Skip to main content

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

I.              Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi dewasa ini sudah memasuki kategori yang sangat mengkhawatirkan. Berbagai persoalan yang timbul di negara ini disebabkan oleh tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral serta mental masyarakat.[1]
Kerugian secara ekonomi dari korupsi, jelas dapat dirasakan oleh masyarakat, tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa, seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam bidang politik, praktek korupsi menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun diskriminasi penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian dalam bidang sosial-budaya dan moral, praktek korupsi telah menimbulkan “penyakit” dalam masyarakat, bahwa perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai perbuatan yang halal dan wajar.[2]
Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pada saat ini belum menimbulkan berjalan maksimal. Oleh karena itu, penegakan hukum tindak pidana korupsi perlu dikaji ulang agar supaya penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan maksimal. Persoalan yang timbul disebabkan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya sering terjadi tumpangtindih antara aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia. Saat menjalankan tugas dan fungsi kedua lembaga negara ini, terdapat beberapa fakta yang membuktikan adanya tumpang-tindih antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian, misalnya dalam menyidik kasus yang melibatkan salah satu petinggi Kepolisian Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada proyek simulator SIM pada Lembaga Kepolisian Republik Indonesia. Antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian sama-sama mengusut kasus dugaan korupsi tersebut, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisian telah menetapkan Djoko dan tiga orang lainya sebagai tersangka, yakni Brigadir Jendral (Pol) Didik Purnomo, Sukotjo S Bambang, dan Budi Susanto.
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat baik itu merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum, dengan perkataan lain baik secara preventif maupun represif. Sejauh ini peraturan yang mengatur tentang penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap keluhuran harkat martabat manusia di dalam proses pidana pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[3]
Pasal 6 huruf a dan b Undang-undang No. 30 tahun 2002 mengatur tentang tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu: koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan supervisi teradap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut belum dipergunakan dengan maksimal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama ini praktik supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi di daerah masih sebatas formalitas saja. Misalnya kunjungan Komisi Pemberantasan Korupsi di berbagai daerah untuk memonitor penangnanan kasus korupsi di kepoli sian dan kejaksaan, apalagi yang di daerah, belum menampakkan pola yang berkesinambungan, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dapat mempunyai database yang menyeluruh mengenai penanganan kasus-kasus korupsi di berbagai daerah. Dengan demikian sulit bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memaksimalkan kewenangan sepervisinya. Selain itu di duga terjadi “ego” sektoral, yakni antara lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian dan kejaksaan) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keadaan itu menjadi lebih berat dengan adanya kemungkinan Kejaksaan Agung dan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai kasus-kasus korupsi di berbagai daerah yang tengah ditanganinya atau tengah ditangani institusi di bawahnya secara menyeluruh pula.[4]
II.           Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia !
2.      Faktor apa yang menghambat penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia !
3.      Bagaimana penyidikan tindak pidana korupsi di masa yang akan datang !
III.        Pembahasan
Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksanaan tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan bersentuhan dengan pembatasan hak-hak asasi manusia (tersangka) maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak boleh dikesampingkan Beberapa asas penting yang berlaku dalam proses penyidikan ini adalah:
1.    Asas Legalitas
Asas ini disebut dalam konsideran Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana huruf a, yang berbunyi :
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Menurut Yahya Harahap[5] Ketentuan dalam konsideran tersebut menunjukan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menganut asas legalitas karena meletakkan kepentingan hukum dan perundang-undangan diatas kepentingan-kepentingan yang lain sehingga menciptakan bangsa yang takluk di bawah “supermasi hukum”, yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.
Dalam tahap penyidikan, penyidik tidak boleh memberikan perlakuan yang diskriminatif pada tersangka. Penyidik juga tetap harus memberikan hak-hak yang diberikan oleh undang-undang terhadap seorang tersangka. Seperti hak untuk mendapat bantuan hukum, hak mendapat kunjungan rohaniawan, hak untuk mendapat perawatan kesehatan yang memadai dan sebagainya.
2.    Asas Praduga Tak Bersalah
Asas ini disebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dalam Penjelasan Umum butir 3 c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Asas pra duga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka/terdakwa yang semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.[6]
Dalam tahap penyidikan asas ini sangat konkrit pelaksanaannya,. cara-cara penyidikan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan sudah tidak sesuai lagi, karena pengakuan terdakwa bukan lagi menjadi alat bukti, sebagaimana pada masa HIR dimana pengakuan terdakwa merupakan salah satu jenis alat bukti.
