Skip to main content

Kajian Atas Kasus Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik Oleh Dokter (Berdasarkan Teori Efektifitas Hukum)


I.              Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi pada era ini era globalisasi telah berkembang sedemikian pesatnya. Teknologi yang merupakan produk dari modernitas telah mengalami lompatan yang luar biasa, karena sedemikian pesatnya, pada gilirannya manusia, yang kreator teknologi itu sendiri kebingungan mengendalikannya. Bahkan bisa dikatakan teknologi berbalik arah mengendalikan manusia. Perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan mengingat tindakan perjudian, penipuan, terorisme, penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian aktifitas pelaku kejahatan di dunia maya. Dunia maya tersebut seperti memiliki dua sisi yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi internet mampu memberikan manfaat dan kemudahan bagi para penggunanya terutama dalam hal informasi dan komunikasi. Namun di sisi lain dampak negatif dan merugikan juga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh para pelaku yang kurang bertanggung jawab.[1]
Sebagai contoh kasus di Tanggerang antara dr. Ira Simatupang dengan dr. Budi Gunawan. Berawal dari surat pemberhentian dari pekerjaannya,. Ira Simatupang  seorang dokter kejadian tersebut, selanjutnya dokter Ira Simatupang mengirim email yang berisi muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Budi Gunawan (dokter kepala) melalui alamat email pada jaringan Internet dengan menggunakan fasilitas Handphone, dimana Handphone  milikya tersebut sudah diseting dengan fasilitas jaringan Internet selanjutnya dr. Ira Simatupang menulis berita yang berisi muatan dan/atau pencemaran nama baik dr. Budi Gunawan . Kemudian dr. Budi Gunawan melaporkan ke polisi bahwa dr. Ira Simatupang telah melakukan penghinaan terhadap dr. Budi Gunawan.
Awalnya, teknologi (internet)  merupakan sesuatu yang bersifat netral. Disini diartikan bahwa teknologi itu bebas nilai. Teknologi tidak dapat dilekati sifat baik dan jahat. Akan tetapi pada perkembangannya kehadiran teknologi pihak-pihak yang berniat jahat untuk menyalah gunakannya. Dalam perspektif ini, dengan demikian teknologi bisa dikatakan juga merupakan faktor kriminogen, faktor yang menyebabkan timbulnya keinginan orang untuk berbuat jahat atau memudahkan terjadinya tindak kejahatan Pada dekade terakhir, telah muncul kejahatan dengan dimensi baru, sebagainya akibat dari penyalagunaan internet. Seperti halnya di dunia nyata, sebagai dunia maya, internet ternyata mengundang tangan-tangan kriminal dalam beraksi, baik untuk mencari keuntungan materi maupun untuk sekedar melampiaskan keisengan. Hal ini memunculkan fenomena khas yang sering disebut dalam bahasa asing sebagai cyber crime (kejahatan di dunia maya). Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk mengambil judul: Kajian Atas Kasus Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik Oleh Dokter (Berdasarkan Teori Efektifitas)

II.           Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan permasalahan pokok dalam makalah ini sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah konstruksi hukum dan efektifitas penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik ?

