A.
Latar
Belakang Masalah
Pencucian uang adalah sebuah kejahatan yang melibatkan
upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil sebuah kejahatan. Para
penjahat menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatannya melalui proses:
penempatan (placement), pelapisan (layering) atau penggabungan (integration).
Tindak pidana pencucian uang atau yang lebih dikenal dengan istilah money
laundering merupakan istilah yang sering didengar dari berbagai media massa,
oleh sebab itu banyak pengertian yang berkembang sehubungan dengan istilah
pencucian uang. Sutan Remi Sjahdeini menggarisbawahi, dewasa ini istilah money
laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan
oleh seseorang atau badan hukum untuk melegalisasi uang “kotor”, yang diperoleh
dari hasil tindak pidana.[1]
Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang (money
laundering) adalah penyetoran atau penanaman uang atau bentuk lain dari
pemindahan atau pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi
narkotika, dan sumbersumberlain yang ilegal melalui saluran legal, sehingga
sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui atau dilacak.[2]
Menurut Aziz Syamsuddin, tindak pidana pencucian uang
adalah tindakan memproses sejumlah besar uang ilegal hasil tindak pidana
menjadi dana yang kelihatannya bersih atau sah menurut hukum, dengan
menggunakan metode yang canggih, kreatif dan kompleks. Atau, tindak pidana
pencucian uang sebagai suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan, yang
diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan
yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah.[3]
Secara umum ada dua alasan pokok yang menyebabkan praktik
pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, sebagai berikut:
Pertama, Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini
berdampak negatif bagi perekonomian dunia.[4]
Misalnya, dampak negatif terhadap efektifitas penggunaan sumber daya dan dana
yang banyak digunakan untuk kegiatan tidak sah dan menyebabkan pemanfaatan dana
yang kurang optimal, sehingga merugikan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena
uang hasil tindak pidana diinvestasikan di negara-negara yang dirasakan aman
untuk mencuci uangnya, walaupun hasilnya lebih rendah. Uang hasil tindak pidana
ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik.
Dampak negatifnya money laundering bukan hanya menghambat pertumbuhan ekonomi
dunia saja, tetapi juga menyebabkan kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem
keuangan internasional, fluktuasi yang tajam pada nilai tukar suku bunga dan
dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan
internasional.
Kedua, dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak
pidana akan memudahkan penegak hukum untuk melakukan penindakan terhadap pelaku
kejahatan tersebut. Misalnya, menyita hasil tindak pidana yang susah dilacak
atau sudah dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Dengan cara ini pelarian uang
hasil tindak pidana dapat dicegah. Orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih
dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil tindak pidana”. Pernyataan
pencucian uang sebagai tindak pidana juga merupakan dasar bagi penegak hukum
untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum Adanya
sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang
mencurigakan, memudahkan para penegak hukum untuk menyelidiki kasus pidana
sampai kepada tokoh-tokoh dibelakang tindak pidana pencucian uang yang biasanya
sulit dilacak dan ditangkap, karena pada umumnya mereka tidak terlihat dalam
pelaksanaan tindak pidana, tetapi menikmati hasil tindak pidana tersebut.
Salah satu contoh kasus tindak pidana pencucian uang di Jakarta,
Pelaku Pencucian Uang adalah Ir. Toto Kuntjoro Jaya (Pemilik PT. Graha Nusa
Utama) yang diketahui menerima dana hasil tindak pidana yang dilakukan oleh
Robert Tantular (Pemilik PT Sinar Central Rejeki), Robert Tantular merupakan
pelaku penggelapan dana nasabah. Melalui Rekening PT. Graha Nusa Utama, Pelaku
menerima uang hasil tindak pidana dari Rekening PT. Sinar Central Rejeki. Tidak
hanya menerima uang hasil tindak pidana, Pelaku juga menggunakan uang hasil
tindak pidana tersebut gunakan untuk kepentingan Yayasan Fatmawati yang
diketahui sedang bersengketa dengan Kementerian Kesehatan RI. Setelah itu
pelaku juga melakukan pengeriman uang tersebut Kembali kepada Robert Tantular
melalui rekening yang lainnya.
