuhnya pada kemampuan infranstruktur pendukung sarana dan prasarananya, kemampuan profesional aparat penegak hukumnya, serta budaya hukum masyarakatnya. Kelemahan infranstruktur ini akan mengurangi pemasukan (input) dalam sistem peradilan pidana, atau dengan perkataan lain pelaku tindak pidana yang dapat dideteksi akan berkurang, sehingga hidden criminal semakin meningkat. Kemampuan untuk melakukan penyidikan serta pembuktian baik di dalam pemeriksaan pendahuluan maupun di dalam sidang pengadilan merupakan variable yang sangat mempengaruhi efektivitas sistem peradilan pidana.
2.    Sebab-sebab korupsi yang demikian kompleks, tidak dapat diatasi dengan hukum pidana berada di luar jangkauan hukum pidana;
3.    Hukum pidana adalah bagian kecil (subsistem) dari sarana control sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah korupsi yang sangat kompleks (terkait dengan masalah moral/sikapmental, masalah pola hidup kebutuhan serta kebudayaan dan lingkungan sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesejahteraan sosial-ekonomi, masalah struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik, masalah mekanisme pembangunan dan lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan publik.;
4.    Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “kurieren am symptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”;
5.    Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif;
6.    Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/ personal, tidak bersifat struktural/fungsional;Berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi.

Mengingat keterbatasan/kelemahan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana korupsi tersebut di atas, kebijakan penanggulangan korupsi tidak bisa hanya menggunakan sarana penal tetapi juga menggunakan sarana nonpenal. Namun, apabila dilihat dari perspektif politik kriminal secara makro maka kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana atau non penal policy merupakan kebijakan yang paling strategis. Hal ini disebabkan karena non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terhadap terjadinya kejahatan. Sasaran utama non penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
Perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Faktor-faktor penyebab korupsi yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya sebagai berikut:
1.    Andi Hamzah[24] mengemukakan penyebab korupsi adalah:
a.    Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
b.    Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi.
c.    Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang akan memberikan peluang orang untuk korupsi.
d.   Modernisasi mengembangbiakkan korupsi.
2.    Syed Hussein Alatas, sebagaimana dikutip Evi Hartanti,[25] menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah:
a.    Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
b.    Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika.
c.    Kolonialisme, di mana suatu pemerintah asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
d.   Kurangnya pendidikan.
e.    Kemiskinan.
f.     Tiadanya tindak hukuman yang keras.
g.    Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.
h.    Struktur pemerintahan.
i.      Perubahan radikal, di mana tatkala suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal.
j.      korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
k.    Keadaan masyarakat di mana korupsi dalam suatu birokrasi bias memberikan cerminan keadaan masyarakat keseluruhan.

Salah satu cara supaya rakyat dapat hidup sejahtera adalah melalui penanggulangan korupsi, sehingga penanggulangan korupsi dapat menjadi awal penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Dalam konteks pembicaraan masalah penanggulangan kejahatan, termasuk di dalamnya penanggulangan korupsi, dikenal istilah Politik Kriminal. Politik Kriminal (Criminal Policy) sebagai usaha rasional masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupun sarana nonpenal. Sarana penal dan nonpenal merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan tindak pidana korupsi. Penanggulangan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya mengandalkan sarana penal karena hukum pidana dalam bekerjanya memiliki kelemahan/keterbatasan. Kelemahan/keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan telah banyak diungkapkan oleh para sarjana, antara lain:
1.             Muladi menyatakan, bahwa penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana tidak dapat diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif, mengingat kemungkinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada di luar kerangka proses peradilan pidana
2.             Donald R. Taft dan Ralph W. England, sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa efektivitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan, dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.[26]
3.             Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip oleh Laica Marzuki, mengingatkan bahwa dalam produk perundang-undangan (gesetz) kadangkala terdapat Gezetzliches Unrecht, yakni ketidakadilan dalam undang-undang, sementara tidak sedikit ditemukan iibergesetzliches recht (keadilan di luar undang-undang) dalam kehidupan masyarakat.
4.             Anwarul Yaqin, sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, mengemukakan bahwa “…law plays only one regulates and influences human behaviour. Moral and social rules, though less explicit and less formal in their nature and content, also play a significant role in society’s efforts to control behoviour.