3.    Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Asas-asas ini memberikan pedoman dan garis batas bagi para penegak hukum didalam melaksanakan tugasnya pada setiap tahap pemeriksaan. Penjabaran dari asas-asas ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses persidangan hingga berkekuatan hukum tetap. Selain itu ditentukan juga secara tegas batas waktu penahanan tersangka maupun terdakwa.
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut dalam kedudukan sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga walaupun dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan , orang tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur dan dijamin undang-undang.
4.    Asas Difernsiasi Fungsional
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jelas telah mengatur pembagian tugas dan wewenang antar aparat penegak hukum. Mulai dari tahap permulaan penyidikan oleh kepolisian, penuntutan, persidangan hingga eksekusi dan pengawasan pengamatan eksekusi. Dari tahap pertama hingga tahap akhir tersebut selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan dan terjadi pula fungsi pengawasan antar satu lembaga penegak hukum dengan lembaga hukum lainnya.
Menurut Yahya Harahap[7] asas differnsiasi fungsional secara institusional mempunyai maksud untuk:
1.   Melenyapkan tindakan proses penyidikan yang “saling tumpang tindih” (overlapping) antara kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang proses penyidikan yang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan.
2.   Menjamin adanya “kepastian Hukum” dalam proses penyidikan. Dengan differnsiasi ini, setiap orang sudah tahu dengan pasti bahwa instansinya yang berwenang memeriksanya pada tingkat penyidikan hanyalah “kepolisian”. Sehingga seorang tersangka sudah tahu dan dapat mempersiapakan diri pada setiap tingkat pemeriksaan yang dihadapinya.
3.   Ditujukan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian perkara. Jadi berarti, mengefektifkan tugas-tugas penegakan hukum kearah yang lebih menunjang prinsip peradilan yang cepar, tepat dan biaya ringan.
4.   Differnsiasi fungsional akan memudahkan pengawasan pihak atasan secara struktural. Karena dengan penjernihan dan pembagian tugas dan wewenang tersebut, monitoring pengawasan sudah dapat ditujukan secara terarah pada instnasi bawahan yang memikul tugas penyidikan. Hal ini juga akan sekaligus memudahkan perletakan tanggungjawab yang lebih efektif. Karena dengan differnsiasi , aparat penyidik tidak lagi dapat melemparkan tanggungjawab penyidikan kepada instansi lain. Melulu sudah bulat dan penuh menjadi tanggung jawabnya. Setiap kekeliruan dan kesalahan yang terjadi sepenuhnya menjadi beban yang harus dipikulnya seorang diri. Tidak lagi dapat mencampurbaurkan menjadi beban tanggungjawab instansi lain.
5.   Dengan asas ini sudah dapat dipastikan terciptanya keseragaman dan satunya hasil berita acara pemeriksaan. Yakni hanya berita acara yang dibuat oleh pihak kepolisian. Tidak akan dijumpai lagi adanya dua macam hasil berita acara penyidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan lain dalam berkas perkara.
5.    Asas Saling Kordinasi
Asas koordinasi dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana berkaitan erat dengan asas differensiasi fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun terjadi pembagian kewenangan yang tegas diantara masing-masing instansi penegak hukum disatu sisi, disisi lain tetap ada hubungan koordinasi diantara instansi tersebut dalam rangka jalannya proses penegakan hukum itu sendiri.
Menurut Yahya Harahap[8] dalam rangka untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyelahgunaan wewenang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah mengatur “sistem cekking” diantara penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan mengingat setiap kelambatan dan kekeliruan yang terjadi pada salah satu bagian instansi penegak hukum akan berimbas kepada instansi berikutnya, yang akan berakibat harus memikul tanggungjawab di hadapan sidang pra peradilan.
6.    Asas Persamaan di muka hukum
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan.
Ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasalpun yang mengarah pada pemberian  hak-hak istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidak istimewaan pada kelompok lain.
Semangat menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia yang mendasari lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana semakin memperkokoh kedudukan asas ini. Sehingga mulai dari ditangkapanya seseorang hingga akhir menjalani proses penegakan hukum orang tersebut mendapat perlindungan yang memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitative yang secara terang tertulis dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan pra peradilan.
7.    Asas akusator dan inkusitor
Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak diperkenankan untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada tersangka disamping itu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti. Perlakuan yang digariskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang demikian menunjukkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menganut asas akusatoir, yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek pemeriksaan.
Pada asas inquisitoir, kedudukan tersangka/terdakwa merupkan obyek pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka/terdakwa menjadi hal yang sangat penting untuk diperoleh penegak hukum. Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa.
Para petugas pemeriksa akan mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan penganiayaan. Pada asas inquisitoir, pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum boleh mengetahui atau mendampingi si tersangka. Tersangkapun tidak memiliki hak untuk menemui penasihat hukumnya.
Pada asas akusatoir, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/terdakwa bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka/terdakwa tidak menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.

Dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat 3 (tiga) lembaga dan/atau instansi yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga tersebut sebagai perwujudan keseriusa pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatau bentuk kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-norma social lainya.[9]
Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong sebagai bentuk kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap bangsa dan Negara. Kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara adalah akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan tetapi, hilangnya kepercyaan masyarakat terhadap pemerintah suatu Negara justru merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekadar kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.[10]

Kepolisian Republik Indonesia
Pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisian selain diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana juga diatur dalam dalam undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Koplisian Negara republic Indonesia. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi salah satu poin dalam instruksi Presiden No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi menginstruksikan (Kepala) Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk:[11]
a.    Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelematkan uang negara;
b.    Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang, dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum;
c.    Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tugas pokok kepolisian negara dapat dirinci sebagai berikut:
a.    Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
b.    Dalam bidang hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan peraturan negara lainnya;
c.    Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
d.    Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara.

Tugas kepolisian yang langsung berhubungan dengan masalah penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang No 13 Tahun 1961, yaitu terdiri dari:
1.        Menerima Pengaduan
2.        Memeriksa tanda pengenal
3.        Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4.        Menangkap orang
5.        Menggeledah badan
6.        Menahan orang sementara
7.        Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
8.        Mendatangkan ahli
9.        Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara
10.    Membeslah barang untuk dijadikan bukti dan
11.    Mengambil tindakan-tindakan lain.

Kewenangan yang dimiliki kepolisian dalam menjalankan tugas penyidikan disamping ketentuan pasal tersebut diatas juga berdasar pada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku pada saat itu yaitu HIR atau RBG. Pada ketentuan tersebut status kepolisian dalam kewenangan penyidikan adalah sebagai pembantu jaksa.
Kedudukan ini berlangsung hingga 36 tahun, selanjutnya pada tahun 1997 lahir undang-undang baru yang mengatur tentang kepolisian yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997, walaupun pada saat itu lembaga Polri masih berada dalam satu wadah ABRI namun kedudukannya secara lebih nyata tergambar dengan jelas dalam undang-undang baru ini. Dalam undang-undang ini wewenang Polri dalam rangka proses pidana diatur dalam Pasal 16, terdiri atas:
1.        melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
2.        melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan,
3.        membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
4.        Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
5.        Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6.        Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
7.        Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
8.        Mengadakan penghentian penyidikan;
9.        Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
10.    Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
11.    Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

Legitimasi kemandirian lembaga kepolisian yang terlepas dari bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia lahir pada tahun 2002 sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.Undang-undang ini memiliki tujuan untuk menghilangkan watak militerisme polisi yang selama ini telah melekat dan dominan.
Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum pada umumnya dan proses pidana pada khususnya maka kepolisian berdasarkan undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tersebut mempunyai wewenang yang terdiri atas:
1.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
2.      Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan penyidikan.
3.      Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
4.      Menyuruh berhenti berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
5.      Melakukan pemeriksaansurat;
6.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7.      Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
8.      Mengadakan penghentian penyidikan;
9.      Menyerahkan berkas perkara kepada penutut umum;
10.  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
11.  Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12.  Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana;
13.  Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan, penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
14.  Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan berakibat salahnya semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar bagi pembuatan surat dakwaan, tuntutan hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang memang terbukti bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan sebaliknya memperoleh kebebasanya.
Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi, Lembaga kepolisian memiliki tanggungjawab yang sama. Ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur perihal penyidikan dalam Ketentuan Bab IV Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang Pengadilan. Pada ketentuan Pasal 26 undang-undang ini diatur hal sebagai berikut :
“ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
Pasal 284 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai ketentuan peralihan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan :
“ (2). Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku “.
Selanjutnya ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP menentukan :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang menyatakan :
“Apabila dalam hasil petunjuk adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka hasil pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menindaklanjuti”.