Berdasarkan latar belakang
permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk menganalisis putusan pengadilan
tinggi Daerah Khusus Ibukota NOMOR :
25/PID/2013/PT.DKI tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan pokok
dalam makalah ini sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah konstruksi hukum dan penerapan
sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang di Indonesia ?
2.
Bagaimana
dasar pertimbangan hukum putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota NOMOR : 25/PID/2013/PT.DKI tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang ?
C. Tinjauan Pustaka
Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan
populer di kalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang Inggris.
Tetapi, jika ditanyakan; apakah sebenarnya yang dimaksud dengan kejahatan ?
Orang mulai berpikir dan atau bahkan balik bertanya. Menurut Hoefnagels kejahatan
merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengertian yang digunakan dalam
ilmu-ilmu sosial yang berasal dari bahasa sehari-hari (common parlance), tetapi
sering berbeda dalam mengartikanya. Mengapa demikian ? Hal itu disebabkan
bahasa sehari-hari tidak memberikan gambaran yang jelas tentang kejahatan,
tetapi hanya merupakan suatu ekspresi dalam melihat perbuatan tertentu.[5]
Di samping itu, Howard Abadinsky menulis bahwa
kejahatan sering dipandang sebagai mala in se atau mala prohibita.
Mala in se menunjuk kepada perbuatan, yang pada hakikatnya, kejahatan,
contohnya pembunuhan. Sedangkan, Mala pro hibita menunjuk kepada
perbuatan yang oleh negara ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang (unlawful).
Berkaitan dengan hal tersebut, Sahetapy menulis bahwa pengertian
atau makna kejahatan bisa tumpang tindih dengan pengertian kejahatan secara
yuridis atau bisa juga serupa dengan makna kejahatan secara kriminologis.
Namun, yang jelas, menurut Sahetapy, makna dan ruang lingkup kejahatan
secara yuridis tidak sama dan tidak serupa dengan kejahatan secara kriminologis.
Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru,
akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa kejahatan berkembang sesuai dengan
perkembangan masyarakat termasuk kejahatan pencucian uang. Hal itu sebagaimana
ditulis oleh Benedict S. Alper bahwa kejahatan sebenarnya merupakan
problem sosial yang paling tua.
Sebagaimana ditulis oleh Hans G. Nilsson, Money
Laundering telah menjadi permasalahan yang menarik bagi masyarakat dunia
pada hampir dua dekade dan khususnya Dewan Eropa (Council of Europe) yang
merupakan organisasi internasional pertama. Dalam Rekomendasi Komite para
Menteri dari tahun 1980 telah mengingatkan masyarakat internasional akan
bahayabahayanya terhadap demokrasi dan Rule of Law. Dalam rekomendasi
tersebut juga dinyatakan, bahwa transfer dana hasil kejahatan dari negara satu
ke negara lainnya dan proses pencucian uang kotor melalui penempatan dalam
sistem ekonomi telah meningkatkan permasalahan serius, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Namun demikian, hampir satu dekade rekomendasi
tersebut tidak berhasil menarik perhatian masyarakat internasional terhadap
masalah tersebut. Baru kemudian setelah meledaknya perdagangan gelap narkotika
pada tahun 1980-an, telah menyadarkan masyarakat internasional bahwa money
laundering telah menjadi sebuah ancaman terhadap seluruh keutuhan sistem
keuangan dan pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan serius terhadap
stabilitas demokrasi dan Rule of Law.[6]
Adapun tipelogi (tipe) yang diklasifikasikan sesuai
dengan cara-cara para pencuci uang melakukan kegiatan pencuciannya adalah:
1.
Penyembunyian
kedalam struktur bisnis (concealment with in business structure).\
2.
Penyalahgunaan
bisinis yang sah (Misuse of Legitimate Businesses).
3.
Pengguna
identitas palsu, dokumen palsu, atau perantara (use of fatse identities,
documents, or straw men).
4.
Pengeksploitasian
masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi internasional (Exploiting
International Yurisdictional Issues).
5.
Penggunaan
tipe-tipe harta kekayaan yang tanpa nama (Use of Anonimouns Aset Type).
