POLITIK HUKUM
PENGHAPUSAN PIDANA MATI DI INDONESIA
Singgih
Herwibowo
Email : Benedictussinggih@ymail.com
Abstract
The death
penalty in Indonesia is not in accordance with the provisions of the
Constitution of 1945 and Law No. 39 of 1999 on Human Rights. Therefore, the
political direction of Indonesian law that will come must uphold the right to
life as a natural right of human beings. Natural rights in question are rights
given by God to man to be maintained and anyone in any way should not deprive a
person's life.
Key Words: Dead Penalty,
Penal Reform, Political Law
Abstrak
Pidana
mati di Indonesia tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Oleh karena
itu arah politik hukum Indonesia di masa yag akan datang harus menjunjung
tinggi hak hidup sebagai hak kodrati yang dimiliki manusia. Hak kodrati yang
dimaksud adalah hak asasi yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia
untuk dipertahankan dan siapapun dengan cara apapun tidak boleh mencabut hak
hidup seseorang.
Kata kunci: Pidana Mati, Pembaharuan Pidana, Politik Hukum
A.
Pendahuluan
Pidana mati bagi
pelaku tindak pidana di Indonesia saat ini tengah menjadi topik perbincangan
para pakar hukum dan masyarakat Indonesia. Eksistensi pidana mati di Indonesia
terlihat mencolok dalam kasus tindak pidana narkotika. Para pelaku tindak
pidana narkotika yang divonis mati sedang menunggu giliran untuk di eksekusi
mati.
Pelaksanaan pidana mati di Indonesia menjadi bahan
pembicaraan yang cukup aktual dan polemik yang berkepanjangan bagi
negara-negara yang beradab. Hal ini didasari bahwa penerapan pidana mati tidak
sesuai dengan falsafah negara yang menganut paham Pancasila, yang selalu
menjunjung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradap. Namun demikian
dalam kenyataannya, penerapan pidana mati apapun alasan dan logikanya tetap
dilaksanakan di Indonesia dari berbagai kasus tindak pidana yang ada.[1]
Kontroversi pidana mati juga sering dikaitkan dengan
persoalan hak asasi manusia (HAM). Pelaksanaan hukuman mati dituding sebagai
tindakan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup yang tidak bisa
dicabut oleh siapa pun kecuali Tuhan. Memang pada hakikatnya, HAM yang bersifat
kodrati dan berlaku universal itu berisi pesan moral agar setiap orang, baik
secara individu, kelompok, bahkan penguasa /pemerintah harus menghormati dan
melindungi hak asasi tersebut. Namun pada kasus penerapan hukuman mati, juga
terdapat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh si terpidana mati. Dengan kata
lain, ia sesungguhnya telah melanggar hak asasi orang lain dengan cara menghilangkan
nyawa orang lain. Sementara di pihak lain, jaksa, hakim, dan petugas eksekutor
hanyalah pelaksana aturan hukum yang memang telah memperbolehkan tindakan
pencabutan nyawa tersebut.
Kontrofersi mengenai pidana mati juga diperdebatkan
akibat adanya Amandemen Kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang
secara tegas menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya, sehingga semua produk hukum yang masih
mencantumkan pidana mati sebagai ancaman pidana harus diubah atau dibenahi.
Dalam hukum pidana dikenal ada bermacam-macam penjatuhan sanksi pidana. Salah
satu sanksi yang paling berat adalah pidan mati. Pidana mati diberikan dalam
rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke
masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi
kejahatan yang sangat serius. Pidana mati disamping sebagai hukuman yang paling
berat juga merupakan hukuman yang umumnya sangat menakutkan terutama bagi
terpidana yang sedang menanti eksekusi. Pidana mati dalam sejarah hukum pidana
sudah lama diperdebatkan. Ada dua pandangan yang muncul. Pandangan pertama,
setuju atas keberadaan pidana mati karena menilai sanksi pidana itu setimpal
dengan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dan dapat menimbulkan efek jerah
bagi masyarakat, sehingga pidana mati masih relevan untuk dilaksanakan. Dalam
Paper ini penulis mencoba melakukan kajian secara yuridis normatif tentang “Politik Hukum Penghapusan Pidana Mati Dalam
Sistem Pemidanaan Di Indonesia”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana
konstruksi hukum penghapusan pidana mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia !
2.
Bagaimana arah politik
hukum penghapusan pidana mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia untuk masa
yang akan datang !
B.