III.        Tinjauan Pustaka
Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hukum ini ada yang mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai penghinaan. Penghinaan atau dalam bahasa asing disebut defamation, secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Berdasarkan penjelasan dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, penghinaan memiliki pengertian yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan yang dapat dicemarkan.
Mengenai perbuatan yang menyinggung kehormatan dalam lapangan seksuil tidak termasuk dalam kejahatan “penghinaan”, akan tetapi masuk kejahatan kesopanan atau kejahatan kesusilaan. Menurut Leden Marpaung, dipandang dari sisi sasaran atau objek delicti, yang merupakan maksud atau tujuan dari pasal tersebut yakni melindungi kehormatan, maka tindak pidana kehormatan lebih tepat. Pembuat undang-undang sejak semula bermaksud melindungi:[2]
·                Kehormatan, yang dalam bahasa belanda disebut eer.
·                Nama baik, yang dalam bahasa belanda disebut geode naam.
Akan tetapi, jika dipandang dari sisi feit atau perbuatan, maka tindak pidana penghinaan tidak keliru.
Dalam sejarah hukum Indonesia, konsep mengenai penghinaan pernah dirumuskan oleh Mahkamah Agung sebagai akibat dari penafsiran terhadap haatzai artikele yang delik pokoknya terdapat pada Pasal 154-Pasal 156 dan verpreidings delict yang delik pokoknya terdapat pada Pasal 155-Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam perumusan tersebut, penghinaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan mengeluarkan pernyataan perasaan permusuhan, benci atau meremehkan (merendahkan), yang ditujukan terhadap pemerintah ataupun terhadap golongan rakyat dalam pasal-pasal haatzai. Apabila dilihat secara tekstual pasal-pasal tersebut memidanakan mereka yang di muka umum mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau meremehkan (merendahkan), hal ini bukanlah konsep penghinaan seperti halnya yang pernah diterjemahkan dari kata-kata minachting terhadap Pemerintah atau golongan rakyat tertentu. Dengan demikian, karena adanya interpretasi itu oleh Mahkamah Agung, maka pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan (yang dimana berasal dari kata vijandschap, haat of minachting) dapat diartikan sebagai pernyataan perasaan yang berbentuk penghinaan (in beledigende vorm).
Dari kata “atau” diantara kata “nama baik” dan “kehormatan”, bisa kita simpulkan bahwa keduanya yaitu “nama baik” dan “kehormatan” adalah dua hal yang berbeda dan bisa dibedakan, sekalipun seringkali terkait erat satu sama lain.[3] Dalam konsep penghinaan seringkali dikaitkan dengan kehormatan dari seseorang. Jika ditinjau dari segi istilah pengertian dari kehormatan dapat didasarkan atas beberapa pendapat, yaitu :
a.    De subjectieve opvatting
Yang dimaksud dengan pendapat ini adalah bahwa pengertian kehormatan dapat disamakan dengan “rasa kehormatan”. Pendapat ini karena beberapa alasan tidak lagi diterapkan oleh ilmu hukum maupun yurisprudensi. Alasan-alasan tersebut adalah:[4]
1)       Apabila pendapat ini dijadikan ukuran untuk menentukan apakah kehormatan seseorang tersinggung atau tidak, maka akan sulit jika yang dihadapi ialah orang-orang yang “rasa kehormatannya” tebal (overgevoeling) atau yang kurang atau yang sama sekali tidak mempunyai rasa kehormatan.
2)       Dengan menganut pandangan subjektif, maka hak untuk memberikan pendapat secara bebas menjadi berkurang.
3)       Bahwa dengan menganut pandangan ini, sebetulnya kita melepaskan de jurisdiche begrifsbepalingen dan memasuki psychologich.
b.    De objectieve opvatting
1)   Yang dimaksud dengan pendapat ini adalah bahwa pengertian kehormatan dapat didasarkan kepada dua pandangan, yang antara lain : Pandangan yang membatasi diri pada pengakuan nilai-nilai moral dari manusia;
2)   Pandangan yang hendak memperluas, yaitu tidak membatasi diri pada pengakuan nilai-nilai moral dari manusia, tetapi memperluasnya dengan semua faktor yang dapat digunakan sebagai pegangan oleh manusia.[5]