Dari kelima tipe TPPU tersebut, masing-masing tipe
memiliki plus minus tergantung pada pilihan dari pelaku TPPU yang dianggap
paling menguntungkan dan factor resiko yang paling kecil kemungkinan untuk dapat
dilacak oleh aparat penegak hukum. Selanjutnya dikenal teknik-teknik pencucian
uang sebagai berikut:
1.
Melalui
sektor perbankan
2.
Melalui
sektor nonperbankan
3.
Menggunakan
fasilitas professional
4.
Mendirikan
perusahan gabungan
5.
Melalui
bidang real estate
6.
Melalui
sektor asuransi
7.
Melalui
industry sektoritas
Dari berbagai teknik pencucian uang yang telah di
kemukakan sebelumnya, yang kerap kali dilakukann di wilayah Asia pada umumnya
dan kemungkinan juga di Indonesia
adalah:
1.
Penyelundupan
uang melalui perbatasan Negara (Currency Smuggling a cross national borders)
2.
Penggunaan
perusahaan-perusahaan gabungan/bohong-bohongan (the use of shell corporations)
3.
Penggunaan
instrument-instrumen atau harta kekayaan tanpa nama (the use of bearer
instruments)
4.
Penggunaan
wrie transfers
5.
Penggunaan
jasa-jasa pengiriman uang (the use of mainttaince services)
6.
Pembelian
barang-barang mewah dan real estate (the purchase of luxuar items and real
estate)
7.
Penggunaan
faktur palsu (false invoicing)
8.
Pencucian
melalui kasino/tempat perjudian (laundering through casinos), dan
9.
Pencucian
melalui transaksi efek-efek (laundering through securities transactions).
Kegiatan pencucian uang melibatkan aktivitsa yang sangat
kompleks. Pada dasarnya kegiatan tersebut terdiri dari tiga langkah yang masing-masing
berdiri sendiri tetapi seringkali dilakukan bersama-sama yaitu placement,
layering dan integration:
a.
Placement
diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu
aktivitas kejahatan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai
baik melalui penyelundupan uang tunai dari satu negara ke negara lain,
menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang
diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan
uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui
rela estate atau saham-saham atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang
lainnya atau transfer uang ke dalam valuta asing.
Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai
baik melalui penyelundupan uang tunai, menggabungkan antara uang dari kejahatan
denganuang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan
uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real
estate atau saham, atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau
transfer uang ke dalam valuta asing. Dengan demikian, melalui penempatan (placement),
bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan
asal-usul uang yang tidak sah tersebut.[7]
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh
para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement
diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi
keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat
dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious
Transaction Report atau STR). Kedua laporan ini diatur dalam Pasal
13 Undang-Undang TPPU. Laporan transaksi tunai yang diatur undang-undang adalah
untuk transaksi tunai yang berjumlah kumulatif sebesar lima ratus juta atau
lebih, baik dalam rupiah rupiah maupun dalam valuta asing. Suatu jumlah yang
dianggap oleh sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar.
b.
Layering
diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas
kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal
ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu
sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang
kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin
rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia
bank.
Dalam layering terjadi pemisahan hasil kejahatan
dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan
transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang
hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa
rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui
transaksi kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana “haram”
tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin
rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Dengan
demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana dari beberapa rekening
ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk
kemungkinan pembentukan rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak.
Proses “layering” ini dideteksi dengan adanya
laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report
atau STR) seperti diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang TPPU. Laporan STR ini
mengingat memerlukan judgement dari bank sudah tentu lebih berbobot
dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan tarnsaksi keuangan yang
mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik
nasabah serta kebiasan nasabah termasuk transaksi yang patut diduga dilakukan
dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang
wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan
c.
Integration
yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ‘legitimate
explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di’cuci’ melalui placement
maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak
tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang
menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah
di-laundry dimasukan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan
dengan aturan hukum.
