I.
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam
kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan
kekeluargaan tidak menutup kemungkinan terjadi juga permasalahan - permasalahan
yang berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri di lingkungan perdata
seperti masalah pembagian tanah warisan, pembagian warisan lain yang sering
menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Kekerabatan dan
suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat memberikan jaminan dalam
lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan suasana nyaman dan
tentram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin hari makin
menuntut bagi siapapun masyarakat untuk
selalu siap berkompetisi dalam meningkatkan taraf hidup rumah tangganya
sendiri.
Hukum adat merupakan salah
satu sumber hukum yang penting dalam rangka pembangunan hukum nasional yang
menuju ke arah peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat
yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan ke dalam peraturan
hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan
hukum masyarakat Indonesia. Beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat tersebut sudah pasti menghendaki pemcahan atau
solusi yang secepat dan sesegera mungkin dalam rangka menjaga kenyamanan dan
ketentraman itu sendiri.
Khusus
sengketa warisan yang sering muncul sebagai salah satu permasalahan yang
terjadi di desa merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih sudah menyangkut tentang pembagian warisan,
karena umumnya warisan mempunyai nilai ekonomis dan religius yang
tinggi. Dengan kata lain warisan dapat menimbulkan kebahagian satu pihak dan di
pihak lain dapat menimbulkan kesengsaran, apabila dalam pengaturan dan
pembagian tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya diikuti bersama.
Hukum waris suatu golongan
masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu
sendiri, setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris
sendiri-sendiri. Secara teoritis sistem kekerabatan di Indonesia dapat
dibedakan atas tiga corak, yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal, dan
sistem parental atau bilateral. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus
membedakan masalah hukum kewarisan, disamping itu juga antara sistem kekerabatan
yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.[1]
Hukum waris adat mempunyai
corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum
Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berfikir berasas
kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari
pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri.
B.
Perumusan Masalah
Hukum waris yang berlaku di
kalangan masyarakat Indonesia sampai sekarang masih bersifat pluralistis, yaitu
ada yang tunduk kepada hukum waris dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat, Oleh karena itu dalam makalah ini akan
dibahas tentang bagaimana konsep sistem
pewarisan hukum adat di Indonesia, dan dikomparasikan pewarisan dalam ketentuan
KUH Perdata, dan pewarisan menurut hukum islam?
C.
Landasan
Teori
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli
waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta
kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih
dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta
pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang
yang meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan.
Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan
atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses
penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah
wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari
suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang dikemukakan oleh Ter Haar:
“Hukum waris adat adalah
aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad penerusan
dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi pada generasi berikut”.[2]
Demikian pula pada pendapat Soepomo
dalam bukunya yang berjudul Bab-bab tentang Hukum Adat mendefinisikan hukum
waris adat sebagai:
…peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta
mengoper barang-barang, harta benda dan barang yang berwujud dari suatu angkatan manusia
(generatie) kepada turunannya.[3]
Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada
ahli waris. Warisan berasal dari bahasa
Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk masdar (infinititif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain’. Atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Ahli waris adalah orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan (mewarisi) orang yang meninggal, baik
karena hubungan keluarga, pernikahan, maupun karena memerdekakan hamba sahaya (wala’). Pewaris adalah orang yang
meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah
harta benda maupun hak-hak yang diperoleh selama hidupnya, baik dengan surat
wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Hukum waris adat
mempunyai kaitan erat dengan hukum
kekerabatan dan hukum perkawinan. Pembentukan hukum waris adat suatu masyarakat
tidak terlepas dari pengaruh hukum kekerabatan dan hukum perkawinannya. Menurut
Soerojo Wignjodipuro:
“bahwa hukum waris adat sangatlah erat hubungannya dengan
sifat-sifat kekeluargan dari masyarakat hukum
yang bersangkutan, serta berpengaruh pada harta kekayaan yang
ditinggalkan dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, dalam membicarakan
masalah kewarisan mesti dibahas pula tentang hukum kekerabatan dan hukum
perkawinan masyarakat”[4]
Dalam hal sifat
kekeluargaan tersebut Hilman Hadikusuma menyebutkannya sebagai sistem
keturunan, dia mengatakan bahwa di Indonesia sistem keturunan sudah berlaku