Kehormatan merupakan rasa harga diri (eergevoel, perasaan terhormat) yang muncul dalam batin seseorang. Jadi, “harga diri” merupakan sesuatu yang mengenai segi “intern” orang perorangan. Sedangkan “nama baik” merupakan penghargaan yang datang dari luar, dari masyarakat sekeliling, yang berkaitan dengan tindakan atau sikap seseorang, atau kedudukan seseorang dalam masyarakat. “Nama baik” bersifat extern.
Para pakar belum sependapat tentang arti dan definisi kehormatan dan nama baik, tetapi sependapat bahwa kehormatan dan nama baik menjadi hak seseorang atau hak asasi setiap manusia. Selanjutnya, dari kata “atau” tersebut di atas, bisa disimpulkan bahwa syarat melanggar nama baik atau menyerang kehormatan bukan merupakan syarat kumulatif untuk adanya penghinaan, melainkan merupakan syarat alternatif. Dipenuhinya salah satu saja dari dua unsur itu (di samping unsur-unsur khusus lain) sudah cukup untuk adanya tindak pidana penghinaan.[6]
Pencemaran nama baik / penghinaan / fitnah yang disebarkan secara tertulis dikenal sebagai libel, sedangkan yang diucapkan disebut slander. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa penghinaan/pencemaran nama baik bisa dilakukan dengan cara lisan atau tulisan (tercetak).
Dalam bukunya, Oemar Seno Adji menyatakan pencemaran nama baik dikenal dengan istilah penghinaan, dimana dibagi menjadi sebagai berikut :
a.   Penghinaan materiil
Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tertulis, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.
b.   Penghinaan formil
Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan. Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.
1.   Teori Pemidanaan
Ada tiga teori pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana yaitu:
a.   Teori Absolut atau Teori Pembalasan
Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
b.   Teori Relatif atau Teori Tujuan
Berdasarkan teori ini bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.  Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat.
c.   Teori Gabungan
Teori Gabungan, pertama kali diajukan oleh Pellegrino Rossi (1787-1884). Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter utilitariannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.
2.   Jenis-Jenis Pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia hanya mengenal dua jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yakni:
1.      Pidana Pokok
a.       Pidana mati.
b.      Pidana penjara.
c.       Pidana kurungan.
d.      Pidana denda.
2.      Pidana Tambahan
a.       Pencabutan dari hak-hak tertentu.
b.      Perampasan barang-barang tertentu.
c.       Pengumuman dari putusan hakim.

IV.        Pembahasan
Pencemaran nama baik  secara harafiahnya adalah tindakan untuk menjadikan seseorang itu rendah diri "humble", atau menjatuhkan taraf seseorang itu dalam masyarakat. Bagaimanapun, istilah ini mempunyai banyak persamaan dengan emosi atau perasaan malu. Pencemaran nama baik secara kebiasaannya bukanlah merupakan pengalaman yang elok, kerana ia mengurangkan ego.  Pencemaran nama baik tidak memerlukan penglibatan orang lain, ia boleh jadi kesadaran mengenai taraf diri seseorang, dan boleh menjadi satu jalan bagi menghapuskan perasaan bangga yang tidak sepatutnya. Pencemaran nama baik terhadap orang lain sering digunakan sebagai satu cara seseorang untuk menunjukkan kuasanya kepada orang lain, dan merupakan bentuk biasa penderaan atau penekanan.[7]
Hal atau keadaan yang dikomunikasikan atau dipublikasikan lewat internet dapat dikatakan merupakan penghinaan atau pencemaran nama baik bila hal atau keadaan merupakan suatu yang merusak reputasi ataupun yang membawa kerugian material bagi pihak korban. Publikasi atau komunikasi tentang diri pihak lain dapat dikatakan pencemaran nama baik, baik dilakukan dengan kata-kata atau tulisan yang terang-terangan maupun dengan bentuk yang tersembunyi, namun mengandung konotasi merusak reputasi seseorang atau suatu badan.
Untuk dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik , maka unsur-unsur yang harus dipenuhi adalah:
-       Adanya hal atau yang tidak benar yang dikomunikasikan lewat intenet
-       Hal atau keadaan tersebut mengenai diri seseorang atau suatu badan
-       Hal atau keadaan tersebut dipublikasikan kepada puhak lain
-       Publikasi tersebut mengakibatkan kerugian bagi seseorang yang menjadi objek[8]


