I.
Pendahuluan
A. Latar
Belakang Masalah
Anak sebagai salah
satu sumber daya manusia dan merupakan generasi penerus bangsa, sudah selayaknya mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah, dalam rangka pembinaan anak untuk mewujudkan sumber
daya manusia yang tangguh serta
berkualitas. Berkaitan dengan pembinaan anak diperlukan sarana dan prasarana hukum yang mengantisipasi segala
permasalahan yang timbul. Sarana dan prasarana yang dimaksud menyangkut
kepentingan anak maupun yang menyangkut penyimpangan sikap dan perilaku yang
menjadikan anak terpaksa dihadapkan ke muka pengadilan.
Anak merupakan bagian dari masyarakat, mereka
mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lain yang harus dilindungi dan
dihormati. Setiap Negara dimanapun di dunia ini wajib memberikan perhatian
serta perlindungan yang cukup terhadap hak-hak anak, yang antara lain berupa
hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya. Namun sepertinya kedudukan dan
hak-hak anak jika dilihat dari prespektif yuridis belum mendapatkan perhatian
serius baik oleh pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya dan
masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi
inipun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak-hak anak yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Di Indonesia telah dibuat peraturan-peraturan
yang pada dasarnya sangat menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak
yaitu diratifikasinya Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990. Peraturan perundangan lain yang telah dibuat oleh pemerintah
Indonesia antara lain, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Secara
substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak
hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah
menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat,
bergaul dan hak jaminan sosial.
Dibuatnya aturan-aturan tersebut sangat jelas
terlihat bahwa Negara sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak. Hak-hak
anak tersebut wajib dijunjung tinggi oleh setiap orang. Namun sayangnya dalam
pengaplikasiannya masalah penegakan hukum (law enforcement) sering
mengalami hambatan maupun kendala baik yang disebabkan karena faktor internal
maupun faktor eksternal.
Salah satunya adalah dalam sistem pemidanaan
yang sampai sekarang terkadang masih memperlakukan anak-anak yang terlibat
sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak pidana yang dilakukan
oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi sebagai seorang pelaku
kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman yang sama dengan orang dewasa
dan berlaku di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut
penulis tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul: “ EFEKTIVITAS PENERAPAN SANKSI BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA “
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas masalah perlindungan terhadap
anak-anak sangatlah luas, maka disini penulis membatasi masalah tersebut
khususnya bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, dengan motif dan berbagai
saran yang digunakan. Sehingga masalah pokok tersebut dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut
1.
Bagaimana
efektifitas penerapan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana ?
C. Tinjauan
Pustaka
Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari
sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini
jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami
istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya
disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari
suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan
perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah atau
lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah.
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On
The Rights of The Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia
18 tahun, kecuali berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan
telah diperoleh sebelumnya.
Pengertian anak yang terdapat di dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat (1) tentang Perlindungan Anak, anak adalah
seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih di
dalam kandungan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, pengertian anak adalah orang yang dalam perkara
anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum pernah kawin.
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a.
Anak
yang melakukan tindak pidana, atau
b.
Anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut
perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku
dalam masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang tentang Pengadilan Anak yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang tegas tentang batas
usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa :
(1)
Batas
umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
Dalam
hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan dapat diajukan ke sidangpengadilan, setelah anak yang bersangkutan
melampaui batas umur tersebut tetapi blm mencapai umur 21 tahun, tetap diajukan
ke sidang anak.
Dalam
hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig
/ person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig
heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada
dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij). Pengertian anak
itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut
hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal
ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.
Perbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan
perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak adalah seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.[1]
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang dimaksud dengan anak nakal adalah :
a.
Anak
yang melakukan tindak pidana, atau
b.
Anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak,
Baik
menurut perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana
(kejahatan) harus mengandung unsur-unsur :
·
adanya
perbuatan manusia
·
perbuatan
tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum
·
adanya
kesalahan
·
orang
yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang
membuat ia harus berhadapan dengan hukum, yaitu : [2]
1)
Status
Offence adalah perilaku
kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai
kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah ;
2)
Juvenile
Deliquency adalah
perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasadianggap
kejahatan atau pelanggaran hukum.