sejak dulu kala sebelum masuknya ajaran Hindu, Islam dan Kristen. Sistem
keturunan yang berbeda-beda tampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum
adat. Secara teoritis sistem keturunan dapat dibedakan dalam tiga corak, yaitu:
·
Sistem Patrilineal,
yaitu sistem keturunan yang ditarik mulai garis bapak, dimana kedudukan pria
lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo,
Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian Jaya);
·
Sistem Mstrilineal,
yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita
lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau,
Enggano dan Timor) ;
·
Sistem Parental atau
bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik melalui garis orang tua, atau
menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi). Soerojo Wignjodipuro mengemukakan pendapat yang sama seperti diatas, kemudian
ditambahkannya suatu masyarakat yang dalam pergaulan sehari-hari mengakui
keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral, sedangkan yang
mengakui keturunan dari kedau belah pihak .disebut bilateral.[5]
Berdasarkan pendapat
diatas, maka dapat dikatakan bahwa di Indonesia ini pada prinsipnya terdapat
masyarakat yang susunannya berlandaskan pada tiga macam garis keturunan, yaitu
garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Pada
masyarakat yang menganut garis keturunan bapak-ibu hubungan anak dengan sanak
keluarga baik dari pihak bapak maupun pihak ibu sama eratnya dan hubungan hokum
terhadap kedua belah pihak berlaku sama. Hal ini berbeda dengan persekutuan
yang menganut garis keturunan bapak (patrilineal) dan garis keturunan ibu (matrilineal), hubungan anak
dengan keluarga kedua belah pihak tidak sama eratnya, derajatnya dan
pentingnya. Pada masyarakat yang matrilineal, hubungan kekeluargaan dengan
pihak ibu jauh lebih erat dan lebih penting, sedangkan pada masyarakat yang
patrilineal, hubungan dengan keluarga pihak bapak terlihat dekat / erat dan
dianggap lebih penting dan lebih tinggi derajatnya.
II.
Pembahasan
A.
Sistem
Pewarisan Hukum Adat Di Indonesia
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke
generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas
lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
· Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
· Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap
berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.
· Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus
dilanjutkan oleh ahli waris.
· Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula
bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
· Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemebrian bekal/modal
berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan
dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan,
pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum
waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum
watis barat, hukum waris islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional,
hukum waris Minangkabau, hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya.[6]
Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada
bedanya. Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih
dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa
didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris
dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat
adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris
kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta
kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat
diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang
hukum waris adat.
Warisan menurut Wirjono adalah cara penyelesaian
hubungan hukum dalam masyrakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai
akibat dari wafatnya seorang manusia, dimana manusia yang wafat itu
meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara
penyelesaian bukan diartikan pada bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu
sebagai akbat dari kematian seorang, sedangkan Hilman Hadikusuma mengartikan
warisan itu adalah bendanya dan penyelesaian harta bemda seseorang kepada
warisnya dapat dilaksanakan sebelum ia wafat.
Apabila
mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang
dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi
jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum
pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta
kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari
pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi
dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas
bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat
tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum
barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa
Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal
ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat
tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam
hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin
bahwa: “Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat
yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya
patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk
kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.
Bangsa Indonesia yang murni alam fikirannya berazas
kekeluargaan dimana kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari
sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Jika pada belakangan ini
nampak sudah banyak kecenderungan adanya keluarga-keluarga yang mementingkan
kebendaan dengan merusak kerukunan hidup kekerabatan atau ketetanggan maka hal
itu merupakan suatu krisis akhlak, antara lain disebabkan pengaruh kebudayaan
asing yang menjajah alam fikiran bangsa Indonesia.
Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum
waris Islam atau hukum waris atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH
Perdata, maka nampak perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara
pembagiannya yang berlainan.[7]
Harta warisan
menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,
tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual
sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris
menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum
waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat
dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak
boleh dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal
ini bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:
“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta
peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tidak terbagi.
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak
berdasarkan persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan.
Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan (dijual) oleh
waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat,
agar tidak melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan
kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme
portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para
waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan
sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah
An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga
menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau
kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan
permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah
dan bermufakat dengan para waris lainnya.[8]
Sistem Keturunan
Masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang
berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum
masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem keturunan yang
berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat.
Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan
dalam tiga corak, yaitu:
·
Sistem
Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian).[9]
·
Sistem
Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam
pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
·
Sistem
Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan
wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).[10]
Sistem Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan
(kewarisan) di Indonesia terdapat tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan
kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual. Di antara ketiga sistem
kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
·
Sistem
Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi
secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif.
Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta
peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan
atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”). Pada
umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang
disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang
pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai
oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di
Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap
tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol,
yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota
kerabat bersama.
·
Sistem
Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya
dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut
hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus
dan memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri
sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah
Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua
lelaki yang disebut “anak punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama
juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura.
Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai
oleh anak wanita yang disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi
“paying jurai, sebagai “mayorat wanita”.
·
Sistem
Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki
secara perorangan dengan “hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai,
mengolah dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah
pewaris wafat, maka kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem
kewarisan ini yang banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan
berlaku pula dalam hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW)
dan dalam Hukum Waris Islam.[11]
B.
Sistem
Pewarisan Di Indonesia
Hukum Waris Islam
Sebagaimana
diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlakuadalah Hukum Faraidh.“
Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada
syara adalah bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi
waris ! dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi yang telah
ditentukan besar kecilnya oleh syara”. Demikian demikian faraidh diatur antara lain tentang
tata cara pembagian Harta Warisan , besarnya bagian antara anak laki-laki dengan
anak perempuan, pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa
warisan, sahabahsahabah, an lain sebagainya.
Pada waktu
Agama Islam belum datang ketanah Arab, manusia msaih
mempergunakan hukum waris dalam bentuk peraturan yang
tumpang tindik dan salah, bertentangan dengan fitrah manusia. Orang Arab
jahiliyah tidak memberikan warisan pada yang lemah seperti wanita-wanita dan
anak-anak tetapi mereka memberikan warisan kepada laki-laki yang dewasa dan
anak angkat yang mereka pelihara sehingga dengan demikian kadang-kadang
kerabat mereka tidak mendapat warisan atau berkurang bagiannya oleh anak angkat
tersebut. Dengan demikian hak-hak kerabat telah dirampas oleh anak angkat dengan cara
yang memudharatkan dan permusuhan. Hukum ini lahir dari hawa nafsu mereka
belaka dan berdasarkan hukum adat yang sesat.
Ratio yang memberikan harta warisan kepada laki-laki
yang dewasa dan anak angkat seperti tersebut diatas karena kaum
laki-lakilah yang mampu menghadang musuh dalam peperangan dan yang dapat membentangi suku
dari seranganserangan suku lain. Sedangkan kaum wanita hanya membuat onar ,
aib , serta menghabiskan harta yang ada. Oleh karena itulah meraka menetapkan wanita dan
anak-anak tidak berhak menerima warisan.
Kemudian Agama Islam datang dengan aturan-aturan yang adil, tidak
membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan,
kecil ataupun besar semua mendapat bagian.
Untuk itu
Allah menurunkan ayat Al-Qur’an yang artinya :
“ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
Ibu Bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian ( pula ) dari harta
peninggalan Ibu Bapa dan kerabatnya, baik sedikit
ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. Bagian harta peninggalan sipewaris yang akan dinikmati
oleh para ahli waris baik anak laki maupun anak perempuan kemudian ditetapkan
oleh Allah didalam Al-Qur’an yang artinya sebagai berikut :
“Allah mensyaritkan bagimu ( tentang pembagian pusaka
) untuk anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan”.