Pada bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan :
“. . . yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian”.

Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diatas kepolisian juga mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan perundangan lain yang tersebar, salah satunya adalah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tetap dimiliki oleh penyidik kepolisian sekalipun dua lembaga penyidik lain yaitu penyidik Kejaksaan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi juga mempunyai kewenangan yang sama. Dalam ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a.    melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b.    mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.    menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.

Dari ketentuan Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang bisa dilakukan oleh lembaga penyidik kepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya dibawah satu milyar rupiah, tidak mendapat perhatian dari masyarakat/meresahkan masyarakat serta tindak pidana korupsi tersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelanggara Negara.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal 14 ayat (1) huruf g, kembali ditegaskan tentang kewenangan penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik kepolisian yaitu bahwa kepolisian RI bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) huruf g disebutkan sebagai berikut :
“ Ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing”.

Ketentuan tentang kewenangan melakukan penyidikan yang dimiliki oleh penyidik Polri tersebut memberikan ketegasan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 kedudukan penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan pemegang peran utama melakukan penyidik dan terhadap semua tindak pidana, namun demikian undang-undang tersebut tetap memberikan pembatasan bahwa hal tersebut tetap harus memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Kejaksaan Republik Indonesia
Kejaksaan sebagai sebuah lembaga yang berwenang sebagai penuntut umum dan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum pidana materil dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, serta Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian dan pemberantasan kasus tindak pidana ini.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi Jaksa dapat berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum, maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, secara penal artinya pemberantasan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi. Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan peraturan perundang-undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan yang sering dikenal dengan while collar crime atau kejahatan kerah putih. Peran Jaksa yang sangat penting dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi diperkuat oleh rumusan Pasal 27 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu:
“Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi maka institusi yang dikedepankan adalah Kejaksaan Agung”.

Sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, serta Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di dalam undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pada Pasal 1 tentang ketentuan umum Kejaksaan hanya diberi wewenang sebagai penuntut umum namun, dalam Pasal 284 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terdapat pengecualian. Pasal 284 Ayat (2) menegaskan bahwa :
“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Selanjutnya dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 menegaskan bahwa:
a.    Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1)   melakukan penuntutan;
2)   melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3)   melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4)   melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5)   melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b.    Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c.    Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
1)   peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2)   pengawasan kebijakan penegakan hukum;
3)   pengawasan peredaran barang cetakan;
4)   pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara;
5)   pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6)   penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal.

Kejaksaan juga diberi wewenang sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.

Dalam ketentuan undang-undang kejaksaan sebagaimana diuraikan di atas, lembaga kejaksaan tetap memiliki kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu. Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang dimiliki penyidik kejaksaan adalah sama dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polri yaitu terhadap tindak pidana korupsi yang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu :
1.    Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara.
2.    Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
3.    Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah).

Komisi Pemberantasan Korupsi
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, menjadi dasar pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pemberantasan Korupsi diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, dan makmur. sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga trigger mechanism terhadap kinerja kejaksaan dan kepolisian karena ketika itu kepercayaan terhadap kedua institusi tersebut telah mengalami penurunan.
Kedudukan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga Negara yang tujuannya pembentukkannya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur perihal tugas yang disandang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu:
a.    Melakukan koordinasi dengan instnasi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.    Melakukan supervise terhadap instnsi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.    Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
d.    Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.    Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara.

Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dibatasi oleh ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a.      melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b.      mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c.       menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)”.

Kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melaksanakan tugas penyidikan sangat luas dibandingkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Polisi dan penyidik kejaksaan. Keleluasaan tersebut termasuk keleluasaan fasilitas yang dimiliki sebagai pendukung kewenangan yang diemban penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan tersebut sebagaimana ditaur dalam ketentuan Pasal 12 yaitu:
a.        Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b.        Memerintahkan kepada instasni yang terkait untuk melarang seseorang bepergian keluar negeri;
c.         Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangantersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
d.        Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait;
e.         Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatnnya;
f.              Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instnasi yang terkait;
g.        Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan buku awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h.        Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instnasi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i.              Meminta bantuan kepolisian atau instnasi lain yang terkait untk melakukan penangkapan, penahanan. Penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Kewenangan yang sangat luas sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut di atas merupakan suatu keisitimewaan yang dipercayakan oleh Negara kepada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, karena Komisi Pemberantasan Korupsi telah disepakati oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai ujung tombak yang dipandang ampuh untuk menggerakkan tata pemerintahan dimaksud, baik melalui pencegahan maupun penindakan sehingga pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga trigger mechanism.
Penanganan perkara tindak pidana korupsi ditangani oleh institusi khusus bernama Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa:[12]
a)             Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi;
b)             Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas dan wewenang melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan ketemtuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai institusi hukum yang strategis memiliki kewenangan lebih kredible dan profesional karena dalam menjalankan tugasnya Komisi Pemberantasan Korupsi independen, bebas dari pengaruh pihak manapun. Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi lebih banyak dinilai oleh tersedianya mekanisme yang transparan untuk menilai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan, sehingga dapat menjaga agar fungsinya tidak bias; pemilihan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menggunakan prosedur yang demokratis, transparan dan objektif; dan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terpilih dikenal sebagai orang dengan integritas yang baik dan telah teruji. Seluruh Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah teruji independensinya terbukti mampu memberikan hasil yang amat baik dalam pemberantasan korupsi di negaranya.[13]
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan yang sangat luas termasuk kewenangan melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 6 huruf a Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Saat ini instansi/lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan menangani tindak pidana korupsi adalah Kepolisian dan Kejaksaan. Oleh sebab itu pada tahapan penegakan hukum yang harus dijalani dalam proses penanganan tindak pidana korupsi seperti pada tahapan penyidikan maka Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki hak untuk berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum yang sedang menangani. Pelaksanaan koordinasi tersebut meliputi juga koordinasi dengan Badan pemeriksa Keuangan (BPK), BPKP, Inspektorat pada kementrian, atau lembaga pemerintah non kementerian.
Dualisme sistem penyidikan ini di satu sisi menimbulkan kompetisi yang positif namun disi lain juga menimbulkan rasa tidak percaya diri pada lembaga yang kinerjanya kurang maksimal.[14] Di samping itu agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan perlu dilakukan secara hati- hati. Untuk itulah tugas supervisi dimiliki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi juga dimaksudkan pula untuk meminimalisir penyalahgunaan kewenangan polisi dan jaksa dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dibaca dalam konsideran Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyebutkan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi maksimal, untuk itu perlu kehadiran lembaga lain yang bisa menangani secara efektif, efisien, profesional dan berkesinambungan.[15]
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan fungsi kordinasi dan supervisi penyidikan tindak pidana korupsi belum dapat dikatakan efektif. Penyidikan tindak pidana korupsi antara Polisi, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi sering terjadi “MisCommunication” dalam proses penganan perkara tindak pidana korupsi. Kendala tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu:
1.    Faktor hukum yang dimaksud dimaksud disini adalah fungsi-fungsi penyidikan tipikor yang masih diatur dalam aturan yang tegas dalam pelaksanaan fungsi Korsup ini. Sehingg fungsi Korsup masih menjadi fungsi sekunder dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejatinya fungsi Korsup merupakan fungsi utama yang menjadi tujuan kelahiran lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, namun hingga saat ini dukungan legislasi masih sangat minim Korupsi terkait dengan masalah dan ruang gerak yang cukup luas. Oleh karena itu, apabila upaya penanggulangan ingin ditempuh lewat penegakan hukum, maka harus pula dilakukan analisis dan pembenahan integral terhadap semua peraturan perundangan yang terkait.[16] Hal ini tentu juga harus dilakukan bagi kemajuan pelaksanaan fungsi Korsup penydikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