Kedudukan
anak yang dihukum dengan diserahkan kepada orang tua, lembaga perawatan atau
pembinaan, balai latihan kerja, atau lembaga sosial, tidak dapat disebut
sebagai gugurnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak tersebut dan atau
dihapuskannya hak anak untuk menjalankan hukuman (penjara) dari anak tersebut.
Anak-anak
mempunyai hak untuk dibina agar dapat menjalankan kewajibannya sebagai warga
Negara yang baik sehingga dengan pembinaan yang sedini mungkin dapat mencegah
anak-anak melakukan tindak pidana yang lebih jauh. Salah satu pembinaan yang
paling baik berasal dari keluarga, namun terkadang adanya intervensi pembinaan
sosial dalam keluarga yang sering menunjukkan sikap bahwa untuk menyelesaikan
penyimpangan yang dilakukan oleh anak adalah diselesaikan dengan jalan
musyawarah, bujukan atau pengusiran terhadap anak sebagai pelaku kejahatan.
Tindakan yang menurut keluarga merupakan pandangan bahwa itu merupakan sebagai
substitusi proses pendidikan demi pertumbuhan dan perkembangan anak, malah
justru akan membuat anak tersebut merasa diabaikan dan tertekan.
Di
Indonesia sendiri sejak dibentuk Undang-Undang tentang Pengadilan Anak yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, memberikan batasan yang tegas tentang batas
usia pemidanaan anak di Indonesia. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa :
(1)
Batas
umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8
tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahundan belum pernah kawin.
(2)
Dalam
hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan dapat diajukan ke sidang pengadilan, setelah anak yang
bersangkutan melampaui batas umur tersebut tetapi blm mencapai umur 21 tahun,
tetap diajukan ke sidang anak.[3]
Jika pelaku kejahatan dilakukan oleh anak
dibawah dari batas usia minimum yang ditentukan atau belum berumur 8 tahun,
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ditegaskan bahwa :
(1)
Dalam
hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh
penyidik.
(2)
Apabila
menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali atau orang tua asuhnya,
penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang
tua asuhnya.
(3)
Apabila
menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali atau orang tua
asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah
mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan.
Hak-hak
anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi yang saling
terkait dan mempengaruhi dengan yang lainnya. Aspek mental, fisik, sosial, dan
ekonomi merupakan faktor yang harus ikut diperhatikan dalam mengembangkan
hak-hak anak. Untuk mendapatkan suatu keadilan, diperlukan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Demikian juga halnya dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban bagi anak yang melakukan tindak pidana perlu mendapatkan bantuan
serta perlindungan hukum agar tercapai suatu keadilan yang diharapkan. Namun
yang kiranya perlu digarisbawahi bahwa memperlakukan anak harus melihat
situasi, kondisi fisik dan mental, keadaan sosial serta usia dimana pada tiap
tingkatan usia anak mempunyai kemampuan yang berbeda-beda.
II.
Pembahasan
Efektivitas Penerapan Sanksi Bagi Anak Pelaku
Tindak Pidana
Hukum perlindungan anak merupakan subsistem
hukum dan tujuan hukum pidana, yang didalamnya meliputi pemahaman dasar
terhadap asas-asas hukum pidana seperti asas territorial, asas personal aktif,
asas personal pasif, asas universalitas, asas fictie, dan lain-lain. Ada dua
langkah legislatif yang ditempuh untuk melindungi anak-anak yang terlibat dalam
tindak pidana, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 disebut sebagai hukum pidana anak yang khusus mengatur
tentang peradilan anak yang didalamnya termasuk juga fenomena yuridis serta
keutamaan legalitas dalam menangani delikuensi anak atau anak sebagai korban
(victima) dari kejahatan dan atau pelanggaran pidana. Ketentuan dasar hukum
acara pidana anak dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan
Anak, meliputi asas-asas sebagai berikut :
1.
Asas
Belum Dewasa
Asas belum dewasa menjadi syarat ketentuan untuk menentukan seseorang
dapat diproses dalam peradilan anak. Ketentuan ini dirumuskan dalam Pasal 1
ayat 1 dan Pasal 4. Asas belum dewasa membentuk kewenangan untuk menentukan
batas usia bagi seseorang yang disebut sebagai anak yang dapat melahirkan hak dan
kewajiban.