Jadi
jelaslah bahwa pembagian harta warisan ( pusaka ) menurut syariat Islam
tunduk kepada yang telah ditetapkan oleh Allah Swt
yakni bagian seorang anak lakilaki sama dengan bagian 2 ( dua ) orang anak perempuan atau
2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ). Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 171 huruf A KHI
( Kompilasi Hukum Islam ) menyatakan :
“ Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak milik harta peninggalan ( Tirkah ) pewaris, menentukan siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. Kemudian Pasal 176 Bab III KHI menjelaskan tentang :
“ Besar bagian untuk seorang anak perempuan adalah
setengah ( ½ ) bagian ; bila 2 ( dua ) orang atau lebih mereka bersama-sama
mendapatkan dua pertiga ( 2/3 ) bagian ; dan apabila
anak perempuan bersama-bersama dengan anak laki-laki maka bagiannya adalah 2 ( dua )
berbanding 1 ( satu ) dengan anak perempuan”. Dan Pasal 183 KHI menyatakan :
“ Para ahli waris dapat bersepakat melakukan
perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari
bagiannya”.
Dari uraian
tertera diatas, nampak bahwa antara apa yang telah ditetapkan didalam
ayat Al-Qur’an dengan yang terdapat dalam KHI
khususnya mengenai besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan
dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan oleh sipewaris adalah sama
yakni 2 ( dua ) berbanding 1 ( satu ). Berhubung oleh kerena Al-Qur’an dan haidst Nabi hukumnya wajib dan
merupakan pegangan / pedoman bagi seluruh umat Islam
dimuka bumi ini, maka ketentuan-ketentuan pembagian harta warisan ( pusaka )
inipun secara optimis pula haruslah ditaati dan dipatuhi.
Al – Qur’an menyatakan yang artinya :
“Bagilah pusaka antara ahli-ahli waris menurut Kitab
Allah”. Kemudian adalah sebagai berikut :
“ ( hukum-Hukum tersebut ) itu adalah ketentuan Allah
) Barang
siapa yang taat kepada Allah dan Rasulnya. Niscaya Allah
memasukan kedalam syurga yang mengalir didalamnya
sunga-sungai, sedang mereka kekal didalamnya ; dan itulah kemenangan yang besar”.
Dari
keterangan diatas, jelaslah ditegaskan bahwa tentang warisan supaya
dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang telah
ditentukan dan memberikan pahala syurga bagi yang mematuhi dan mengancam dengan
azab api neraka terhadap yang menolaknya dan mengikarinya. Dengan perkataan lain Islam
telah mengatur
dengan pasti tentang hukum waris yang berlaku bagi pemeluknya.
Disamping itu sesuai dengan kemajuan dan perkembangan
zaman serta pendapat para ahli dikalangan umat islam, maka hukum waris islam dituangkan
kedalam suatu ketentuan peraturan yang disebut KHI (
Kompilasi Hukum Islam ). Terdapat perubahan-perubahan yang terjadi antara lain
mengenai Pasal 209 KHI menyatakan :[12]
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal
176 sampai dengan Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah
sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan anak angkat.
2. Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
Dari pasal tersebut diatas, bahwa anak angkat yang
sebelumnya menurut Hukum Islam tidak berhak menerima harta warisan orang tua angkatnya kecuali
pemberian-pemberian
dan lain-lain, maka sekarang dengan berlakunya KHI
terhadap anak angkatnya mempunyai hak dan bagian yang telah ditetapkan
yaitu sebesar 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya, apabila anak angkat
tersebut tidak menerima wasiat Istilah ini dikenal dengan sebutan wasiat
wajibah. Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan
individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat.
Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak Bapak
atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada
pihak laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
Ahli waris dalam Hukum
Islam telah ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari:
·
PEREMPUAN
Wanita
yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :
a. Anak
perempuan
b.
Cucu perempuan
c.
Ibu
d.
