I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
.
Banyaknya keluhan-keluhan terhadap putusan hakim yang sekarang
ini terjadi dan sangat ramai diperbincangkan dalam masyarakat. Hal ini
merupakan salah satu contoh buruknya hukum yang ada di Indonesia..
Pencarian pengetahuan yang benar harus
berlangsung menurut prosedur atau kaedah hukum, yaitu berdasarkan logika.
Sedangkan aplikasi dari logika dapat disebut dengan penalaran dan pengetahuan
yang benar dapat disebut dengan pengetahuan ilmiah. Untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran
Deduktif dan Penalaran Induktif. Penalaran
deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya
telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan
teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan
kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep
dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di
lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori
merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Dilihat dari putusan hakim dapat dilihat banyaknya
putusan hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan, maupun putusan-putusan yang
“kontroversial”. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya putusan hakim yang
dibanding karena ketidakpuasan terhadap putusan hakim dan banyak juga
hakim-hakim yang dilaporkan kepada Komisi Yudisial karena kelakuan hakim itu
sendiri..
Putusan hakim juga harus memenuhi unsur nilai dasar
kemanfaatan dalam putusan hakim karena putusan hakim selain memenuhi unsur
kepastian hukum dan keadilan juga harus bermanfaat bagi seluruh pihak dan tidak
berpihak kepada siapapun sehingga dapat dijadikan referensi oleh hakim lain
untuk memutuskan suatu perkara dalam materi yang sama (yurisprudensi).
Banyak
jalan pemikiran kita dipengaruhi oleh keyakinan, pola berpikir kelompok,
kecenderungan pribadi, pergaulan dan sugesti. Juga banyak pikiran yang
diungkapkan sebagai harapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau
pernyataan kekaguman. Ada juga pemikiran yang diungkapkan dengan argumen yang secara
selintas kelihatan benar untuk memutarbalikkan kenyataan dengan tujuan
memperoleh keuntungan pribadi maupun golongan. Logika menyelidiki, menyaring
dan menilai pemikiran dengan cara serius dan terpelajar dan bertujuan
mendapatkan kebenaran, terlepas dari segala kepentingan dan keinginan
perorangan.
B.
Rumusan Masalah
Dewasa
ini permasalahan seorang hakim dalam menjatuhakn putusan kurang memenuhi aspek
keadilan dan kepastian hukum karena kurangnya pengetahuan seorang hakim tentang
PENALARAN HUKUM, maka dalam makalah ini akan dibahas:
1. Arti Penting Penalaran Hukum Bagi Hakim Dalam
Menjatuhkan Putusan !
II.
PEMBAHASAN
Penalaran adalah suatu proses berfikir manusia untuk
menghung-hubungkan data atau pakta yang ada sehingga pada satu kesimpulan. Data
atau fakta yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar disinilah
letak kerjanya penalaran orang akan menerima data dan fakta yang benar dan
tentu saja akan menolak fakta yang belum jelas kebenarannya. Data yang dapat
dipergunakan dalam penalaran untuk menapai satu simpulan ini harus berbentuk
kalimat pernyataan . kaliamat pernyataan yang dapat dipergunakan sebagai data
itu disebut reposisi.
Penalaran adalah
proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi
yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap
benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak
diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.[1]
Nalar,
menurut kamus bahasa Indonesia, artinya ; pertimbangan tertentu tentang baik
dan buruk, akal budi, aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis,
jangkauan pikir, kekuatan pikir.[2]
Dalam
penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya
disebut dengan konklusi (consequence). Untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran yaitu Penalaran Deduktif
dan Penalaran Induktif.
Penalaran hukum adalah
esensi terpenting dari pekerjaan seorang hakim, sekalipun eksponen Critical Legal Studies seperti Duncan
Kennedy selalu menyangsikan kekhasan dari penalaran hukum tersebut. Kennedy
pernah berujar, “Teachers teach nonsense
when they persuade students that legal reasoning is distinct, as a method for
reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There
is never a ‘correct legal solution’ that is other than the correct ethical or
political solution to the legal problem” (Kairys, 1982: 47). Kennedy
mungkin lupa bahwa hukum berhubungan dengan problematika kemanusiaan yang
kompleks, sehingga mustahil ia dapat senantiasa dinalarkan secara monolitik.
Penalaran hukum adalah fenomena yang multifaset.
Kendati demikian, penalaran itu tidak boleh dilakukan sekehendak hati.