Ada banyak cara melakukan integration, namun yang
seringdigunakan adalah metode yang berasal dari tahun 1930-an yaitu metode loan-back
atau metode loan default. Metode loan-back meliputi
simpanan berjumlah besaryang biasanya disimpan di bank luar negeri. Kemudian
bank membuat pinjaman dari jumlah uang yang disimpan. Uang yang didapatkan dari
pinjaman ini dapat digunakan dengan bebas karena uang itu akan terlacak sebagai
uang yang berasaldari transaksi yang sah. Dengan kata lain, metode loan-back
merupakan metode dengan meminjam uang sendiri. Pada tahap integration tersebut,
uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang
sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini dideteksi dengan CTR
atau STR.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping
itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung.[8]
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan
adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling
penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi,
guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan
kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak.
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya
juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
a.
Pokok
persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal.
b.
Adanya
analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua
fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.
c.
Adanya
semua bagian dari petitum Penggugat harus dipertimbangkan/diadili secara satu
demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan
dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan.
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga
didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan
praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana
hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak
ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang
Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48
tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan
kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam
penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra
yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena
tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat
(2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
D. Pembahasan
Konstruksi Hukum dan Penerapan
Sanksi Bagi Pelaku
Tindak Pidana Pencucian Uang
Kejahatan, baik yang dilakukan oleh orang persorangan
maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan
melintasi batas wilayah negara lain makin meningkat. Kejahatan tersebut antara
lain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan (bribery), narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, perdagangan
orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan,
penipuan, pemalsuan uang, dan perjudian, serta berbagai kejahatan kerah putih (white
collar crime). Kejahatan-kejahatan tersebut telah melibatkan atau
menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Harta kekayaan yang
berasal dari berbagai kejahatan atau tindak pidana tersebut pada umumnya tidak
langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila
langsung digunakan akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber
diperolehnya harta kekayaan tersebut, sehingga biasanya para pelaku kejahatan
terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan
tersebut masuk ke dalam sistem keuangan (financial system). Dengan cara
demikian, asal-usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh
para penegak hukum. Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).[9]
Dalam Undang-Undang
TPPU, hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga
kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di
bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata
gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,
perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang
lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain
yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar. Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak
pidana menurut hukum Indonesia.[10]
Pencucian
uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:
1.
Tindak
pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah). Pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana.[11]
2.
Tindak
pidana pencucian uang dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak
pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau
kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).[12]
3.
Tindak
pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal tersebut dianggap
juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
undangundang ini. Dalam Undang-Undang TPPU, dikatakan bahwa setiap orang yang
berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama seperti
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.[13]
Menurut Undang-Undang TPPU, transaksi keuangan
mencurigakan adalah:[14]
1.
Transaksi
keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola
transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
2.
Transaksi
keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
3.
Transaksi
keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan
yang diduga berasal dari hasil tindak pidana;
4.
Transaksi
keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena
melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pertimbangan hukum putusan
Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota NOMOR : 25/PID/2013/PT.DKI tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari
kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada Surat
Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan
penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan
pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai asas hukum
pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum
Pidana harus bersumber pada undang-undang artinya pemidanaan haruslah
berdasarkan Undang-Undang.
Hakim dihadapkan dalam praktek peradilan dimana ada yang
betul-betul menerapkan aturan hukum sebagaimana adanya dengan alasan
kepentingan Undang-Undang dan ada juga sebagian hakim yang menerapkan /
menafsirkan Undang-Undang yang tertulis dengan cara memberikan putusan pidana
(Straft Macht) lebih rendah dari batas ancaman minimal dengan alas an demi
keadilan masyarakat.
Adapun jenis pidana
yang dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap pelaku kejahatan diatur di dalam
ketentuan pasal 10 KUHP yaitu:
1.
Pidana
Pokok
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Kurungan
d. Denda
2.
Pidana
tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman putusan hakim
Apabila hakim menjatuhkan pidana berupa pidana penjara
(perampasan kemerdekaan), maka ketentuan-ketentuan di atas adalah menjadi dasar
hukum tentang jenis pemidanaan yang akan diterapkan terhadap pelaku kejahatan
yang menurut hukum telah terbukti secara sah dan menyakinkan serta hakim
mendasari pada hati nurani, tanpa ada kepentingan apapun.