Nenek, Ibu dari Ibu
e.
Nenek, Ibu dari Bapa
f.
Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
g.
Saudara perempuan se Bapa
h.
Saudara perempuan se Ibu
i.
Isteri
j.
Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada
lagi )
·
LAKI – LAKI
Jika
dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima
belas ) orang yaitu :
a. Anak
laki-laki
b.
Cucu laki-laki dari anak laki-laki
c.
Bapa
d.
Datuk, Bapa dan Bapa
e.
Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
f.
Saudara laki-laki se Ibu
g.
Saudara laki-laki se Bapa
h.
Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu
dan se bapa
i.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki se
Bapa
j.
Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak
laki-laki se Ibu se Bapa
k.
Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa
laki-laki se Bapa
l.
Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa
m.
Anak laki-laki dari Mamak se Bapa
n.
Suami
o.
Laki-laki yang memerdekakan sahaja (
tidak berlaku lagi )
·
ZUL ARHAM
Yaitu
kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi
hanya berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang
tidak termasuk zawil furud dan juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.
·
ASHABAH
Ashabah
menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga
) bagian :
a.
Yang menjadi ashabah dengan sendirinya (
Ashabah Binafsi ) Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki
se Ibu dan sua
b.
Yang menjadi ashabah dengan sebab orang
lain ( Ashabah Bi’lghair ) Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya
anak laki-laki dan anak perempuan.
c.
Yang menjadi ashabah bersama orang lain
(Ashabah Ma’alhair).
·
BAITU AL - MAAL.
Jikalau didalam pembagian pusaka
terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan berkembang di
Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan
kemaslahatan Kaum Muslimin.
Kemudian
secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-bagian yang diperoleh
ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :
1. 1/3
( seperdua )
2.
1/4 ( seperempat )
3.
1/8 ( seperlapan )
4.
2/3 ( dua pertiga )
5.
1/3 ( sepertiga )
6.
1/6 ( seperenama )
Demikianlah
ketentuan-ketentua yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkau masalah ahli waris dan
bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi sesama ahli waris
dengan sistem kewarisan Islam
yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual / Bilateral. Selanjutnya dapat dilihak pengertian
ahli waris dan pengelompokan didalam KIII.
Perihal ahli waris yang terdapat dalam Pasal 171 Bab I dimaksud adalah “ Orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan
dengan pewaris, beragama Islam dan tidak berhalangan karena hukum untuk menjadi ahli waris “ .
Kemudian Pasal 174 Bab
II mengatakan :
1. Kelompok
– kelompok ahli waris terdiri dari :
a. Menurut
hubungan darah :
- Golongan
laki-laki terdiri dari : Ayah, anak laki-laki saudara laki-laki, Paman, dan
kakek ;
- Golongan
perempuan terdiri dari : Ibu, Anak perempuan dan Nenek
b. Menurut
hubungan perkawinan terdiri dari : Duda atau Janda.
2. Apabila
semua ahli waris ada , maka yang berhak mendapatkan warisan hanya : Anak , Ayah
, Ibu , Janda , atau Duda.
Demikian
uraian yang telah disampaikan mengenai hukum kewarisan Islam menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam )
khusunya mengenai tatacara pembagian harta warisan dan besarnya bagian yang diperoleh anak laki-laki dan
anak perempuan.
Hukum Waris Adat
Berbicara
mengenai Hukum Waris Adat, ada baiknya terlebih dahulu memahami pengertiannya
sebagai pegangan / pedoman untuk dapat melangkah kepada pembahasan selanjutnya.
Hukum Waris Adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana
harta warisan itu dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris kepada waris.