Penalaran hukum adalah penalaran yang reasonable,
bukan semata logical. William
Zelermeyer (1960: 4) membedakan antara kedua istilah itu dengan katakata
sebagai berikut: “We are dealing with
human beings and not with things. We must reasonable. This means that the law
and its decisions must be supported by reason; they must be products of
arbitrary action. To be reasonable does not necessarily mean to be logical.
Logic can lead to injustice, hence we must guard against its abusive use.”
Penalaran hukum memang paling tepat ditelusuri jika berangkat dari putusan
hakim. Alasannya sederhana, sebagaimana dikatakan oleh A.G. Guest, “The object of a scientific inquiry is
discovery; the object of a legal inquiry is decision” (Hooft, 2002: 23).
Tentu saja penalaran hukum berlaku dalam semua pekerjaan para pengemban profesi
hukum lainnya di luar hakim. Namun, intensitas penalaran hukum yang dilakukan
oleh para hakim memang paling tinggi tingkatannya. Tidak mengherankan jika
akhirnya ada pandangan yang menyatakan bahwa legal reasoning itu pada hakikatnya adalah judicial reasoning.
· Metode induktif
Penalaran
Induktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada peristiwa khusus sebagai
hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan
yang baru yang bersifat umum. dalam hal ini penalaran induktif merupakan
kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun turun ke lapangan dan melakukan
penelitian tidak harus memiliki konsep secara canggih tetapi cukup dengan
mengamati lapangan dan dari pengamatan lapanngan tersebut dapat ditarik
generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan prasyaratan
mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan
kunci sukses untuk dapat mendeskripsikan gejala dan melakukan generalisasi. Hukum yang
disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum
diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode
berpikir induktif. Jenis penalran
induktif yaitu:
a.
Generalisasi
Generalisasi adalah
suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomenal individual untuk
menurunkan suatu inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena.
Generalisasi juga dapat dikatakan sebagai pernyataan yang berlaku umum untuk
semua atau sebagian besar gejala, yang dimulai dengan peristiwa – peristiwa khusus
untuk mengambil kesimpulan secara umum.
b.
Analogi
Analogi yaitu proses
membandingkan dari dua hal yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian berdasarkan
kesamaannya itu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan
analogi, yaitu kesimpulan dari pendapat khusus dengan beberapa pendapat khusus
yang lain, dengan cara membandingkan kondisinya.
c.
Kausal
Kausal adalah
paragraph yang dimulai dengan mengemukakan fakta khusus yang menjadi sebab, dan
sampai pada simpulan yang menjadi akibat. Serta bahwa setiap kejadian
memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya
dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinya , merupakan hal-hal
yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan.[3]
·
Metode deduktif
Penalaran
Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum,yang
kebenarannya telah diketahu dan diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan
atau pengetahuan yang baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali
pembentukan teori, hipotesis, definisi oprasional, instrumen dan
oprasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu
harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya
dilakukan penelitian lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif
tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala
atau peristiwa. Jenis penalaran
deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:
a. Silogisme
Kategorial : Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial
disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris.
Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden,
simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya
juga menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan
disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan
disebut premis minor.
b. Silogisme
Hipotesis : Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi
konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131) Silogisme hipotesis terdiri
atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis mayor
bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu itu terjadi,
maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi
pertama terjadi atau tidak terjadi.
c. Silogisme
Akternatif : silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi
alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah
satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi
minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu
alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
d. Entimen :
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan
maupun tulisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan. Entimen atau
Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya
pikiran adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan
pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem,
penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih
luas, istilah “enthymeme” kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen
yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.[4]
Logika diturunkan dari kata sifat logike, bahasa
Yunani , yang berhubungan dengan kata benda logos, berarti pikiran atau
perkataan sebagai pernyataan dari pikiran. Hal ini membuktikan bahwa ternyata
ada hubungan yang erat antara pikiran dan perkataan yang merupakan pernyataan
dalam bahasa. [5]Contoh:
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah
kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang
menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status
sosial.
Tujuan dilakukannya suatu penalaran adalah untuk mencapai kebenaran.
Demikian pula dengan hukum, tujuan diadakannya penalaran hukum yakni
disesuaikan dengan tujuan hukum itu sendiri. Tujuan hukum mengacu pada ”sasaran yang ingin
dicapai oleh fungsi hukum. Tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir
dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan
falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu yang akhirnya bermuara
pada keadilan. Dalam melakukan penalaran, pengertian dan proposisi mempunyai
peranan penting karena tanpa adanya pengertian tidak mungkin disusun proposisi
dan tanpa adanya proposisi tidak mungkin dilakukan penalaran.