Di dalam Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik terdapat 2 unsur, yaitu
1.    unsur obyektif dan
2.    unsur subyektif.
Unsur-unsur obyektif di dalam pasal tersebut adalah:
1. Perbuatan:
·      Mendistribusikan
·      Mentransmisikan
·      Membuat dapat diaksesnya.
2.  Melawan hukum, yaitu yang dimaksud dengan “tanpa hak”
3. Obyeknya adalah informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memuat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur subyektif adalah berupa kesalahan, yaitu yang dimaksud dengan “dengan sengaja”. Ketiga perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi dan/atau dokumen elektronik tidak dapat diketemukan penjelasannya di dalam Undang-Undang tersebut baik dari sisi yuridis maupun sisi teknologi informatika. Kalau kita lihat konteks pengundangan ini, maka sebenarnya Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini merupakan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena merupakan pengkhususan dari penghinaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di ranah internet.
Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 s.d 342 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Melihat pada penjelasan R. Soesilo dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dapat kita lihat bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa macam pencemaran nama baik yakni :[9]

1.    Penistaan (Pasal 310 ayat (1))
Menurut R. Soesilo, supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka penghinaan itu harus dilakukan dengan cara “menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu” dengan maksud agar tuduhan itu tersiar (diketahui oleh orang banyak). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan sebagainya, cukup dengan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang memalukan.[10]
2.    Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2))
Menurut R. Soesilo sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 310 KUHP, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan “menista dengan surat”. Jadi seseorang dapat dituntut menurut pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan dilakukan dengan surat atau gambar.
3.    Penghinaan ringan (Pasal 315)
Penghinaan seperti ini dilakukan di tempat umum yang berupa kata-kata makian yang sifatnya menghina. R Soesilo, dalam penjelasan Pasal 315, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinamakan “penghinaan ringan”.[11]
Dalam menangani kasus pidana penghinaan melalui media internet  aparat kepolisian menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai lex specislis didalam tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan , yaitu pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ketentuan pidana terkait pencemaran nam baik yang dilakukan melalaui jaringan internet diatur didalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi bahwa:
“Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dalam menangani kasus pidana penghinaan melalui media internet  aparat kepolisian menggunakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dihubungkan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai lex specislis didalam tindak pidana pencemaran nama baik/penghinaan , yaitu pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dinyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ketentuan pidana terkait pencemaran nam baik yang dilakukan melalaui jaringan internet diatur didalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi bahwa:
“Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pemidanaan atau pengenaan pidana bagi pelaku tindak pidana memiliki hubungan erat antara kehidupan pelaku tindak pidana dengan masyarakat, terutama menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan dimasyarakat yaitu nyawa dan kemrdekaan atau kebebasan. Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. (Djoko Prakoso, 1983:13).
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-peruatan yang dilarang oleh undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku. Hal demikian menempatkum pidana dalam pengertian hukum pidana materiil. (Bambang Waluyo, 2000:6). Untuk mengetahui pengertian yang lebih jelas, berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian menurut beberapa ahli hukum:
a.    Sudarto
Yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
b.   Roeslan Saleh
Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara kepada pembuat delik itu. Dari definisi tersebut dapat diambil suatu pengertian bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
·       Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyanangkan
·       Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
·       Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang (Muladi, 1989:4).

Dari ketiga unsur tersebut, Alf Rose menambahkan adanya unsur pencelaan kepada diri pelaku dengan tujuan untuk membedakan antara pidana dan perlakuan (treatment) (Muladi, 1989:4).


Menurut Alf Rose, concept of punishment bertolak pada dua syarat atau tujuan, yaitu:
1.    Pidana ditujukan pada pengenaan pendritaan kepada orang yang bersangkutan.
2.    Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku (Muladi, 1989:4).

Menurut Andi Hamzah bahwa teori-teori tentang tujuan pidana dibagi menjadi tiga kelompok:
1.    Teori absolut atau pembalasan, bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak, karena dilakukan sutu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Tokoh yang menganut teori ini yaitu Immanuel Kant dan Leo Polak.
2.    Teori relatif, bahwa teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pidana untuk provensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan.
3.    Teori gabungan, menurut Van Bemmelan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan memperisapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat (Andi Hamzah, 1985:17).