Hukum
waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu
generasi kepada keturunannya. TerHaar , 1950 ; 197 menyatakan :
-
“ Hukum waris adat adalah aturan-aturan
hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusab dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada
generasi “. [13]
Supomo , 1967 ; 72
menyatakan :
-
“ Hukum adat waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengopor
barang-barang harta benda dan barangbarang yang tidak berwujud benda (
Immateriele Geoderen ) dari suatu angkatan manusia ( Generatio ) kepada
turunannya “
Dengan demikian hukum waris itu menurut
ketentuan-ketentuan yang mengatur cara meneruskan dan pearlihan cara kekayaan (
berwujud atau tidak berwujud ) dari pewaris kepada ahli warisnya. Cara
penerusan dan peralihana harta kekayaan ini dapat berlaku sejak pewaris maish
hidup atau setelah meninggal dunia. Hal inilah yang membedakan antara hukum
waris barat ( KUH Perdata ) . Tata cara pengalihan atau penerusan harta
kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan,
penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris
kepada ahli waris.
Kemudian didalam hukum waris adat
dikenal beberapa prinsip ( azas umum ) , diantaranya adalah sebagai berikut :
· “
Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun , maka warisan ini
dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah
pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka . kalau tidak ada
anak atau keturunan secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek
dan seterusnya keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah
saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah
menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat
mengecualikan keluarga yang jauh “.
· “
Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung
dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi
merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan ada kalanya tidak
dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang tidak dapat
dibagi untuk selamanya” .
· “
Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ). Artinya
seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu
digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari
sipeninggal harta ) Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan
diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya” .
· “
Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana hak dan kedudukan
juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung )”.
Apabila
terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang maish hidup , anak
lelaki atau perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat
menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah
ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama.
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika ( angka
) , tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan
kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat mengenal
azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian
warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut
banyaknya bagian yang sudah ditentukan.
Tatacara
pembagian itu ada 2 ( dua ) kemungkinan yaitu :
1. Dengan
cara segendong sepikul
Artinya
bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan.
2. Dengan
cara Dum Dum kupat
Artinya
dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama) “.
Kebanyakan
yang berlaku adalah yang pembagian berimbang sama diantara semua anak. Demikianlah
corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum
Islam .Ini semua setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang
berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika , yang
didasarkan pada kehidupan bersama , bersifar tolong menolong guna mewujudkan
kerukunan , keselarasan dan kedamaian. Untuk membandungkan antara hukum waris
adat dengan hukum kewarisan Islam.
Dibawah ini dapat
dilihat beberapa perbedaan antara lain :
Harta warisan menurut
hukum waris adat yang tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,
tetapi merupakan kesatuan yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan
macamnya dan kepentingan para ahli waris.
Harta
warisan adat tidak boleh dijual segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu
dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku:
·
Didalam hukum waris Islam , harta
peninggalan pewaris langsung dibagi-bagi kepada sesama ahli waris yang tidak
berhak berdasarkan hukum faraidh.
·
Harta warisan adat terdiri dari harta
yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli
waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik
bersama para ahli waris , tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat
dipakai dan dinikmati . Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan sangat
mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan para anggota kerabat
bersangkutan . Bahkan harta warisan yang terbagi , kalau akan dialihkan (
dijual oleh para ahli waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat antara
para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan
kekerabatan.
·
Hukum waris adat tidak mengenal azas “
Legitieme Portie “ atau bagian mutlak
·
Hukum kewarisan Islam telah menetapkan
hak-hak dan bagian para ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana
yang telah dtentukan Al
·
Qur ‘ an Surah Annisa
·
Hukum waris adat tidak mengenal adanya
hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan
kepada ahli waris . Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan ,
sedangkan ia berhak mendapat warisan , maka ia dapat saja mengajukan permintaan
untuk dapat cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.
Hukum
Waris Barat
Berbicara
mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH
Perdata ( BW ) yang menganut sistem individual , dimana harta peninggalan
pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku
kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti eropah, cina , bahkan
keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran
agamanya.
Sampai
saat ini , aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan , walaupun
beberapa peraturan yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku
lagi , seperti hukum perkawainan menurut BW telah dicabut dengan berlakunya UU
No. 1 / 1974 , tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku bagi semua
warga negara.