Salah satu contoh kasus tindak pidana pencucian uang di
Jakarta, Pelaku Pencucian Uang adalah Ir. Toto Kuntjoro Jaya (Pemilik PT. Graha
Nusa Utama) yang diketahui menerima dana hasil tindak pidana yang dilakukan
oleh Robert Tantular (Pemilik PT Sinar Central Rejeki), Robert Tantular
merupakan pelaku penggelapan dana nasabah. Melalui Rekening PT. Graha Nusa
Utama, Pelaku menerima uang hasil tindak pidana dari Rekening PT. Sinar Central
Rejeki. Tidak hanya menerima uang hasil tindak pidana, Pelaku juga menggunakan
uang hasil tindak pidana tersebut gunakan untuk kepentingan Yayasan Fatmawati
yang diketahui sedang bersengketa dengan Kementerian Kesehatan RI. Setelah itu
pelaku juga melakukan pengeriman uang tersebut Kembali kepada Robert Tantular
melalui rekening yang lainnya.
Berikut isi pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan
Tinggi Daerah Khusus Ibukota NOMOR :
25/PID/2013/PT.DKI tentang Tindak Pidana Pencucian Uang:
Menimbang bahwa berdasarkan Akta Permintaan Banding No.
103/Akta.Pid/2012/PN.Jkt.Pst. tanggal 19 Desember 2012 yang dibuat oleh H.
TEUKU ILZANOR, SH.M.Hum. Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerangkan
bahwa Terdakwa telah mengajukan permintaan banding atas putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat Nomor : 1260/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst. tanggal 19 Desember
2012 dan permintaan banding tersebut telah diberitahukan kepada Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 20 Desember
2012;-----------------------------
Menimbang, bahwa berdasarkan Akta Permintaan Banding No.
103/Akta.Pid/2012/PN.Jkt.Pst. tanggal 21 Desember 2012 yang dibuat oleh H.
TEUKU ILZANOR, SH.M.Hum. Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerangkan
bahwa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat telah mengajukan permintaan
banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
1260/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst.tanggal 19 Desember 2012 dan permintaan banding
tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 26 Desember 2012 ;--------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta
Pusat telah mengajukan memori banding pada tanggal 21 Januari 2013 dan diterima
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21 Januari 2013,
serta salinan resminya telah disampaikan kepada Terdakwa pada tanggal 22
Januari 2013 ;------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa Terdakwa sampai dengan perkara ini
diputus tidak mengajukan memori banding dan kontra memori banding
;-------------------------
Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tanggal 11 Januari 2013 telah memberikan kesempatan kepada Penuntut Umum
Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Terdakwa untuk mempelajari berkas perkara
selama 7(tujuh) hari terhitung sejak tanggal 11 Januari 2013 s/d 17 Januari 2013
;-----
Menimbang, bahwa oleh karena permintaan banding dari
Terdakwa dan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat diajukan dalam
tenggang waktu dan menurut cara-cara serta memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka permintaan
banding tersebut secara formal dapat diterima ;--------------------------------------
Menimbang, bahwa permohonan banding yang diajukan Jaksa
Penuntut Umum pada pokoknya didasarkan pada alasan bahwa pidana yang dijatuhkan
kepada Terdakwa terlalu ringan dan tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat,
khususnya bagi PT Bank Century Tbk yang telah mengalami kerugian cukup besar
serta tidak mempunyai effek jera bagi pelaku kejahatan karena Terdakwa sudah
pernah dihukum;
-------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Tingkat Banding
mempelajari dengan cermat dan seksama Berita Acara Pemeriksaan Penyidikan,
Berita Acara Sidang dan surat-surat yang tersebut dalam berkas perkara No.