2.
Asas
Keleluasaan Pemeriksaan
Ketentuan dan keleluasaan pemeriksaan
dimaksud yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi penyidik, penuntut umum,
hakim maupun petugas lembaga pemasyarakatan dan atau petugas probation / social
worker untuk melakukan tindakan-tindakan atau upaya berjalannya penegak hak-hak
asasi anak, mempermudah sistem peradilan dan lain-lain. Asas keleluasaan
pemeriksaan diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 59. Tujuan utama adalah
meletakkan kemudahan dalam sistem peradilan anak, yang diakibatkan
ketidakmampuan rasional, fisik/jasmani & rohani atau keterbelakangan
pemahaman hukum yang didapat secara kodrat dalam diri anak.
3.
Asas
Probation / Pembimbing Kemasyarakatan / Social Worker
Kedudukan probation atau social worker yang diterjemahkan
dengan arti pekerja sosial diatur dalam Pasal 33 ketentuan asas ini lebih
diutamakan kepada sistem penerjemahan ketidakmampuan seorang anak menjadi lebih
transparan dalam sebuah proses peradilan anak.
Peradilan
pidana anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang menyangkut anak.
Dan sistemnya juga berbeda
dengan pemeriksaan pada pelaku tindak pidana dewasa. Soedarto
mengatakan bahwa peradilan anak meliputi segala aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang
menyangkut kepentingan anak.[4]
Penjatuhan
pidana kepada anak-anak berbeda dengan penjatuhan pidana kepada orang dewasa.
Anak-anak diberikan pemidanaan yang seringan mungkin dan setengah dari
penjatuhan pidana pelaku tindak pidana dewasa. Dalam konteks Hukum Pidana ada 2
(dua) macam ancaman pidana maksimum, yakni ancaman pidana maksimum umum dan
ancaman pidana maksimum khusus. Maksimum umum disebut dalam Pasal 12 ayat (2)
KUHP, yakni pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari
dan paling lama 15 tahun berturut-turut. Jadi pidana maksimum umum adalah
maksimum lamanya pidana bagi semua perbuatan pidana. Adapun maksimum lamanya
pidana bagi tiap-tiap perbuatan pidana adalah maksimum khusus.
Bagi
anak yang melanggar hukum sanksi pidananya harus lebih bersifat mendidik dan
membina anak kearah kehidupan yang lebih baik, agar menjadi anggota masyarakat
yang patuh kepada hukum. Oleh karena itu sifat sanksi atau tindakan bagi anak
harus berbeda dengan sifat sanksi pidana bagi orang dewasa. Ada beberapa
jenis-jenis pidana yang tidak dapat dijatuhkan kepada anak yang belum dewasa,
antara lain:
a. Pidana
mati;
b. Pidana
penjara seumur hidup;
c. Pidana
tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu;
d. Pidana
tambahan berupa pengumuman keputusan hakim.
Dua hal yang patut
diperhatikan dalam masalah penangkapan Anak Nakal adalah kapan dan bilamana
penangkapan tersebut dimungkinkan menurut Undang-undang, yaitu :
a.
Dalam hal tertangkap tangan
b.
Dalam hal bukan tertangkap tangan
Pada Bab II Pasal 5
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dijelaskan mengenai
sistem pembinaan di pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas :
a. Pengayoman
b. Persamaan
perlakuan dan pelayanan
c. Pendidikan
d. Pembimbingan
e. Penghormatan
harkat dan martabat manusia
f. Kehilangan
kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan
g. Terjaminnya
hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orangorang tertentu.
Kriteria anak didik
pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat (8) dibagi menjadi 3 (tiga) :
1. Anak
pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS
anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
2. Anak
Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara
untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun
3. Anak
Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun.
Pasal
60 ayat (1) menyebutkan bahwa Anak Didik Pemasyarakatan ditempatkan di Lembaga
Pemasyarakatan Anak yang harus terpisah dari orang dewasa. Hal ini menjadi
bukti bahwa keberadaan anak-anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan haruslah
benar-benar terpisah dari orang dewasa dikarena kondisi dari psikologis anak
tersebut yang belum matang. Oleh sebab itu dikhawatirkan bahwa bercampurnya
tahanan anak dengan orang dewasa memberi pengaruh buruk bagi perbaikan tingkah
laku si anak.