2.    Faktor penegak hukum dalam pelaksanaan koordinasi dan supervisi menjadi penyebab yang menjadikan fungsi Korsup Komisi Pemberantasan Korupsi belum memadai pelaksanaannya. Dari sisi pandang Komisi Pemberantasan Korupsi, fungsi korsup diakui telah dijalankan dan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun namun dari sisi penyidik baik penyidik Polri maupun penyidik kejaksaan fungsi ini masih belum sesuai harapan. Bahkan dikatakan fungsi ini dijalankan hanya apabila ada laporan dari masyarakat.
3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang telah terdidik dan terampil. Secara umum jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi terbatas apabila dibandingkan dengan beban tugas yang besar. Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa problema terbesar Komisi Pemberantasan Korupsi, sejatinya adalah minimnya jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki. Personel Komisi Pemberantasan Korupsi yang berjumlah 700-an orang, misalnya, sangat tidak berimbang dengan tugas berat dan cakupannya yang begitu luas yang diemban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilihat dengan jelas dalam penjabaran Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut di atas. Dalam pasal tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari Komisi Pemberantasan Korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selanjutnya, mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi:
a.    Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
b.    Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan;
c.    Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
d.   Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Dari penjelasan umum ini, maka disimpulkan bahwa komisi harus menjadikan Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai counter partner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. Hal ini dapat dipahami mengingat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sampai pada daerah-daerah terutama Kabupaten dan Kotamadya.
Apabila Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri akan mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan serta pembengkakan pembiayaan yang sangat besar. Sehingga untuk penyidikan dan penuntutan dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi secara teknis dan praktis dengan tetap bekerjasama dan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula tentang fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak memonopoli penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta fungsi lainnya, yaitu sebagai pemicu dan pemberdaya institusi dan fungsi melakukan suipervisi dan memantau instansi yang telah ada, menandakan bahwa dalam hubungan fungsional antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan dan/atau Kepolisian akan tetap memberikan peran yang besar kepada kedua lembaga terdahulu itu untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
IV.        Kesimpulan
Penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia dilakukan oleh tiga lembaga yang berwenang yaitu: Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang guna menjalankan tugasnya yaitu pemberantasan korupsi. Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki fungsi kordinasi dan supervisi dalam penyidikan tindak pidana korupsi.
Pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b UU Nomor 30 tahun 2002 menurut Komisi Pemberantasan Korupsi telah dilaksanakan, bahkan dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Akan teteapi dalam menjalankan fungsi kordinasi dan supervisi penyidikan tindak pidana korupsi di Indonesia belum berjalan dengan maksimal. Penganganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia seringkali terjadi tumpang tindih. Tumpang tindik kewenangan menjadi persoalan yang mendominasi antar lembaga penegak hukum. Selain itu faktor sarana prasarana penegakan hukum tindak pidana korupsi juga belum memadai. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi penyidikan tipikor di daerah ada pada faktor hukum, faktor penegak hukum dan faktor prasarana berupa masih kurangnya jumlah Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas dibidang Korsup, sehingga tugas Korsup yang mencakup wilayah negara Repubilik Indonesia masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal.
Penguatan terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi perlu dilakukan mengingat korupsi merupakan kejahatan teroganisir yang berdampak pada perekonomian negara Indonesia. Oleh karena itu terkait kewengan penyidikan, perlu kebijakan khusus agar tindak terjadi tumpang tindih penyidikan tindak pidana korupsi. Selain itu peningkatan dan/atau kompetensi aparat penegak hukum perlu guna tercapainya misi pemberantasan korupsi di Indonesia.
V.           Daftar Pustaka
Ali Mahrus, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press.
Danil Elwi, 2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta, Raja Grafindo.
Edi Setiadi dan Rena Yulia, 2010, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Harahap Yahya, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini.
Hartono, 2012, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika.
Nugroho Hibnu,2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta, Media Prima Aksara.
Rahardjo Satjipto, 2002, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sitompul dan Edward Syahperenong, 1985, Hukum Kepolisian Di Indonesia (Suatu bunga Rampai),Bandung: Tarsito.
Utomo Warsito Hadi, Hukum Kepolisian di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta,  2005.