1260/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst, salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
1260/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Desember 2012 serta Memori Banding Jaksa
Penuntut Umum, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat sebagai berikut
;----------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa terhadap putusan Majelis Hakim Tingkat
Pertama tersebut, terlebih dahulu akan dipertimbangkan mengenai kesimpulan
Hakim Tingkat Pertama atas fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan
;--------
Menimbang, bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang
diajukan kepersidangan dan setelah pula memperhatikan hubungan maupun
persesuaiannya antara alat-alat bukti tersebut, ternyata fakta-fakta hukum yang
disimpulkan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut telah sesuai dan telah
didasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan kepersidangan, sehingga Majelis
Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa kesimpulan mengenai fakta-fakta hukum
yang terungkap dipersidangan tersebut sudah tepat dan benar ;--------------------------
Menimbang, bahwa sesuai dengan fakta-fakta hukum yang
terungkap dipersidangan tersebut, dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah
melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan
alternatif kedua, karena itu sudah tepat dan benar pendapat Majelis Hakim
Tingkat Pertama yang memilih dan mempertimbangkan dakwaan alternatif kedua
;-----
Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang
terungkap dipersidangan yang dapat membuktikan bahwa Terdakwa telah melakukan
perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan alternatif kedua,
maka berdasarkan fakta hukum tersebut juga telah terbukti bahwa perbuatan-perbuatan
yang dilakukan Terdakwa tersebut telah cukup memenuhi seluruh unsur-unsur pasal
3 ayat 1 huruf c UU No. 25 tahun 2003 yang didakwakan dalam dakwaan alternatif
kedua, karena itu kesimpulan dan pendapat Majelis Hakim Tingkat Pertama yang
menyatakan perbuatan Terdakwa melanggar pasal 3 ayat 1 huruf c UU No. 25 tahun
2003 sudah tepat dan benar
;----------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa selama berlangsungnya pemeriksaan
perkara, ternyata tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan
pembenar pada perbuatan Terdakwa yang melanggar pasal 3 ayat 1 huruf c UU No.
25 tahun 2003, sehingga perbuatan Terdakwa tersebut harus dinyatakan salah,
karena itu sudah tepat dan benar putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang
menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana yang diatur dalam pasal 3 ayat 1 huruf c UU No. 25 tahun 2003 ;---------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa selama berlangsungnya pemeriksaan
perkara, juga tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf
pada diri Terdakwa, hal demikian membuktikan bahwa Terdakwa adalah orang yang
mampu bertanggungjawab atas perbuatannya yang telah melanggar pasal 3 ayat 1
huruf c UU No. 25 tahun 2003, karena itu sudah tepat dan benar bilamana kepada
Terdakwa dijatuhi pidana ;-----------------------------------------
Menimbang, bahwa mengenai pidana yang dijatuhkan Majelis
Hakim Tingkat Pertama kepada terdakwa, setelah memperhatikan peran dan
perbuatan Terdakwa dalam tindak pidana yang terbukti tersebut serta setelah
pula memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana
tersebut dalam putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama, Majelis Hakim Tingkat
Banding berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa tersebut,
selain sudah tepat dan adil juga telah setimpal dengan kesalahan Terdakwa
;--------------------------------------------------------------------------------
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, Majelis Hakim Tingkat Banding berpendapat bahwa pertimbangan
hukum dan pendapat Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya sudah tepat
dan benar menurut hukum dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan hukumnya Menimbang, bahwa oleh karena pertimbangan
hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama sudah tepat dan benar menurut hukum, maka
pertimbangan hukum tersebut diambil alih dan dijadikan pertimbangan hukum
Majelis Hakim Tingkat Banding dalam mengadili perkara a quo ditingkat banding
;------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa dengan demikian putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 1260/Pid.B/2012/PN.Jkt.Pst tanggal 19 Desember 2012
yang dimintakan banding, dapat dipertahankan dan karenanya harus dikuatkan
;-----
Menimbang bahwa oleh karena pidana yang dijatuhkan kepada
Terdakwa lebih lama dari masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa, maka
beralasan hukum untuk mempertahankan status penahanan terhadap Terdakwa dengan
memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan Rumah Tahanan Negara ;
------------------------------------------------------------------------------------
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tetap dinyatakan
bersalah dan dijatuhi pidana, maka kepada Terdakwa harus dibebani membayar
biaya perkara untuk dua tingkat pengadilan ;------------------------------------------------
Mengingat, pasal 3 ayat 1 huruf c UU No. 25 tahun 2003,
pasal 67 dan Bab XVII Bagian Kesatu UU No. 8 Tahun 1981 ;------------------------------------------
Surat dakwaan sangat penting artinya dalam pemeriksaan
perkara pidana, karena surat dakwaan menjadi dasar dan menentukan batas-batas
bagi pemeriksaan hakim. Putusan yang diambil oleh hakim hanya boleh mengenai
peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas-batas yang ditentukan dalam surat
dakwaan. Bagi hakim manfaat surat dakwaan yaitu antara lain sebagai dasar
pemeriksaan di sidang pengadilan, sebagai dasar putusan yang akan dijatuhkan,
dan sebagai dasar membuktikan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa. (Darwan Prinst, 1998: 115-117).