Didalam
Undang-undang Pengadilan Anak masalah ketentuan bantuan hukum bagi anak diatur
dalam Pasal 51 dan 52 (Bab Acara Pidana Anak), sebagai berikut :
Pasal
51 :
(1) Setiap
anak nakal sejak ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari
seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan setiap tingkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan undang-undang ini.
(2) Pejabat
yang melakukan penangkapan atau penahanan wajib memberitahukan kepada tersangka
dan orang tua, wali atau orang tua asuh mengenai hak untuk memperoleh bantuan
hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Setiap
anak nakal yang ditangkap atau ditahan berhak berhubungan langsung dengan
penasihat hukum dengan diawasi tanpa didengar oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 52 :
Dalam memberikan
bantuan hukum kepada anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat 1, penasihat
hukum berkewajiban memperhatikan kepentingan anak dan kepentingan umum serta
berusaha agar suasana kekeluargaan tetap terpelihara dan peradilan berjalan
lancar.
Namun
Sistem Pemidanaan Di Indonesia pada saat ini bagi anak sebagai pelaku tindak
pidana pelaksanaannya lebih kepada memasukkan mereka kedalam Lembaga
Pemasyarakatan Anak daripada mengembalikan mereka kepada orang tua / wali,
ataupun kepada lembaga – lembaga sosial lainnya yang bergerak dibidang
pendidikan, pembinaan dan latihan kerja. Praktek penanganan anak pelaku
dilinkuen berlandaskan pada UU No 3 tahun 1997 ternyata cenderung bersifat
punitif, anak-anak pelaku delinkuen cenderung pembinaan LAPAS untuk anak-anak
tetapi dicampur dengan LP untuk orang dewasa.[5]
Hakim
sebagai institusi terakhir yang paling menentukan atas nasib anak lebih suka
“menghukum” dengan menempatkan anak di dalam Lembaga Pemasyarakatan daripada
memberikan putusan alternatif. Padahal memasukkan anak kedalam Lembaga
Pemasyarakatan tidak menjadi satu-satunya jalan terbaik bagi perbaikan moral
dan tingkah laku anak.
Rumah
tahanan Negara sebagai tempat penahanan sebelum putusan pengadilan ditetapkan,
seringkali menempatkan anak bercampur bersama para tahanan dewasa. Pasal 45
ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bahwa tempat
penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama
anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
Jumlah rumah tahanan khusus anak di Indonesia masih belum memenuhi. Biasanya
pada prakteknya strategi yang ditempuh untuk melindungi anak-anak yang terpaksa
ditempatkan di rumah tahanan dewasa ialah dengan menempatkan mereka didalam
ruangan tersendiri dan terpisah dari tahanan dewasa. Hal ini untuk menghindari
akibat negatif karena dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalaman
jelek kepada anak sehingga dapat mempengaruhi perkembangan mentalnya. Namun
karena keterbatasan yang ada sering terjadi kekurangan ruangan yang
diperuntukkan bagi anak, yang akhirnya mengakibatkan anak – anak terpaksa
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan yang diperuntukkan bagi orang dewasa,
tetapi tetap dilakukan pemisahan berdasarkan jenis kelamin.
Penjatuhan
pidana atau tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan dan dapat bermanfaat
bagi anak. Hal ini untuk mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang
sifatnya merugikan bagi anak, sehingga perlu diperhatikan dasar etis bagi
pemidanaan yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan. Pidana harus
bersifat edukatif, konstruktif, tidak destruktif dan harus memenuhi kepentingan
anak yang bersangkutan. Pemberian hukuman yang bersifat edukatif kepada anak,
dengan cara memberikan hukuman kepada mereka untuk mengikuti bimbingan moral
dan akhlak yang dilakukan oleh lembaga – lembaga keagamaan, pendidikan ataupun
latihan kerja masih minim diterapkan oleh hakim pada saat ini. Sebagai contoh
kasus pencurian (kasus Irwan Syahputra Pakpahan) hakim memutuskan anak tersebut
ditempatkan di penjara. Hal ini menunjukkan bahwa Kepolisian, Jaksa dan Hakim
tidak memberikan peluang diberikannya alternatif penghukuman bebas bersyarat
sebagaimana diatur dalam The Beijing Rules Butir
28.