Pencemaran nama baik pada dasarnya merupakan tindakan yang sudah dianggap sebagai bentuk ketidakadilan sebelum dinyatakan dalam undang-undang karena telah melanggar kaidah sopan santun. Bahkan lebih dari itu, Pencemaran nama baik dianggap melanggar norma agama jika dalam substansi pencemaran itu terdapat fitnah. Ada tiga catatan penting terkait dengan delik pencemaran nama baik yaitu:
-  Pertama, delik itu bersifat amat subyektif. Artinya, penilaian terhadap pencemaran nama baik amat bergantung pada orang atau pihak yang diserang nama baiknya. Karena itu, pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh polisi jika ada pengaduan dari orang atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.
-  Kedua, pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran. Artinya, substansi yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku.
-  Ketiga, orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu.

Tindakan yang dilakukan oleh pelaku pencemaran nama baik di internet tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana karena telah mengganggu ketertiban umum dan adanya pihak yang ditugikan dari adanya tindakan pencemaran nama baik melalui internet tersebut. Tindak pidana pencemaran nama baik melalui internet dapat digolongkan ke dalam kejahatan dunia maya. Tindak pidana tersebut telah diatur dalam pasal 27 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentranmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik. Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal tersebut adalah :
1.    Setiap orang
Orang adalah orang perseorangan, baik warga Indonesia warga negara asing, maupun badan hukum.
2.    Dengan sengaja dan tanpa hak
Dengan sengaja dan tanpa hak adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan telah direncanakan atau diniatkan terlebih dahulu dan tanpa sepengetahuan dari orang yang berhak.
3.    Mendistribusikan dan / atau mentranmisikan dan / atau membuat dapat diaksesnya.
Mendistribusikan dan / atau mentranmisikan dan / atau membuat dapat diaksesnya adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan untuk menyebarluaskan tindak kejahatannya supaya dapat diketahui oleh orang banyak.
4.    Informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik.
Informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah sehingga di dalamnya mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik seseorang.

Dasar hukum yang berpotensi dapat dipakai untuk menjerat seorang yang dianggap telah melakukan pencemaran nama baik antara lain adalah Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik dan pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana :
1)   Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.
2)   Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan
3)   Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.

Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik :
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik :

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dan khusus untuk milis, dimana tulisan dimuat dalam media elektronik (dalam hal ini internet), maka pencemaran nama baik dalam suatu milis termasuk dalam kategori yakni pencemaran melalui informasi elektronik, yang sanksi pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, lebih berat dari sekedar pencemaran biasa. Tahun 2008 Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik.
Perbedaan pendapat soal substansi Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada pendapat bahwa penafsiran Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berkaitan dengan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana unsur “di muka umum” berlaku pula dalam penyebaran informasi elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, misalnya informasi elektronik yang disebarkan lewat email dikatakan tidak memenuhi unsur di muka umum karena sifatnya tertutup antar individu. Sementara, pendapat lain bahwa unsur di muka umum tidak dapat digunakan dalam penyebaran informasi elektronik karena kekhususan penyebaran informasi elektronik: cepat, berbagai jalur (seperti email, web, sms), dan jangkauan yang lebih luas, sehingga informasi elektronik yang disebarkan lewat email tidak perlu dipersoalkan dan dikaitkan dengan unsur di muka umum, dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjangkau semua jenis penyebaran informasi elektronik baik tertutup (misalnya lewat email), ataupun terbuka (misalnya lewat website).
Perkembangan hukum pidana dewasa ini tidak menempatkan pemidanaan sebagai upaya pembalasan atas perbuatan seorang pelaku tindak pidana, tetapi mulai bergeser menjadi konsep pemasyarakatan. Pemasyarakatan disini diartikan bahwa seorang pelaku tindak pidana didalam menerima pidana tidak hanya semata-mata untuk menebus dosanya sebagai pelaku tindak pidana, melainkan seseorang di jatuhi pidana guna diberi pembinaan nilai-nilai kemasyarakatan agar dapat kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemidanaan terhadap pelaku pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat menggunakan teori efektivitas. Teori efektivitas disini guna menganalisis apakah, penerapan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana pencemaran nama baik tersebut sudah efektif dan tidak bertentangan dengan moralitas didalam masyarakat.
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik merupakn delik aduan, delik aduan disini dapat menjadi dasar efektifitas penerapan sanksi terhadap pelaku pencemaran nama baik melalui media elektronik. Khusus perkara pidana yang merupakan delik aduan, suatu perkara yang merupakan delik aduan dapat diselesaikan secaa damai apabila korban menyepakati untuk menghentikan proses perkara pencemaran nama baik.
Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan bahasa inggris, yaitu effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan effectiviteit van de juridische theory, bahasa Jermannya, yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie.