Oleh karena itu, dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum sangat mempengaruhi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan. Terkait dengan
terbukti atau tidaknya unsur-unsur dalam surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa. Selain itu tentunya aspek-aspek
pertimbangan yuridis terhadap tindak
pidana yang didakwakan tersebut juga berpengaruh terhadap amar putusan hakim.
Berikut isi dakwaan jaksa penuntut umum dalam putusan
Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota NOMOR : 25/PID/2013/PT.DKI tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ,Surat
Dakwaan Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat No.
:PDM-379/JKT.PST/07/2012 tanggal 19 Juli 2012 terhadap Terdakwa yang berbunyi
sebagai berikut:
Pertama,Bahwa ia terdakwa Ir.TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA
bin TEGUH SANTOSO selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA berdasarkan Akta
Pendirian Nomor: 161 tanggal 24 Mei 2002, pada hari-hari yang tidak dapat
ditentukan lagi dengan pasti sejak tanggal 20 Agustus 2003 sampai dengan
tanggal 9 Januari 2009 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu tertentu dari
tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, bertempat di Kantor PT. TIRTAMAS NUSA
SURYA dan di Kantor PT. GRAHA NUSA UTAMA dan di Bank Century (CIC) di Gedung
Sentral Senayan I Jl. Asia Afrika No.8 Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya di
suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, yang dilakukan dengan rangkaian dan caracara antara lain
sebagai berikut: dst terlampir ---------------
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 6Ayat (1) Huruf a, b, c, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang
;-----------------------------------------------------------------
Bahwa ia terdakwa Ir.TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA bin TEGUH
SANTOSO selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA berdasarkan Akta Pendirian Nomor:
161 tanggal 24 Mei 2002, pada hari-hari yang tidak dapat ditentukan lagi dengan
pasti sejak tanggal 20 Agustus 2003 sampai dengan tanggal 9 Januari 2009 atau setidak-tidaknya
pada waktu-waktu tertentu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, bertempat
di Kantor PT. TIRTAMAS NUSA SURYA dan di Bank Century (CIC) di Gedung Sentral
Senayan I Jl.Asia Afrika No.8 Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya di suatu
tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
dengan sengaja : Membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas nama sendiri
maupun atas nama pihak lain, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana, yang dilakukan dengan rangkaian dan cara-cara antara lain
sebagai berikut : dst terlampir --------------------------
Pertimbangan
putusan hakim berdasarkan yurisprudensi bahwa dalam memutus perkara untuk
memberikan suatu putusan (vonis), hakim mengikuti putusan-putusan hakim
terdahulu apabila menemukan dan memerlukan penanganan atas kasus yang sama dan
yurisprudensi ini akan menjadi yurisprudensi tetap apabila secara terus menerus
dipakai sebagai acuan oleh hakim berikutnya dalam memutus kasus yang sama
(sejenis). Dengan adanya sumber hukum yang ditetapkan oleh pengadilan dan
diakui sebagai yurisprudensi (bahkan diistilahkan dengan yurisprudensi tetap
atau standaard arresten) maka dalam penegakan hukum oleh hakim
tidak ada alasan adanya kekosongan hukum, hukumnya tidak jelas dan sebagainya
dalam arti bahwa hakim wajib untuk menemukan hukumnya.