Sumber Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137).
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6).






[1] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 111.
[2] Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting), Menyingkap Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. V.
[3] http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum diakses 22 Desember 2015 | 14.00 WIB.
[4] Umar Sholahuddin, ”Kewenangan Supervisi KPK Dalam Pemberantasan Korupsi di Daerah”, Jurnal Yustitia. Vol. 1 No. 1 April 2007. Surabaya: Universitas Muhammadiyah Surabaya
[5] Yahya Harahap, 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II), Jakarta : Pustaka Kartini , hal. 34 . 
[6] Ibid, hlm. 39.
[7] Ibid, hlm. 49.
[8] Ibid, hlm. 50.
[9] Elwi Danil, 2014, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta, Raja Grafindo, hlm. 70.
[10]  Ibid, hlm. 70.
[11]  Mahrus Ali, 2013, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press, hlm. 217.
[12] Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 69.
[13] Encep Syarief Nurdin, “Membangun Tata Kelola Pemerintah yang baik (Good Governance) dan Pemberantasan Korupsi”. Jurnal Negarawan No. 18 Edisi Januari-April 2010. Jakarta: Sekretariat Negara RI, hlm. 108
[14] Hibnu Nugroho, “Rekonstruksi Wewenang Penyidik Dalam Perkara Tipikor (Kajian Wewenang Polisi Dalam Penyidikan Tipikor)”, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 3 Desember 2009, Yogyakarta: FH UMY.
[15]Jeane Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Tipikor”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 Maret 2007, hlm. 14.
[16] Ifrani, “Grey Area Tipikor dengan Tindak Pidana Perbankan”, Jurnal Konstitusi. Vol. 8 No 6 Desember 2011, hlm. 994.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah Manajemen Kepegawaian

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Di era serba modern ini administrasi yang baik adalah kunci utama untuk mencapai tujuan suatu lembaga, jika suatu lembaga tersebut memiliki pengadministrasian yang baik maka sudah tentu lembaga tersebut dapat dikatakan sukses dalam mengatur rumah tangganya. Demikian pula seluruh birokrasi pemerintahan dan terutama segi kepegawaian. Karena merekalah yang pada akhirnya menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Namun memang harus diakui bahwa pada sebagian besar negara-negara berkembang, terdapat kelemahan-kelemahan dan hambatan-hambatan dibidang administrasi kepegawaian ini. Salah satu diantaranya adalah orientasi dan kondisi kepegawaian yang diwarisi dari jaman penjajahan yang lebih ditujukan untuk kepentingan negara jajahannya dan kepentingan pemeliharaan keamanan dan ketertiban belaka. Itulah ciri-ciri tradisionil masyarakat negara –negara yang belum maju seringkali

Makalah Hak Cipta

TUGAS MAKALAH HAK CIPTA Disusun Dalam Rangka Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual       Disusun oleh :             Nama   : Singgih Herwibowo             NIM    : E1A010205             Kelas   : C FAKULTAS HUKUM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012 Daftar Isi           I.                   Daftar Isi                               ............................... 2               II.                Pendahuluan A.     Latar Belakang                              ............................... 3      B.      Landasan Teori                             ............................... 4      C.     Perumusan Masalah                      ............................... 5      III.            Pembahasan A.     Sejarah hak cipta                           ............................... . 6 B.      Pengertian dan dasar hukum         ..............................

Makalah Organisasi Internasional

I.                   Pendahuluan A.    Latar Belakang Dewasa ini tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri dalam hubungannya dengan negara lain. Fungsi sosial dari suatu negara terhadap negara lain sangatlah besar dan oleh karena itu maka eksistensi dari suatu organisasi sangatlah diperlukan. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah negara-negara dalam menyalurkan aspirasi, kepentingan, dan pengaruh mereka . Terdapat banyak organisasi yang tumbuh dan berkembang di dunia, mulai dari organisasi antar keluarga, antar daerah, antar propinsi sampai ke lingkup yang lebih luas yaitu antar negara yang berada dalam satu kawasan. Sebagai anggota masyarakat internasional, suatu negara tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan dengan negara lain. Hubungan antar negara sangat kompleks sehingga di perlukan pengaturan. Untuk mengaturnya agar mencapai tujuan bersama, negara-negara membutuhkan wadah yaitu Organisasi Internasional. Timbulnya hubungan in