Hans Kelsen menyajikan definisi tentang efektivitas hukum. Efektivitas hukum adalah:
“Apakah orang-orang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar-benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi”[12]


Berdasarkan definisi efektivitas hukum tersebut, bagi tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik yang merupakan delik aduan sehingga dapat diupayakan perdamaian dan/atau dengan mediasi. Akan tetapi upaya perdamaian dapat dilakukan apabila adanya itikad baik dari dr. Ira Simatupang untuk meminta maaf kepada dr. Budi Gunawan. Apabila upaya perdamaian itu gagal maka perbuatan dr. Ira Simatupang dapat diproses sesuai hukum positif yang berlaku. Penjatuhan sanksi pidana bagi dr. Ira Simatupang merupakan merupakan langkah yang tepat guna efektivitas sanksi bagi dr. Ira Simatupang mengingat tidak adanya itikad baik untuk meminta maaf kepada dr. Budi Gunawan.
Konsep efektivitas dalam definisi Hans Kelsen difokuskan pada subjek dan sanksi. Subjek yang melaksanakannya, yaitu orang-orang atau badan hukum. Orang-orang tersebut harus melaksanakan hukum sesuai dengan unyinya norma hukum. Bagi orang-orang yang dikenai sanksi hukum, maka sanksi hukum benar-benar dilaksanakan atau tidak.
Anthony Allot mengemukakan tentang efektivitas hukum. Ia mengemukakan bahwa:[13]
“Hukum akan menjadi efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelesaikannya.”

Lawrence Friedman mengemukakan tiga unsur yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum. Ketiga unsur tersebut adalah:[14]
1.    Struktur sistem hukum, yang terdiri dari:
·      Unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang mereka periksa dan bagaimana serta mengapa);
·      Cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya; dan
·      Bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak orang yang duduk di Komisi Dagang liberal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, prosedur yang diikuti.
2.    Substansi, meliputi:
·      Aturan, norma, dan perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum;
·      Produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.
3.    Budaya hukum, dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
·      Kultur hukum eksternal, adalah kultur hukum yang ada pada populasi umum;
·      Kultur hukum internal, adalah kultur hukum para anggota masyarakat yang menjalankan tugas-tugas hukum yang terspesialisasi.

Hakim dan kewajiban-kewajibannya seperti tersirat dalam pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 48 tahun 2009 adalah sebagai 'sense of justice of the people". Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Artinya untuk melaksanakan peran tersebut, hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tugas hakim bukan hanya sebagai penerap hukum (Undang-undang) atas perkara-perkara di Pengadilan atau 'agent of conflict". Tetapi seharusnya juga mencakup penemuan dan pembaruan hukum. Hakim yang ideal, selain memiliki kecerdasan yang tinggi, juga harus mempunyai kepekaan terhadap nilai-nilai keadilan, mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai agama, kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat yang hidup dalam masyarakat melalui setiap putusan yang dibuatnya. Karena pada hakikatnya, mahkota seorang hakim itu bukan pada palunya, melainkan pada bobot atau kualitas dari putusan yang dihasilkan.
Urgensi pertimbangan hakim dalam penerapan sanksi tindak pidana untuk memenuhi keadilan sangat beralasan juga harus ada dan tertulis dalam putusannya karena ;
a.    Bahwa putusan hakim harus berpedoman pada unsur yuridis, filosofis dan sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
b.    Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat dari terdakwa. Penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
c.    Surat putusan pemidanaan harus memuat pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan kaedaan, beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