Sistem
peradilan menjadi suatu keadaan yang menakutkan bagi anak, penyebabnya adalah
proses peradilan merupakan proses yang tidak dikenal dan tidak biasa bagi anak,
alasan seorang anak dimasukkan dalam proses peradilan sering tidak jelas,
sistem peradilannya pun dibuat untuk dan dilaksanakan oleh orang dewasa, tidak
berorientasi pada kepentingan anak dan kurang ramah terhadap anak sehingga
proses peradilan menimbulkan stress dan trauma pada anak.
Pemberlakuan
Undang-Undang Pengadilan Anak pada setiap perkara anak sekarang telah dilengkapi
dengan penelitian Kemasyarakatan (litmas) yang dilakukan oleh petugas Balai
Pemasyarakatan (Bapas) tentang kondisi anak dan lingkungannya serta latar
belakang yang menjadi penyebab terjadinya tindak kejahatan. Adanya laporan dari
petugas bapas diharapkan dapat menjadi masukan bagi hakim untuk mengambil
keputusan terbaik bagi anak sehingga tidak merugikan untuk perkembangan mental
anak.
Anak
harus dididik untuk dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan yang
dilakukannya, terlebih lagi jika perbuatan itu menyangkut perbuatan atas
tindakannya dalam hal melanggar hukum. Untuk menjadikan seorang anak dapat
bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan dibutuhkan seperangkat
hukum yang mengatur tentang sistem, status dan proses untuk menjadikan anak
dimaksud disebut sebagai subjek hukum yang mampu dan atau mendapatkan ketetapan
hukuman yang diberikan oleh hakim pengadilan dengan ketentuan khusus.
Dampak
buruk yang sering diderita anak yang berkonflik dengan hukum ketika mereka
menjalani proses hukum pada semua tingkatan menimbulkan dampak buruk bagi anak.
Dampak tersebut dapat melekat dalam dan tinggal lama sebagai cedera mental dan
moral, sehingga hal tersebut bertentangan dengan tujuan utama pemidanaan anak
sebagai sarana rehabilitasi dan koreksi.
III.
Penutup
Anak yang
berkonflik dengan hukum dalam posisi anak sebagai pelaku tindak pidana selain
membutuhkan perlindungan dan keamanan diri juga memerlukan proteksi berupa
regulasi khusus yang menjamin kepentingan anak. Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 pada dasarnya memberikan stigma terhadap anak. Pen ”cap” an atau pelabelan
terhadap anak bahwa ia sebagai pelaku tindak pidana memberikan efek yang besar
bagi pertumbuhan psikologis anak. Selain itu ketentuan yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak lebih menekankan pada
segi straf atau penghukuman, walaupun dijelaskan juga bahwa anak dapat
dikembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, dan juga departemen
sosial. Namun dalam pelaksanaannya dilapangan para aparat penegak hukum lebih
mengedepankan penjatuhan pidana penjara daripada sanksi yang dapat memperbaiki
moral dari anak. Pengetahuan aparat penegak hukum khususnya di Indonesia
tentang penanganan kasus anak memang masih kurang. Aturan yang diterapkan juga
hampir sama perlakuannya dengan penerapan aturan bagi terpidana dewasa.
Pertimbangan psikologis dan kepentingan si anak menjadi nomor dua.. Aturan yang
berlakupun bukan aturan yang dikhususkan bagi anak melainkan bagi dewasa,
sehingga anak tidak menjadi lebih baik perbuatannya namun sebagian besar malah
membuat anak semakin pintar dalam berbuat kejahatan karena mereka mendapat ilmu
baru tentang kejahatan dari para pelaku tindak pidana dewasa.
[2]
Purnianti,
Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen
and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America : An Introduction, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak
( Juvenile Justice System ) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, Hal.2
[3]
Lilik
Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya,
Mandar Maju, Bandung 2005, Hal. 6.
[4]
Agung
Wahyono dan Ny. Siti Rahayu , Tinjauan
Tentang Peradilan Anak Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, Hal. 14
[5]
Paulus
Hadisuprapto,Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa
Datang, Diponegoro University Press, Semarang, 2006
Comments
Post a Comment