Metode Pendekatan
Metode
Pendekatan yang digunakan yaitu Yuridis-Normatif terkait dengan konstruksi
hukum penghapusan pidana mati dan arah politik hukum di Indonesia guna
menghapus pidana mati dalam dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Penelitian hukum yuridis normatif merupakan “penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder”. [2]
Penelitian ini menitikberatkan kepada pendekatan yang bersifat yuridis normatif
yang memfokuskan kepada suatu politik hukum dalam kaitannya dengan penghapusan pidana
mati di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dan ditujukan
pada peraturan-peraturan tertulis dan bahan-bahan lain dengan menelaah
peraturan perundang-undang yang berlaku. Penelitian ini juga melakukan
pendekatan-pendekatan yuridis normatif komparatif dengan tujuan untuk
mengadakan perbandingan dengan beberapa peraturan di Negara lain khususnya peraturan yang mengatur tentang penghapusan
pidana mati di Indonesia dan
menentukan arah politik hukum Indonesia yang menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia.
C.
Pembahasan
Pemidanaan
sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara
normal bukan terutama karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi
positif bagi si terpidana, korban juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu
teori ini disebut juga teori konsekuensialisme. Pidana dijatuhkan bukan karena
telah berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan
orang lain takut melakukan kejahatan serupa.
Pemidanaan itu
sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai
upaya pembinaan bagi seorang pelaku kejahatan sekaligus sebagai upaya preventif
terhadap terjadinya kejahatan serupa. Pemberian pidana atau pemidanaan dapat
benar-benar terwujud apabila melihat beberapa tahap perencanaan sebagai
berikut:
1.
Pemberian
pidana oleh pembuat undang-undang;
2.
Pemberian
pidana oleh badan yang berwenang;
3.
Pemberian
pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.
Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana membagi hukuman menjadi dalam dua jenis yaitu pidana
pokok dan pidana tambahan:
1.
Pidana
pokok;
· Pidana Mati
· Pidana Penjara
· Pidana Kurungan
· Pidana Denda
· Pidana Tutupan
2.
Pidana
Tambahan
· Pencabutan
beberapa hak yang tertentu
· Perampasan
barang tertentu
· Pengumuman keputusan
Hakim
Paper ini akan
dikaji secara yuridis normative mengenai pidana mati. Jenis hukuman pidana mati
menjadi topik perbincangan dikalangan akademisi dan praktisi hukum tindak ada
habisnya. Jenis Hukuman pidana mati jika kita kaitkan dengan Konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945, jenis hukuman
pidana mati bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945
bahwa[3]
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Selain itu
hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menempatkan Undang-Undang
Dasar 1945 pada tingkatan tertinggi sehingga dapat dimaknai bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh bertentangan dengan
Konstitusi yang terletak pada tingkatan tertinggi.
Persoalan masih
adanya jenis hukum pidana mati di Indonesia juga bertentangan dengan Hukum
Positif di Indonesia, yaitu Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia bahwa:[4]
“Setiap orang
berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan
tenteram, menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia
dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undnag-Undang ini”.
Pasal 3 Deklarasi Umum HAM (DUHAM) Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa[5]
“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan
keselamatan sebagai induvidu”. Kemudian dipertegas dalam Pasal 6 ayat (1) Konvensi
Internasional tenang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bahwa[6]
“Setiap
manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi
oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara
sewenang-wenang.” memberikan jamian dan pengakuan terhadap hak hidup yang
tidak dapat dirampas dan harus dihormati serta dilindungi hak fundamental tersebut. Konstruksi serupa ditegaskan dalam Pasal 28A,
yang kemudian dipertegas dalam Pasal 28I ayat (1) UUD tahun 1945, bahwa hak
hidup sebagai hak non derogable righ
(hak yang dalam keadaan apapun harus dilindungi, dan karenanya tidak ada yang
dapat mengurangi dan atau mencabutnya).Namun demikian, hak hidup yang oleh
Pasal 3 DUHAM dan Pasal 6 ayat (1) ICCPR dan Pasal 28A serta Pasal 28I ayat (1)
UUD Tahun 1945 dinyatakan sebagai hak mutlak yang hanya Tuhan berhak
mencabutnya.
Negara Indonesia
membutuhkan politik hukum terintegrasi dengan ketentuan-ketentuan yang
menjunjung hak hidup manusia sebagai hak kodrati yang diberikan oleh Tuhan Yang
Maha Esa. Maka dari itu tidak seorangpun memiliki hak untuk mencabut hak hidup
manusia dengan cara apapun. Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.[7] Politik
hukum adalah kebijakkan sebagai dasar untuk menyelenggarakan negara khususnya
dalam bidang hukum mengenai hukum yang akan berjalan , sedang berjalan dan
telah berlaku yang diambil dari nilai-nilai yang tumbuh dan hidup serta berlaku
dalam masyarakat untuk mencapai tujuan negara. Tujuan negara Negara tersurat
didalam alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa[8]
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Para pakar hukum di Indonesia juga menyatakan sikap
menolak pidana mati berlaku di Indonesia, yaitu:[9]
1.