Seorang hakim didalam menjatuhkan putusan seyogyanya tidak hanya berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum saja, akan tetapi juga memperhatikan faktor-faktor sosial dan/atau nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat. Sehingga putusan hakim tidak bertentangan dengan moralitas dan/atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Dalam kasus dr.Ira Simatupang yang diduga mencemarkan nama baik dr.Budi Gunawan melalui media elektronik, sifat jahat dr.Ira Simatupang muncul tidak semata-mata tanpa alasan. Sifat jahat dr.Ira Simatupang muncul ketika diterimanya surat pemberhentian kerja sedangkan dr.Ira Simatupang sedang menempuh pendidikan spesialis lanjutan. Dari situ sifat jahat menghina dr.Budi Gunawan itu muncul dengan menulis pesan singkat yang bermuatan penghinaan kepada dr.Budi Gunawan.
Sesuai ketentuan hukum pidana, dr.Ira Simatupang dapat dikenakan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana penjara 6 (enam) tahun dengan denda 1.000.000.000,- (satu milyar).
Akan tetapi ada beberapa pertimbangan guna efektifnya berdasarkan hokum positif sanksi bagi dr. IS sebagai pelaku pencemaran nama baik, yaitu:
1.    Profesi Dokter
Profesi dokter merupakan merupakan profesi yang mulia, tentunya seorang dokter adalah orang yang berpendidikan seharusnya dapat bertingkah laku dengan baik.
2.    Sifat jahat,
Bahwa sifat jahat dokter Ira Simatupang tindak menunjukan bahwa dirinya adalah orang yang berpendidikan dan juga adanya itikad baik dari dokter Ira Simatupang untuk meminta maaf, sehingga layak untuk dijatuhi pidana.

Pidana bersyarat merupakan alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang bersifat non intitusional yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana, apabila hakim berkeyakinan dan melalui pengamatan teliti terhadap dilakukannya pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang telah di tetapkan hakim kepada terpidana, hal ini dimaksudkan untuk mencegah kejahatan dan menghormati hak asasi manusia. Suatu sanksi pidana mempunyai dua aspek penting, yaitu untuk kepentingan terpidana itu sendiri dan untuk kepentingan masyarakat.
Apabila hakim yakin bahwa dengan menjalani pidana penjara terpidana akan menjadi lebih baik tentu saja terdakwa akan dijatuhkan pidana penjara. Tetapi apabila keyakinan hakim bahwa pidana penjara akan menjadikan terpidana lebih buruk maka alternatif yang lain adalah bahwa terdakwa dapat dijatuhkan pidana bersyarat.
Dalam teori pemidanaan, khususnya teori relatif yang menyatakan bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut dengan teori tujuan.
Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini, terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan, melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, makin dirasakan bahwa pidana tidaklah semata-mata lagi merupakan pembalasan, melainkan harus juga berfungsi memperbaiki terpidana itu sendiri. Karena di dalam hukum pidana dikenal dengan hukuman percobaan. Karena dalam pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memberikan sanksi alternatif, maka hakim memberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan pasal tersebut. Didalam pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dikenal dengna istilah, ”terdakwa tidak usah menjalani pidana penjara dengan waktu tertentu”. Pasal 14b ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menegaskan ” Masa percobaan dimulai pada saat putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam undang-undang.
Pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan pidana percobaan merupakan salah satu bentuk putusan hakim yang tidak semata-mata ”memberikan hukuman” kepada pelaku, tapi juga pidana percobaan dijatuhkan karena ”tidak bersifat balas dendam” dan ingin mendidik agar kepada terdakwa sehingga terdakwa menyadari kesalahannya. Dengan alasan itulah, hukum pidana selain memberikan kepastian kepada khalayak ramai bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan kesalahan menurut hukum pidana juga menggapai keadilan yang diberikan kepada terdakwa.
Pidana bersyarat adalah pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya. Muladi menyatakan bahwa, “Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana”.[15]
Disinilah pentingnya sebuah sistem pemidanaan yang manusiawi, ada individualisasi pidana, artinya dalam memberikan sanksi perlu melihat siapa yang melakukan dan dalam keadaan apa dia melakukan tindak pidana. R. Soesilo menyatakan: Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.[16]
Asas legalitas merupakan pijakan hakim dalam memutus suatu perkara, namun putusan hakim juga harus berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu:
a.    Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama;
b.    Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan;
c.    Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Unsur filosofis dan sosiologis dalam waktu singkat dan perkara pidana yang amat banyak, tidak mudah dicapai oleh hakim.