Hal
ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 / 1974 yang
menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini,
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab undang-undang hukum perdata ( BW),
ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) , peraturan
perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 )
& peraturan peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam undang-undang ini , dinyatakan tidak berlaku.
Pokok hukum waris barat
dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :[14]
-
Dalam hal seorang mempunyai hak atas
sebagian dari sekumpulan harta benda , seorang itu tidak dipaksa mambiarkan
harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya
-
Pembagian harta benda ini selalu
dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu Dapat
diperjanjikan , bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu
tertentu
-
Perjanjian semacam ini hanya dapat
berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau tenggang lima
tahun itu telah lau
Jadi
hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung
dibagi-gi kan kepada para ahli waris . Setiap ahli waris dapat menuntut agar
harta peninggalan ( pusaka ) yang belum dibagi segera dibagikan ,walaupun ada
perjanjian yang bertentang dengan itu, kemungkinan untuk menahan atau
menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu & lain hal dapat
berlaku atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima
tahun kecuali dalam keadaan luar biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang
dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris hanya terdiri dari dua jenis
yaitu :
1. Ahli
waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab
intestato.
Yang
termasuk dalam golongan ini ialah
-
Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (simati)
-
Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris
-
Keluarga sedarah alami dari sipewaris
2.
Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair ) Yang termasuk
kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat
dengan surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya“.
Pada
dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris ini , cukup layak
bidang-bidang yang ahrus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah &
semenda , status hukum anak-anak tentang hak warisan ab intestato keluarga
sedarah , dan lain sebagainya. Untuk itu dalam tulisan ini diambil saja bagian
yang dianggap mampunyai hubungan dengan penjelasan terdahulu yakni mengenai
hukum kewarisan islam & hukum waris adat.
III.
Penutup
Kesimpulan
Istilah
waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa Arab
yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum
waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam
hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Dengan demikian
hukum waris itu mengandung tiga
unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang
meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan
meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Didalam
tiga lingkungan hukum, baik adat, islam maupun dalam KUH Perdata, anak-anak
dari si pewaris merupakan golongan ahli waris yang paling penting, oleh karena
itu pada hakekatnya mereka merupakan satu-satunya golongan ahli waris, artinya
lain-lain sanak keluarga tidak menjadi ahli waris, apabila si pewaris
meninggalkan anak-anak.
Namun terdapat
perbedaan yang principal dalam hal anak laki-laki dan anak perempuan. Di dalam
lingkungan hukum islam dibedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Sedangkan di dalam pengaturan waris menurut KUH Perdata dalam hal ini terdapat
persamaan dengan pengaturan waris menurut hukum adat. Jadi berlainan dengan
pengaturan waris menurut hukum islam. Di dalam ketentuan pasal 852 KUH Perdata
disebutkan: “kinderen . . . . . . . . .
zonder onderscheidvan kunne”, bahwa anak-anak dengan tidak diperbedakan
perihal kelaminnya.
[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti
Bandung, 1993, hlm. 23
[2] Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti
Presponoto, Let. N.
Voricin Vahveve, Bandung, 1990, hlm.47
[3] Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm.
72
[4] Soerojo Wignyodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Haji
Masagung, Jakarta, 1990, hlm. 165
[5]
Soerojo Wignyodipoero, Pengantar
dan Asas-asas Hukum Adat, Jakrta, 1990, hlm. 109.
[7] http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2026238-sifat-hukum-waris-adat/ diakses 20 Maret 2013| 23.00
WIB.
[9] Wirjono Prodjodikoro, 1983, Hukum Waris di Indonesia, Cetakan II,
Sumur, Bandung, hal 16
[12] Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 :
Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai
dengan
Pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang
tidak menerima wasiat diberi wasiat wajiblah sebanyak-banyaknya
1/3 dari
harta warisan anak angkat.
Terhadap anak angkat yang menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta wasiat orang tua tuang angkat.
[14] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Malta Pritindo Cetakan ke 39,
Jakarta, 2008.
Comments
Post a Comment