Disamping penanggulangan korupsi melalui sarana hukum pidana maka kebijakan penanggulangan tindak pidana korupsi juga harus diusahakan dan diarahkan pada usaha-usaha untuk mencegah dan menghapus faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya korupsi. Sudarto menyatakan bahwa:[27]
Suatu “Clean Government”, dimana tidak terdapat atau setidaktidaknya tidak banyak terjadi perbuatan-perbuatan korupsi, tidak bias diwujudkan hanya dengan peraturanperaturan hukum, meskipun itu hukum pidana dengan sanksinya yang tajam. Jangkauan hukum pidana adalah terbatas. Usaha pemberantasan secara tidak langsung dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan di lapangan politik, ekonomi, dan sebagainya.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas menunjukan bahwa upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui upaya represif tidak menjadi efektif lagi bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Dewasa ini upaya preventif melalui kriminologi dalam mengkaji sebab-sebab kejahatan lebih efektif bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Kajian analisi kriminogen terhadap suatu kejahatan dapat menumbuhkan kesadaran hukum bagi masyarakat.Kesadaran hukum berarti kesadaran tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain. Ini berarti kesadaran akan kewajiban hukum kita masing-masing terhadap orang lain. Kesadaran hukum mengandung sikap tepo sliro atau toleransi. Kalau saya tidak mau diperlakukan demikian oleh orang lain, maka saya tidak boleh memperlakukan orang lain demikian pula, sekalipun saya sepenuhnya melaksanakan hak saya.
Hasil analisis kriminogen mengenai sebab-sebab terjadinya kejahatan korupsi dewasa ini, dapat dijadikan bahan bagi aparat penegak hukum didalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait kesadaran hukum bagi masyarakat khususnya mengenai tindak pidana korupsi.

III.        Penutup
A.  Kesimpulan
Penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui upaya represif di Indonesia, dewasa ini tidak berjalan efektif karena meningkatnya kasus-kasus korupsi yang menjerat para pemegang kekuasaan. Kebijakan pemidanaan tindak pidana korupsi belum menimbulkan efek jera bagi calon pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
Alternatif lain upaya penegakan hukum yaitu melalui upaya preventif, upaya preventif disini melalui analisis kriminogen mengenai sebab-sebab kejahatan korupsi. Hasil kajian kriminogen sebab-sebab kejahatan korupsi dapat dijadikan bahan bagi aparat penegak hukum dalam melakukan upaya preventif yaitu: melalui sosialisasi kepada masyarakat, menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tidak melakukan korupsi.
Maka dari itu urgensi kriminogen didalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia terdapat pada upaya preventif, dikarenakan upaya represif dewasa ini belum menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga anggapan bahwa menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat melalui kajian kriminogen sebab-sebab kejahatan lebih efektif sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi di Indonesia.

B.  Saran
Sarana penanggulangan korupsi di luar hukum pidana dapat dilakukan melalui: pencegahan tanpa pidana, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa, serta pendidikan kesadaran hukum masyarakat dengan menumbuhkan budaya malu untuk melakukan korupsi, karena pada dasarnya indikator keberhasilan pemberantasan korupsi harus dilihat dari semakin berkurangnya kasus korupsi yang ditangani, bukannya karena tidak ada perkara korupsi yang ditangani maka dianggap tidak berhasil memberantas korupsi.

Daftar Pustaka

Arief Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti).
_____________________, 2007,  Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta.
Atmasasmita Romly, 2013, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung.
Djaja Ermansjah, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta.
Hagan Frank E, 2013, Pengantar Kriminologi Teori Metode dan Perilaku Kriminal, Kencana Prenada Group, Jakarta.
Hamzah Andi, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta).
_____________, 2005, Tindak Pidana Korupsi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Hartanti Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika).
___________, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Ediisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Hamid Edi Suandi dan Muhammad Sayuti (penyunting), 1999, Menyingkap Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta.
Lamintang P.A.F, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995).
Priayanto Anang, 2012, Kriminologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta.
Rahardjo Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
Rukmini Mieni,2009, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung.
Setiadi Edi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Soedjono. D, 1979, Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan kejahatan (Crime Prevention),   Alumni Bandung,)
Sudarto, 1975, Hukum Pidana Jilid I A-B, FH Undip, Semarang.
_______, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni).
Susanto, 2011, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta

Sumber Internet:




[1] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 111.
[2] Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting), Menyingkap Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. V.
[4] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 130.
[5] Susanto, Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hlm.1.
[6] Priayanto Anang, Kriminologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, hlm. 20.
[7] Ibid, hlm. 22.
[8] Priyanto Anang, Ibid, hlm. 25.
[9] Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A-B, FH Undip, Semarang, 1975, hal 31.
[10] P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 181.
[11] Ermansjah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, hal 6.
[12] Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Ediisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
[13] Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[14] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 127
[15] Andi Hamzah, Tindak Pidana Korupsi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 10
[16]  Romly Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2013,  hlm. 33.
[17] Soedjono. D. Konsepsi Kriminologi dalam usaha penanggulangan kejahatan (Crime Prevention),   Alumni Bandung, 1979, hlm.5.

[18] Priyanto Anang, Op.Cit, hlm. 22.
[19] Romly Atmasasmita, Op.Cit, hlm. 33.
[20] Priyanto Anang, Op.Cit, hlm. 23.
[21]  Frank E.Hagan, Pengantar Kriminologi Teori Metode dan Perilaku Kriminal, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2013, hlm. 212.
[22] Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu, hlm. 70.
[23] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 26.
[24] Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta 1991), hal. 18.
[25] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 19.
[26] Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 42.
[27] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 124.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in