Unsur yuridis disini adalah adanya kepastian hukum. Dalam hal pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Peraturan ini memiliki akar filosofi yang dalam yaitu untuk melindungi kehormatan manusia dari manusia lainnnya. Sedangkan sosiologis, memandang sejauh mana efektivitas peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam masyarakat.

V.           Kesimpulan
Perbuatan dr.Ira Simatupang telah memenuhi unsur-unsur didalam ketentuan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana jo Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman pidana penjara 6 (enam) tahun dan denda sebesar 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Akan tetapi ada beberapa pertimbangan guna efektivitas penerapan sanksi bagi dr.Ira Simatupang, yaitu:
1.    Profesi Dokter, bahwa melihat profesi pelaku adalah seorang dokter yang dapat dipandang berpendidikan (intelek), seyogyanya dapat bertingkah laku secara sopan dan santun dalam kehidupan sehari-hari.
2.    Sifat jahat, bahwa sifat jahat dokter Ira Simatupang tindak menunjukan bahwa dirinya adalah orang yang berpendidikan dan juga adanya itikad baik dari dokter Ira Simatupang untuk meminta maaf, sehingga layak untuk dijatuhi pidana.

Penjatuhan sanksi pidana kepada dr. Ira Simatupang adalah tepat karena tidak adanya itikad baik untuk meminta maaf kepada dr. Budi Gunawan. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada dr. Ira Simatupang seharusmya dapat diperberat sesuai ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dengan ancaman pidana penjara 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 1000.000.000,- (satu milyar). Akan tetapi sanksi yang diterima bagi pelaku pencemaran nama baik pada umumnya adalah hukuman percobaan. Disini hakim didalam menjatuhkan putusan kurang memperhatikan efektivitas berdasarkan hukum positif di Indonesia.  Dampak dari penjatuhan sanksi adalah tidak adanya efek jera bagi pelaku dan masyarakat, dapat juga menciderai keadilan di masyarakat.Penjatuhan sanksi pidana kepada dr. Ira Simatupang adalah tepat karena tidak adanya itikad baik untuk meminta maaf kepada dr. Budi Gunawan.



Daftar Pustaka

Kelsen Hans, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Bandung, Nusa Media.
Partodiharjo, Soemarno, 2009, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang         informasi Dan Transaksi Elektronik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Raharjo, Agus, 2002, Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan, Bandung, Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti.
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2014, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta, Rajawali Pers.
Soesilo R,1996,  Kitab Undang-Undang hukum Pidana, Politea, Bogor.
Sitompul, Asri, 2001, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Cyber Space,Bandung, PT. Citra Adiyta Bakti.
Wahid, Abdul dan Mohamad Labib, 2005,  Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Bandung, PT.refika Aditama.

Sumber Undang-Undang:
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58)
Undang – Undang No.1  Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana  ( KUHP )



[1] Soemarno Partodihardjo, Tanya Jawab Sekitar Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang         informasi Dan Transaksi Elektronik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009, hlm 70
[2] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009,  hlm 7.
[3] J. Satrio, Gugat Perdata Atas Dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 26. 
[4] Ibid. hlm. 54.
[5] Ibid hlm. 55.
[6] Ibid. hlm. 27.
[7] http://ms.wikipedia.org/wiki/PencemaranNamaBaik di akses pada 20 Mei 2015 | 00.15 WIB
[8] Asri Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum Cyber Space,Bandung, PT. Citra Adiyta Bakti, 2001. Hal.75
[9] R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politea, Bogor, hlm 225.
[10] Ibid, hlm 226.
[11] Ibid, hlm 228.
[12] Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Bandung, Nusa Media, 2006, hlm. 39.
[13] Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta, Rajawali Pers, 2014. hlm. 302.
[14] Ibid, hlm. 305.
[15]  Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 33. hal. 195-196.
[16] R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, (Bogor: Politea, 1991), hal. 53.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in