Penalaran adalah sebuah proses mental di mana kita (melalui akal
budi) bergerak dari apa yang telah kita ketahui menuju ke pengetahuan yang baru
(hal yang belum kita ketahui). Atau kita bergerak dari pengetahuan yang kita
miliki menuju ke pengetahuan yang baru yang berhubungan dengan pengetahuan yang
telah kita miliki tersebut. Semua bentuk penalaran selalu bertolak dari sesuatu
yang sudah ada atau sudah kita ketahui. Kita tidak mungkin menalar bertolak
dari ketidaktahuan. Selalu ada sesuatu yang tersedia yang kita pergunakan sebagai
titik tolak untuk menalar. Titik tolak tersebut kita namakan “yang telah
diketahui” yaitu sesuatu yang dapat dijadikan sebagai premis, evidensi, bukti,
dasar bahkan alasan-alasan dari mana hal-hal yang belum diketahui “dapat
disimpulkan”. Kesimpulan itu disebut konklusi. Inilah kiranya yang merupakan
alasan mengapa penalaran dapat juga didefinisikan sebagai “berpikir konklusif”
atau “berpikir untuk menarik kesimpulan”. Penyimpulan ini dilakukan dengan cara
“induksi dan deduksi”. Induksi dalam hukum dimulai dengan mengumpulkan
fakta-fakta empiris.
Berfikir secara filosofis dengan penalaran dapat
digunakan dalam memenuhi ajaran agama, dengan maksud agar hikmah hakikat, atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Berfikir
filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik dan universal dalam rangka
mencari kebenaran dan sebagai tolak ukur kebenaran harus ditinjau dari objeknya
yang menyangkut tujuan dari ilmu hukum itu sendiri, diantara tujuan hukum ialah
dalam rangka:
1.
Mempelajari
asas-asas hukum yang pokok
2.
Mempelajari
sistem formal hukum
3.
Mempelajari
kepentingan-kepentingan sosial yang dilindungi oleh hukum
4.
Mempelajari
tentang keadilan bagaimana mewujudkannya melalui hukum
Konsep dan Simbol
dalam Penalaran
Penalaran juga
merupakan aktivitas pikiran yang abstrak,
untuk mewujudkannya diperlukan simbol.
Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa,
sehingga wujud penalaran akan akan berupa argumen.
Pernyataan atau konsep adalah abstrak dengan simbol berupa kata, sedangkan untuk
proposisi simbol yang digunakan adalah kalimat (kalimat
berita) dan penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat
menentukan kebenaran konklusi dari premis. Berdasarkan
paparan di atas jelas bahwa tiga bentuk pemikiran manusia adalah
aktivitas berpikir yang
saling berkait. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada
penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya
akan terbentuk pula proposisi dan dari
proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan
untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari
rangkaian pengertian..
Syarat-syarat
Kebenaran dalam Penalaran :
Jika seseorang
melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran.
Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
·
Suatu penalaran bertolak
dari pengetahuan yang
sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang
memang salah.
·
Dalam penalaran, pengetahuan
yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar.
Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material.
Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan –
aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang
dijadikan sebagai premis tepat.
Ciri-ciri penalaran yaitu :
·
Adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika (penalaran merupakan
suatu proses berfikir logis).
·
Sifat analitik dari proses
berfikir. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berfikir
berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Hakikat Penalaran
,penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam menemukan kebenarannya. Penalaran merapakan proses berfikir
dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.
Didalam logika
deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata – kata yang
bersifat Homonim yaitu kata yang memiliki banyak arti dalam logika biasanya disebut kesalahan
sematik (Ambiguitas) atau bahasa, adapun
untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara misalnya menunjukan
langsung adanya kesesatan sematik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih
kata yang arti tunggal, mengunakan wilayah pengertian yang tepat apakah
universal atau partikuler. Dapat juga dengan konotasi subyek yang berlaku
khusus atau objektif yang bersifat komprehensif. Kesesatan didalam logika dapat
dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkap atau
kurang teliti. Kesesatan juga terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan dan
bertentangan dengan fakta. Tidak cukup perbedaan itu menjadikannya suatu
kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersaman yang bersifat kebetulan.
Kesesatan yang terjadi karena generalisasi yang tergesa – gesa atau analogi
yang keliru.
Jenis
– jenis kesesatan Relevansi:
·
Argumentum ad Hominem, kesasatan terjadi apabila seseorang berusaha agar
orang lain menerima atau menolak suatu usul, tidak berdasarkan alasan
penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan atau
keadaan orang yang mengusulkan atau yang diusuli.