Prof Dr. Arief Sidharta, SH., berpendapat bahwa sebaiknya hukuman mati untuk jenis kejahatan apapun
sebaiknya dihapuskan, dan diganti dengan hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan
memperoleh remisi.
2.
Dr. Soedikno Mertokusumo, S.H., dalam disertasinya tahun 1971 yang berjudul "Sejarah Peradilan &
Perundangundangan di Indonesia sejak tahun 1942 dan apakah manfaatnya bagi kita
bangsa Indonesia", dalam salah satu lampiran dalil mengatakan bahwa pidana
mati agar dihapuskan karena bertentangan dengan dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila.
3.
Prof. Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana) berpendapat bahwa tidak setuju adanya
pidana mati di Indonesia karena (1) kalau ada kekeliruan putusan hakim tidak
dapat diperbaiki lagi. (2) mendasarkan landasan Falsafah Negara Pancasila, maka
pidana mati itu dipandang bertentangan dengan perikemanusiaan.
Eksistensi pidana mati di Indonesia sampai hari ini tidak
hanya membuktikan bahwa Negara Indonesia ini lemah komitmennya dalam penegakan
hak asasi manusia, tetapi juga melemahkan posisi Indonesia dalam menyelamatkan
warga Negara Indonesia, terutama buruh migran yang terancam hukuman mati di
luar negeri. Selain itu penghapusan pidana mati di Indonesia merupakan
konsekuensi dari Pasal 28A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Negara Indonesia perlu menentukan arah politk hukum
penghapusan pidana mati dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Arah politik
hukum dimasa yang akan datang haruslah relevan dengan gagasan-gagasan yang
menjungjung hak hidup manusia sebagai hak kodrati yang dimiliki oleh Manusia.
Realisasi penghormatan terhadap hak hidup sebagai hak kodrati masnusia dapat
melalui pembaharuan hukum pidana dengan mengkaji jenis-jenis hukuman pidana
yang tentunya menghapus pidana mati sebagai salah satu jenis hukuman pidana di
Negara Indonesia.
D.
Simpulan dan Saran
Penghapusan
pidana mati di Indonesia merupakan konsekuensi dari Pasal 28A Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia. Adanya ketentuan tersebut seharusnya arah pemerintah menghapus
pidana mati dari Sistem Pemidanaan di Indonesia. Selain itu dengan hapusnya
pidana mati di Indonesia membuktikan kepada Negara-negara di dunia bahwa
Indonesia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia khususnya hak hidup yang
merupakan hak kodrati oleh karena itu siapapun dengan cara apapun mencabut hak
hidup manusia.
Politik hukum
Indonesia dimasa yang akan datang harus menjunjung tinggi hak hidup sebagai hak
kodrati yang dimilik manusia. Realisasi bahwa Negara Indonesia menjunjung
tinggi hak asasi manusia dapat melalui kebijakan-kebijakan yang pada asasnya
menghapus segala ketentuan yang menggangu hak hidup manusia sebagai wujud
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Moeljatno,.1993
.Asas-asas Hukum Pidana.Jakarta:
Rineka Cipta.
Nawawi, Barda, 2005, Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti,
Bandung.
Praja, Juhaya S, 2011, Teori Hukum
dan Aplikasinya, Pustaka Setia, Bandung
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990 Metodelogi Penelitian Hukum
dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, (Bandung: Citra Aditya
Bakti).
Soesilo R,1996, Kitab Undang-Undang hukum Pidana, Politea, Bogor.
Jurnal
M. Zen Abdullah, Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia Telaah Dalam Kontek
Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Jambi. 2009.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Tahun 1945
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia
Konvenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional
Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik, dengan tujuan kepada penghapusan hukuman
mati
Internet
http://majalahprosekutor.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5:hukuman-mati-dalam
polemik&catid=2:laporanutama&Itemid=3 diakses 11 Januari 2016 | 22.00
WIB |.
[1] M. Zen Abdullah, Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia Telaah Dalam Kontek Hak Asasi
Manusia, Jurnal Ilmiah Universitas Jambi. 2009. h.61
[2] Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi
Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 11
[3] Pasal 28A Undang-Undang Dasar Tahun 1945
[4] Pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia
[5] Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia
[8] Alinea 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun
1945
[9]http://majalahprosekutor.com/index.php?option=com_content&view=article&id=5:hukuman-mati-dalam-polemik&catid=2:laporan-utama&Itemid=3
diakses 11 Januari 2016 | 22.00 WIB |.
Comments
Post a Comment