Hakim adalah
pelaksana undang-undang sehingga putusannya harus berdasarkan pada hokum yang
normatif yaitu hukum positif, sehingga penerapan ancaman pidana minimal dalam
putusan hakim adalah sesuai atas legalitas. Hakim dalam menjatuhkan putusannya
selain berdasarkan hukum yang normatif juga berdasarkan rasa keadilan yaitu
nilai-nilai yang hidup di masyarakat dan juga pada hati nurani (keadilan
objektif dan subjektif). Putusan hakim yang menerobos batas ancaman pidana
minimal dan pidana denda minimal dapat saja diterima atau dianggap sah
sepanjang berdasarkan rasa keadilan dan hati nurani, karena hakim bukan hanya
penegak hukum juga sebagai penegak keadilan, asalkan tidak ada kepentingan
hakim yang memutus perkara tersebut. Putusan Hakim yang menerobos ketentuan
dalam undang-undang yang normatif, atau dalam hal ini di bawah tuntutan Jaksa
Penuntut Umum dapat saja diterima atau tidak batal demi hukum asal didasari
pada rasa keadilan yang objektif.
E. Kesimpulan
Putusan hakim terhadap para pelaku tindak pidana
pencucian uang tidak selalu sama walaupun dengan kasus yang sama, ini disebut
putusan disparitas dimana hakim memutus suatu perkara yang sama namun dengan
hasil putusan yang berbeda. Penyebab terjadinya perbedaan dalam hasil putusan
dengan perkara yang sama dapat berasal dari berbagai faktor, contohnya keadaan
ekonomi dan sosial, fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Hakim harus
menjadikan hal-hal tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam menjatuhkan
putusan agar tujuan dari pemidanaan tercapai.
Dalam memutuskan berat ringannya suatu pidana, hakim
harus mempertimbangkan hal – hal seperti kesalahan pembuat, motif dan tujuan
dilakukannya perbuatan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin
pembuat, riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat, sikap dan tindakan
pembuat melakukan tindak pidana, pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat,
dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seharusnya hakim bisa menggunakan beberapa metode
penafsiran hukum diantaranya hakim dapat menggunakan metode penafsiran hukum
secara gramatikal dan sosiologis, Penafsiran gramatikal merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata atau
bunyinya. Mengingat perbuatan pelaku pencucian uang sudah terbukti bahwa telah
menerima uang hasil tindak pidana dan bertindak terhadap uang tersebut untuk
keperluan perusahaan yang dimiliknya. Oleh karena perbuatan terdakwa juga
menimbulkan kerugian bagi orang lain sehinggan patut dipidana penjara dan/atau
denda dan mengembalikan uang hasil tindak pidana pencucian uang.
Daftar
Pustaka
Amrullah, Arief. 2004. Money Laundering (Tindak Pidana Pencucian
Uang). Malang : Bayu Media.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara
Pidana Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia.
____________. 2011. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Sutedi, Adrian. 2007. “Hukum
Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan. Jakarta:
Sinar Grafika.
Chazawi, Adami. 2008. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.
Bandung : P.T Alumni.
Darwin, Philips. 2012. Money Laundering (Cara Memahami Dengan Tepat
dan Benar Soal Pencucian Uang). Jakarta : Sinar Ilmu.
H. Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering, (Jakarta :
Visimedia, 2012),
Sjahdeini, Sutan Remy. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan
Pembiayaan Terorisme. Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti.
Yustiavandana, Ivan, Arman Nefi dan
Adiwarman. 2010. Tindak Pidana Pencucian
Uang Di Pasar Modal. Bogor : Ghalia Indonesia.
Sumber Undang-Undang
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002
Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sumber lainnya
http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/2009/02/pencucian-uang-sebagai- kejahatan_03.html?=1
http://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang
http://www.negarahukum.com/hukum/1562.html
[1] Aziz
Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 17
[2] H.
Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money
Laundering, (Jakarta : Visimedia, 2012), hlm. 4.
[3] Ibid. hlm 19.
[4] H.
Juni Sjafrien Jahja, Op.Cit.,
hlm.12.
Publishing, Malang. hlm. 2.
[6] Ibid, hlm. 7.
[7] Sutan Remy
Sjahdeini, Seluk-Beluk Tindak Pidana
Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2007), hal 33.
[8] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,
cet V (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004), h.140
[9] Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang,
Merger, Likuidasi, Dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 17.
[10] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 2 ayat (1).
[11] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 3.
[12] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 4.
[13] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 5.
[14] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka (5).
Comments
Post a Comment