·
Argument ad Verecundiam, kesesatan ini juga menerima atau menolak sesuatu
tidak berdasarkan nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang
mengemukakan adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya, seorang ahli.
·
Argumentum ad baculum, kesesatan terjadi apabila penerimaan atau
penolakan suatu penalaran didasarkan atas kekuatan,
ancaman, tekanan untuk memenangkan atau menyakinkan suatu hal.
·
Argumentum ad misericordiam,
seruan untuk membangkitkan belas kasihan.
·
Argumentum ad populum, sasasran kesalahan pada
kelompok ,bukan masalahnya.
·
Argument ad igorantion, suatu
harus di terima karena tidak dapat di tujukan, tidak dapat di buktikan .[7]
Menghindari
sesat pikir tidaklah mudah karena banyak hambatan dalam menuju pemikiran yang
lurus dan jernih. Hambatan-hambatan itu adalah purbasangka, propaganda,
otoriterianisme, kurangnya pengetahuan tentang hukum berpikir benar, dan tidak
cermat menggunakan kata-kata.
·
Purbasangka
Purbasangka yakni putusan yang mengabaikan atau
mengecilkan bukti. Manusia pada umumnya sukar mengambil putusan sampai samua
bukti yang dibutuhkan terkumpul. Meskipun bukti-bukti telah terkumpul, putusan
tetap lebih berorientasi pada kepentingan pribadi. Penyebab purbasangka adalah
terburu-buru, terjerat tradisi, larut pada kepentingan pribadi serta berbaik
sangka atau buruk sangka pada bukti-bukti.
·
Propaganda
Propaganda yaitu usaha membentuk opini umum
bukan berdasarkan bukti-bukti rasional, tetapi mengundang kekuatan emosi.
Akibatnya, putusan yang diambil oleh orang-orang yang larut dalam propaganda
bukan putusan logis, tetapi putusan emosional.
·
Otoriterianisme
Otoriterianisme yaitu mengikuti ajaran, doktrin
partai atau madzhab agama tanpa penyaringan. Otoriterianisme membawa
dampak-dampak negatif, antara lain menghalangi sikap kritis sehingga menghambat
pencarian kebenaran dan kemajuan berfikir. Bila tokoh-tokoh dari pemegang
otoritas itu berbicara bukan pada bidangnya, ia akan menyesatkan. Pengikut
otoriterianisme akan melestarikan dan memperluas keyakinan yang tersesat.
·
Kurangnya Pengetahuan tentang Hukum Berpikir Benar
Kemampuan bawaan tidak mampu untuk menyelesaikan
masalah-masalah pemikiran yang agak rumit yang menyebabkan tidak dapat
terhindar dari kekeliruan. Semakin luas pengetahuan orang tentang bentuk-bentuk
sesat pikir akan semakin terhindar dari kemungkinan kekeliruan berpikir.
·
Tidak Cermat Menggunakan Kata-kata
Banyak kata yang digunakan oleh masyarakat
secara keliru dan tidak sedikit orang yang mengikuti begitu saja.[8]
Apakah Kebenaran itu ? Jawaban terhadap pertanyaan itu
bermacam-macam, tergantung pada kriteria untuk menentukan kebenaran. Dilihat dari kriteria
ini muncullah berbagai teori kebenaran. Di dalam
epistemologi ada beberapa teori kebenaran yang dominan:
1. Teori Koherensi
Menurut teori ini kebenaran adalah keruntutan
pernyataan. Pernyataan-pernyataan dikatakan benar apabila ada keruntutan di dalamnya,
artinya pernyataan satu tidak bertentangan secara logika dengan pernyataan2
yang lain.
· Contoh 1:
Semua segitiga mempunyai sudut yang berjumlah
180°
Penggaris ini berbentuk segitiga
Jadi, jumlah sudut penggaris ini 180 °
· Contoh 2:
Semua manusia membutuhkan air
Rudi adalah seorang manusia
Jadi, Rudi membutuhkan air
2. Teori Kebenaran
Korespodensi
Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan
dengan kenyataan. Sesuatu pernyataan dikatakan benar apabila ada
bukti empiris yang mendukungnya.
· Contoh-contoh:
-
Semua besi bila dipanaskan akan memuai.
-
Jakarta adalah ibukota negara RI
-
Pancasila adalah dasar negara RI
-
Orang Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa
-
Sebagian besar mahasiswa FIP adalah perempuan
3. Teori Kebenaran
Pragmatis
Menurut teori ini sesuatu pernyataan atau
pemikiran dikatakan benar apabila dapat mendatangkan manfaat atau kegunaan pada
banyak orang.
Jadi, tidak cukup
bila suatu pernyataan dilihat secara korespondensi atau koherensi. Hal yang
lebih penting adalah apakah pernyataan itu dapat dilaksanakan, ditindaklanjuti
dalam perbuatan yang bermanfaat. Apabila sesuatu itu bermanfaat bagi manusia
berarti sesuatu itu benar. Apabila suatu ide yang brilian dapat
dilaksanakan secara operasional barulah ide tersebut benar
Contoh:
· Pernyataan
“Semua besi bila dipanaskan akan memuai” mempunyai kebenaran pragmatis bagi
tukang pandai besi atau pabrik untuk mengolah besi sehingga menjadi alat-alat
yang bermanfaat bagi manusia.
· Misalnya,
ada peristiwa kebakaran. Pernyataan tentang apa sebab kebakaran tidak bermanfaat, maka tidak benar. Hal yang benar
adalah tindakan cepat untuk memadamkan api seperti mencari ember dan air,
menelepon pemadam kebakaran, dlsb
· Kesepakatan
para bapak pendiri negara tentang dasar negara Pancasila
· Konsensus
anggota MPR untuk
mengubah/mengamandemen UUD 1945 sebagai salah satu wujud dari agenda reformasi
hokum
· Kesepakatan
komunitas ilmiah (ilmuwan) dalam menetapkan paradigma dan metode ilmiah bidang
ilmu masing-masing.
4. Teori Kebenaran Konsensus
Suatu pernyataan dikatakan benar apabila
dihasilkan dari suatu konsensus bersama (kesepakatan). Untuk mencapai
konsensus, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Menurut
Jurgen Habermas, konsensus harus memenuhi syarat:
-
Keterpahaman à hal yang
dibicarakan dapat dipahami
-
diskursus/wacana, à ada
dialog antar ide
-
ketulusan/kejujuran à semua
kepentingan/interest dikemukakan sehingga ada keterbukaan
-
Otoritasà orang
yang terlibat dalam konsensus memang memiliki kewenangan untuk itu sehingga
keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.[9]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penalaran bertujuan
pertama, yaitu untuk menghasikan suatu pemikiran secara kontruktif sehingga
menghasilkan suatu pemikiran yang benar. Kedua, yaitu mempertajam pemikiran
agar melahirkan pemikiran yang benar dan menghindari suatu kesimpulan yang
salah. Ketiga, yaitu untuk berpikir secara sistematis dan metodologis sehingga
dapat menemukan problema-problema.
Penalaran induktif merupakan prosedur yang
berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir
pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini
penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Dengan
demikian, untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran tersebut dapat
digunakan secara bersama-sama dan saling mengisi, dan dilaksanakan dalam suatu
wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat pada
hukum-hukum logika.
Manfaat
Logika
dibidang hukum, yaitu untuk menemukan masalah-masalah serta menyelesaikan
masalah-masalah dengan logika. Logika dapat membantu berpikir agar dapat
menghindari kesalahan atau kekeliruan. Berpikir logis sering menggunakan pola
pikir Deduktif yaitu suatu penetapan kesimpulan dari yang bersifat umum ke
khusus (Premis Mayor to Premis Minor). Namun terkadang logika juga menggunakan
pola pikir Induktif (Premis Minor to Premis Mayor/Khusus – Umum).
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm.772
[3] http://lailamaharani.blogspot.com/2012/10/penalaran-induktif.html di akses 12 November
2013| 23.00 WIB.
[4] http://mydungeon.wordpress.com/2012/03/15/penalaran-induksi-dan-deduksi/ di akses 13 November 2013|
12.35 WIB.
[6] Satjipto Rahardjo, Ilmu
Hukum, Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 4
[8] http://syfakumala.blogspot.com/2010/01/penyebab-sesat-pikir.html di akses 10 November 2013 |
23.45 WIB.
[9]https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CEgQFjAD&url=http%3A%2F%2Fstaff.uny.ac.id%2Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Fpendidikan%2FDr.%2520Rukiyati%2C%2520M.Hum.%2FTeori-teori%2520Kebenaran.ppt&ei=UOmIUtj BsG3rgewi4CACw&usg=AFQjCNFzG3CnmS8Jx4nS4jxNuF9DPL4J6A&sig2=vKQQF6VoPq9nvE75zqirmg diakses 12 November 2013 | 20.00 WIB.
Comments
Post a Comment